Jumat, 30 Oktober 2009

Orang Nomor Satu dan Tertinggi di Indonesia *

Selasa, 20 Oktober 2009, pukul 10.25 WIB Susilo Bambang Yudhoyono, atau dikenal sebagai SBY, dilantik menjadi Presiden RI periode 2009-2014 di gedung MPR-DPR Senayan Jakarta. Upacara pelantikan tersebut, disamping dihadiri oleh beberapa mantan presiden, kepala negara lain, dan lain sebagainya, juga ditayangkan oleh banyak stasiun televisi, dan beritanya menghiasi halaman muka media cetak.


Situasi dan publikasi di atas sangat kontradiktif jika disandingkan dengan pelantikan Ketua MPR RI periode 2009-2014, Taufik Kiemas. Lucunya, proses terpilihnya Ketua MPR bahkan Ketua DPR RI kalah mendebarkan dibanding proses pemanggilan calon-calon menteri alias para pembantu presiden dalam kabinet baru pasca pelantikan SBY jilid II.



Teori, De Jure – De Facto, dan Realitas Anomalis


Dalam teori usang dituliskan, “Presiden adalah mandataris MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat). Masa jabatan atau kedudukannya pun dipengaruhi, salah satunya, oleh keputusan MPR.” MPR merupakan Lembaga Tertinggi Negara, sedangkan presiden berada di Lembaga Tinggi Negara. Artinya, atasan seorang presiden adalah MPR; MPR membawahi presiden. Berdasarkan teori tersebut, seharusnyalah MPR menjadi puncak segala puncak kekuasaan tertinggi di Indonesia, dan jabatan tersebut paling sengit diperebutkan oleh para politikus di negeri ini.


Entah kenapa, seperti yang sudah-sudah, MPR seringkali berada pada posisi nomor sekian; presiden berada di nomor satu dengan julukan politis “RI 1” dan populis “orang nomor satu”. Sejak masa pemerintahan Presiden I RI Ir. Soekarno telah “mencoba” memberangus kapasitas MPR melalui Dekrit 5 Juli 1959, Presiden II RI Soeharto “berhasil” mengebiri fungsi MPR sehingga kursi kepresidenannya sama sekali bebas dari “panggilan” MPR, hingga Presiden VI RI Doktor H. SBY “berhasil” membuat MPR sekadar “simbol” dalam sistem perpolitikan negara. Ketua MPR RI periode 2004-2009 Hidayat Nurwahid pun sama sekali tidak menunjukkan kapasitas optimalnya sewaktu maraknya kasus-kasus “besar”, misalnya harga BBM, lumpur Lapindo, dan lain-lain, yang mana kasus-kasus tersebut bersinggungan dengan kinerja “keliru” oknum-oknum di kabinet SBY.


MPR menjalankan fungsinya secara gagah-perkasa hanya terjadi pada waktu diketuai oleh Prof.DR. Amien Rais (1999-2004), yakni memberhentikan jabatan Presiden IV RI Abdurrachman Wahid, dan menaikkan Megawati menjadi Presiden V RI. Pada peristiwa “naik-turun” itu jelas bahwa jabatan “orang nomor satu” di Indonesia bukan “tertinggi” secara de facto, melainkan mengembalikan MPR sebagai “tertinggi” secara de jure-de facto kendati sebutan Ketua MPR RI Amien Rais tetap bukan “orang nomor satu”. Ironisnya, seorang Amien Rais tetap mengincar jabatan “orang nomor satu” melalui PILPRES 2004, meski mujur sekali beliau tidak mendapat dukungan dari mayoritas rakyat Indonesia.


Kembalinya SBY sebagai presiden terpilih periode 2009-2014, dan terpilihnya Taufik Kiemas sebagai Ketua MPR RI periode 2009-2014 sekaligus menguaknya wacana bahwa PDIP tidak berkoalisi ataupun beroposisi terhadap pemerintahan SBY jilid II, mungkin menimbulkan beberapa pertanyaan seputar hubungan antara “tertinggi” dan “tinggi”. Pertanyaan tersebut diantaranya, apakah MPR masih sama dengan MPR periode sebelumnya, apakah MPR akan kembali ke fitrahnya sebagai “atasan” bagi presiden, siapakah yang akan “memanggil” presiden jika kasus semacam lumpur Lapindo tidak juga terselesaikan, dan lain-lain.



Opini Pribadi Terhadap Realitas Anomalis


Kalau selama ini terlihat gembar-gembor Pemilihan Legislatif (PILEG) dan Pemilihan Presiden (PILPRES), belum pernah ada Pemilihan Ketua MPR (PILKAMPER). Sementara dalam hajatan nasional antara PILEG dan PILPRES, segala daya upaya dan manuver-manuver politik paling gencar terjadi dalam PILPRES. Seorang Ketua MPR RI pun masih ngiler pada kursi presiden. Sebagian ketua partai pun mencondongkan obsesinya pada kursi kepresidenan daripada kursi ketua DPR-MPR. Kenapa kursi presiden terlihat paling empuk bagi sebagian politikus di Indonesia?


Coba tengok lagi situasi dalam upacara pelantikan presiden di Indonesia pasca Reformasi 1998 ini yang selalu lebih meriah dibanding pelantikan ketua MPR, padahal presiden berada di Lembaga Tinggi Negara sedangkan MPR merupakan Lembaga Tertinggi Negara. Selain itu, selama ini tidak ada kampanye dan PILKAMPER. Sebutan berdasarkan nomor urut untuk seorang presiden pun adalah orang nomor satu. Kenapa ketua MPR tidak menjadi “RI 1” alias orang nomor satu di Indonesia?


Barangkali ada yang menjawab, karena presiden merupakan pelaksana atas semua kebijakan berbangsa dan bernegara sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 dan GBHN. Tapi dari jawaban tersebut memunculkan pertanyaan berikutnya, apakah itu berarti jabatan presiden lebih penting (berkuasa secara de facto) daripada ketua MPR atau ketua DPR, apalagi jika jabatan tersebut dikaitkan dengan kebijakan langsung dari pemerintah untuk rakyat, termasuk para pelaku usaha ekonomi swasta?


Apa pun dalih teoritis dan doktrinnya, kenyataan tidaklah bisa terus-menerus dikamuflase, bahwa sesungguhnya posisi presiden paling strategis daripada ketua MPR, ketua DPR, apalagi ketua-ketua lembaga lainnya walaupun dalam sistem kelembagaan negara presiden hanya menduduki kursi puncak di Lembaga Tinggi Negara.


Dan apa pun dalih idealis maupun “sok nasionalis”, ada suatu kepentingan yang selalu menjadi bidikan dan bikin ngiler sebagian orang, politikus atau partai terhadap posisi strategisnya seorang presiden dibanding ketua MPR maupun DPR. Kalau kepentingan itu adalah “kekayaan pribadi” atau “rekening partai”, belumlah tentu keliru dugaan naïf ini.


Yang jelas, ketua Golput maupun kader-kadernya tidak pernah ngiler atau tergiur pada kursi kepresidenan maupun kursi ketua MPR-DPR. Seorang Golput pun tidak perlu bingung di mana posisinya terhadap pemerintah maupun partai-partai yang “berkepentingan”. Posisi sebagai oposisi ataukah koalisi bukanlah pilihan tempat bagi Golput sebagaimana ciptaan para politikus, tetapi nilai-nilai idealisme dan konsistensi menjadi tuntutan utama dalam perilaku, perikata, perirasa dan peripikir demi bangsa ini, meski kiprahnya terlihat sepele, misalnya menjadi sukarelawan, bekerja dengan segenap integritas, tidak koruptif-manupulatif, tidak terlibat kriminal dan atau narkoba, tidak merusak alam, dan memiliki visi-misi untuk masa depan Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Selain itu, selama ini tidak ada upacara pelantikan ketua Golput maupun menteri-menteri Golput seperti halnya pelantikan presiden beberapa hari lalu maupun pelantikan menteri-menteri dalam kabinet Indonesia Bersatu jilid II.


*******

Gunung Sari, 21 Oktober 2009


*) ditulis oleh kader Golput