Udelisme adalah paham mengenai kepentingan udel dan
sekitarnya sebagai kebutuhan paling utama yang wajib dipenuhi dan dipuasi. Paham
ini tidak menjadikan kepala (logika) dan hati nurani sebagai bagian konselor
pribadi yang paling hakiki dan bisa memrediksi suatu dampak secara
logis-konsekuensif. Dengan kata lain, posisi pikiran dan perasaan telah berada
pada udel (pusar/puser) sehingga udel menjadi pusat bagi segala tujuan atau
kehendak atas suatu aktivitas.
Kepentingan udel awalnya berpusat pada pusar alias perut,
dimana makan dan kenyang atau kesejahteraan secara badaniah adalah keutamaan
mutlak. Namun makan bukanlah sebuah kebutuhan “sekadar” melainkan berikut cita
rasa yang menjadi syarat wajibnya. Makan enak lantas perut kenyang.
Kenyang merupakan tujuan utama paham ini. Kenyang bukan
pada suatu saat atau sesaat melainkan pula sampai tamat riwayat. Artinya,
sampai kapanpun janganlah terjadi kelaparan sebab kelaparan identik dengan
kemiskinan paling hakiki.
Kenyang berkaitan pula dengan rasa nyaman di perut. Bisa
saja kenyang karena minum minuman yang sedap, bukan hanya persoalan haus yang
mendasar. Artinya, selain bisa menikmati makanan enak dan nyaman pagi perut,
juga bisa minum minuman yang menyenangkan perut.
Kepentingan ini pertama-tama bersumber dalam diri seorang
individu. Karena individu tersebut tidak hidup sendiri, maka merambahlah pada
individu-individu di sekitarnya, sebagaimana pendapat bahwa manusia adalah
makhluk sosial-komunal. Individu-individu di sekitarnya itu misalnya keluarga
sampai turun-temurun, kerabat, kolega dan lain sebagainya, yang keseluruhannya
menuntut untuk terpenuhi sekaligus terpuasi. Semua harus makan enak dan perut
pun kenyang.
Kepentingan udel kemudian meluas ke wilayah sekitarnya
(seputar pusar), yang bisa ke atas maupun ke bawah. Ke wilayah atas alias dada,
yakni tiada berdebar-debar. Berdebar-debar bisa diakibatkan oleh lapar, dan
bisa pula oleh sebab lainnya, semisal dikejar-kejar. Sedangkan ke wilayah bawah
udel (pusar/puser), silahkan dilanjutkan sendiri.
Kaum udelis berprinsip bahwa udel adalah pusat kehidupan manusia
sesungguhnya, bahkan udel adalah tuhan yang sejati. Mereka mengatakan, sejak
dalam kandungan calon manusia bisa hidup karena udel, bukan mulut. Dari
udel-lah segala aktivitas dan kreativitas bisa terkelola dan terintegrasi
secara harmonis-dinamis.
Terkadang kaum udelis juga menggunakan ungkapan usang
“masih punya udel” alias “masuh punya malu”. Udel dihubungkan dengan malu meski
tidak jelas malu karena apa; apakah karena miskin, harga diri, dan apakah
lain-lain.
Akan tetapi, udelisme bukanlah paham semacam komunisme
maupun kapitalisme, melainkan paham dalam diri seseorang. Udelisme tidaklah
menular melainkan mengakar dalam diri seseorang. Paham ini sanggup hidup karena
sering dikamuflase oleh realitas yang terang-terangan ditunggangi oleh realisme,
materialisme, dan pragmatisme.
Apa pun yang disampaikan dan diuraikan oleh kaum udelis,
semuanya seolah logis-realis-faktual-aktual. Realitas alias kenyataan menjadi
mutlak, yang mana kepentingan udel adalah mutlak dan tidak bisa ditawar-tawar.
Kaum udelis selalu terlihat kompak dan bersemangat dalam menyuarakan hal-hal
realitas walaupun kepentingan udelnya bisa terdeteksi dengan jelas-lugas.
Seorang yang semula tampak idealis ketika mahasiswa alias
aktivis, belum tentu seterunya akan begitu. Sebaliknya, suatu ketika ia bisa
tampil dalam wujud aslinya sebagai udelis sejati. Bukan akibat ketularan dari
lingkungan melainkan karena telah mengakar dalam dirinya, dan baru ketahuan
ketika menjabat suatu posisi tertentu sehingga kepentingan udel bisa leluasa
bertumbuh, berkembang, dan berbuah.
Oleh karena itu udelisme merupakan musuh bebuyutan bagi
idealisme. Duel maut seringkali terjadi antara udelisme melawan idealisme.
Ketika udelisme mampu menaklukkan idealisme, mereka akan memangsa hak-hak hidup
orang lain, yang berada di luar lingkungan sosial-komunal mereka.
Lebih maut lagi duelnya ketika udelis berhadapan dengan sesamanya,
sebab seorang udelis sejati cenderung ngotot menghidupi udelnya sendiri tanpa
peduli kepentingan udelis lainnya, khususnya udelis yang memiliki kecenderungan
sama, yakni agresif. Apa lagi jika bukan lantaran udelisme semata?
Balikpapan, 05 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar