Sabtu, 02 Februari 2013

Sejatinya Rusaklah Moral Pengelola Negara


Ditangkapnya Presiden Partai Keadilan Sejahtera yang juga anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 30 Januari 2013, menurut saya, merupakan bukti betapa munafiknya Republik ini. Tahun 2007 saya sudah menangkap sinyalemen kemunafikan para pengelola negara Republik ini dengan serial “Republik Munafik” dan saya unggah di blog republik-munafik.blogspot.com.

Saya pun dengan penuh kesadaran memilih “TIDAK MEMILIH” alias Golongan Putih (GOLPUT) dalam bersikap politik sebagai warga negara. Akibatnya, oleh sebagian kawan, fungsionaris partai, maupun lawan, saya dituding secara negatif bahwa saya BUKAN WARGA NEGARA INDONESIA YANG BAIK. Saya bersikukuh bahwa menjadi warga negara yang baik tidaklah harus berpolitik praktis dengan cara menjadi anggota, simpatisan atau kader suatu partai.

Jauh bulan sebelumnya, beberapa pentolan partai yang masuk dalam jajaran badan anggaran di wakil rakyat, ditangkap oleh KPK. Semisal Angelina Sondakh, perempuan cerdas yang mantan ratu kecantikan Indonesia. Rekan di partainya, yakni B Andi Alfian Malarangeng yang menjabar Menteri Pemuda dan Olah Raga Kamibet Bersatu Jilid II, terkait kasus korupsi wisma atlit, .

Angelina Sondakh dan Andi Alfian Malarangeng, yang pada kampanye 2009 beriklan “Katakan ‘Tidak’ pada Korupsi”, ternyata justru bagian dari pelaku korupsi yang kemudian diiduk oleh KPK! Ironis, paradoks, dan miris! Manusia macam apa mereka itu!

Sebelumnya ada Panda Nababan, terjerat kasus suap cek pelawat pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia alias suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Tahun 2004 yang dimenangi Miranda S. Gultom. Dan pejabat daerah, serta aparat hukum, juga ditangkap karena kasus korupsi.

Juga tentang usaha penyedotan minyak bumi yang mengakibatkan lumpur porong tiada henti, dialihkan statusnya sebagai bencana nasional, padahal tidaklah demikian adanya, merupakan sayap bisnis seorang ketua umum partai besar. Wilayah satu kecamatan yang ludes diterkam lumpur, nasib malang warganya tidak pernah dipedulikan, padahal waktu 2007 dia menjabat sebagai menteri! Mati nuraninya, hiduplah nafsunya.

Dan seterusnya, dan seterusnya. Makin banyaklah para penyelenggara negara yang masuk kategori koruptor, baik besar maupun kecil jumlah hasil korupsinya. Hal ini sangat ironis dan miris bagi saya pribadi, yang dituding banyak orang sebagai BUKAN WARGA NEGARA INDONESIA YANG BAIK.

Yang tak kalah mencengangkan saya, kasus korupsi pengadaan Al Quran – kitab suci umat Muslim yang merupakan mayoritas dalam julah penduduk Indonesia. Kitab yang begitu suci, yang membawanya saja tidak boleh sembarangan, ternyataan pengadaannya pun dikorupsi, termasuk oleh seorang pentolan partai besar di Republik Munafik ini. Anehnya, tidak ada aksi gruduk atau hujat besar-besaran terhadap kasus ini.   

Sekarang mau berkilah apa? Warga Negara Indonesia yang baik itu harus terlibat politik praktis dalam wadah partai-partai, yang ternyata terjadi sarang koruptor sekaligus kaderisasi koruptor itu?

Sungguh memilukan jika mengingat Reformasi 1998 yang telah dibayar oleh darah dan trauma sama sekali tidak membuat Korupsi-Kolusi-Nepotisme (KKN) mati. Apalagi salah seorang, yang dielu-elukan sebagai “bapak reformis’, ternyata setali-tiga uang alias ikut memperkaya diri!  

Beberapa mantan aktivis mahasiswa yang dulunya begitu vokal anti ORBA yang dituding sebagai rezim terkorup dalam sejarah RI, andil dalam tradisi KKN. Beberapa kaum jenggot yang dulunya berteriak anti KKN dan berani menyebut diri sebagai “partai paling bersih” sambil menyebutkan nama tuhan, ternyata ujung-ujungnya hanya minta jatah dalam tradisi KKN. 

Anggaran mengelola Republik Munafik ini memang selalu menjadi bancaan. APBD dan APBN adalah mangsa empuk bagi para pengelola. Saya tidak mengerti, mengapa saya tidak percaya bahwa 100% APBD dan APBN tidak menjadi sarana-prasarana apa pun bagi penyejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Bahkan saya curiga bahwa 40% – 60% APBD dan APBN justru merupakan santapan sedap bagi segelintir warga negara Indonesia; entah bagaimana cara mereka memanipulasi angka maupun realisasinya.

Saya juga tidak mengerti, mengapa saya mendapatkan ide untuk menulis serial “Republik Munafik” ini jauh tahun sebelum tertangkapnya presiden Partai Keadilan Sejahtera itu. Saya hanya menangkap isyarat dari carut-marut pengelolaan dan penyelenggaraan negara Indonesia, yang tidak lebih dari kerusakan moral para penyelenggara negara.    

Tidak ada politik yang bersih. Tidak ada partai politik yang bersih. Politik itu taik. Partai itu partikel tai. Kotor, jorok, dan busuk! Saya tidak akan memilih tinggal dalam lubang kakus atau tidur nyenyak dalam septikteng.

Balikpapan, 01 Februari 2013




Tidak ada komentar:

Posting Komentar