Senin, 04 Maret 2013

UDELISME


Udelisme adalah paham mengenai kepentingan udel dan sekitarnya sebagai kebutuhan paling utama yang wajib dipenuhi dan dipuasi. Paham ini tidak menjadikan kepala (logika) dan hati nurani sebagai bagian konselor pribadi yang paling hakiki dan bisa memrediksi suatu dampak secara logis-konsekuensif. Dengan kata lain, posisi pikiran dan perasaan telah berada pada udel (pusar/puser) sehingga udel menjadi pusat bagi segala tujuan atau kehendak atas suatu aktivitas.

Kepentingan udel awalnya berpusat pada pusar alias perut, dimana makan dan kenyang atau kesejahteraan secara badaniah adalah keutamaan mutlak. Namun makan bukanlah sebuah kebutuhan “sekadar” melainkan berikut cita rasa yang menjadi syarat wajibnya. Makan enak lantas perut kenyang.

Kenyang merupakan tujuan utama paham ini. Kenyang bukan pada suatu saat atau sesaat melainkan pula sampai tamat riwayat. Artinya, sampai kapanpun janganlah terjadi kelaparan sebab kelaparan identik dengan kemiskinan paling hakiki.

Kenyang berkaitan pula dengan rasa nyaman di perut. Bisa saja kenyang karena minum minuman yang sedap, bukan hanya persoalan haus yang mendasar. Artinya, selain bisa menikmati makanan enak dan nyaman pagi perut, juga bisa minum minuman yang menyenangkan perut.

Kepentingan ini pertama-tama bersumber dalam diri seorang individu. Karena individu tersebut tidak hidup sendiri, maka merambahlah pada individu-individu di sekitarnya, sebagaimana pendapat bahwa manusia adalah makhluk sosial-komunal. Individu-individu di sekitarnya itu misalnya keluarga sampai turun-temurun, kerabat, kolega dan lain sebagainya, yang keseluruhannya menuntut untuk terpenuhi sekaligus terpuasi. Semua harus makan enak dan perut pun kenyang.

Kepentingan udel kemudian meluas ke wilayah sekitarnya (seputar pusar), yang bisa ke atas maupun ke bawah. Ke wilayah atas alias dada, yakni tiada berdebar-debar. Berdebar-debar bisa diakibatkan oleh lapar, dan bisa pula oleh sebab lainnya, semisal dikejar-kejar. Sedangkan ke wilayah bawah udel (pusar/puser), silahkan dilanjutkan sendiri.

Kaum udelis berprinsip bahwa udel adalah pusat kehidupan manusia sesungguhnya, bahkan udel adalah tuhan yang sejati. Mereka mengatakan, sejak dalam kandungan calon manusia bisa hidup karena udel, bukan mulut. Dari udel-lah segala aktivitas dan kreativitas bisa terkelola dan terintegrasi secara harmonis-dinamis.

Terkadang kaum udelis juga menggunakan ungkapan usang “masih punya udel” alias “masuh punya malu”. Udel dihubungkan dengan malu meski tidak jelas malu karena apa; apakah karena miskin, harga diri, dan apakah lain-lain.

Akan tetapi, udelisme bukanlah paham semacam komunisme maupun kapitalisme, melainkan paham dalam diri seseorang. Udelisme tidaklah menular melainkan mengakar dalam diri seseorang. Paham ini sanggup hidup karena sering dikamuflase oleh realitas yang terang-terangan ditunggangi oleh realisme, materialisme, dan pragmatisme.

Apa pun yang disampaikan dan diuraikan oleh kaum udelis, semuanya seolah logis-realis-faktual-aktual. Realitas alias kenyataan menjadi mutlak, yang mana kepentingan udel adalah mutlak dan tidak bisa ditawar-tawar. Kaum udelis selalu terlihat kompak dan bersemangat dalam menyuarakan hal-hal realitas walaupun kepentingan udelnya bisa terdeteksi dengan jelas-lugas.

Seorang yang semula tampak idealis ketika mahasiswa alias aktivis, belum tentu seterunya akan begitu. Sebaliknya, suatu ketika ia bisa tampil dalam wujud aslinya sebagai udelis sejati. Bukan akibat ketularan dari lingkungan melainkan karena telah mengakar dalam dirinya, dan baru ketahuan ketika menjabat suatu posisi tertentu sehingga kepentingan udel bisa leluasa bertumbuh, berkembang, dan berbuah.

Oleh karena itu udelisme merupakan musuh bebuyutan bagi idealisme. Duel maut seringkali terjadi antara udelisme melawan idealisme. Ketika udelisme mampu menaklukkan idealisme, mereka akan memangsa hak-hak hidup orang lain, yang berada di luar lingkungan sosial-komunal mereka.

Lebih maut lagi duelnya ketika udelis berhadapan dengan sesamanya, sebab seorang udelis sejati cenderung ngotot menghidupi udelnya sendiri tanpa peduli kepentingan udelis lainnya, khususnya udelis yang memiliki kecenderungan sama, yakni agresif. Apa lagi jika bukan lantaran udelisme semata?


Balikpapan, 05 Maret 2013