Ditangkapnya Presiden Partai Keadilan Sejahtera yang juga
anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada
30 Januari 2013, menurut saya, merupakan bukti betapa munafiknya Republik ini. Tahun
2007 saya sudah menangkap sinyalemen kemunafikan para pengelola negara Republik
ini dengan serial “Republik Munafik” dan saya unggah di blog
republik-munafik.blogspot.com.
Saya pun dengan penuh kesadaran memilih “TIDAK MEMILIH”
alias Golongan Putih (GOLPUT) dalam bersikap politik sebagai warga negara.
Akibatnya, oleh sebagian kawan, fungsionaris partai, maupun lawan, saya
dituding secara negatif bahwa saya BUKAN WARGA NEGARA INDONESIA YANG BAIK. Saya
bersikukuh bahwa menjadi warga negara yang baik tidaklah harus berpolitik
praktis dengan cara menjadi anggota, simpatisan atau kader suatu partai.
Jauh bulan sebelumnya, beberapa pentolan partai yang
masuk dalam jajaran badan anggaran di wakil rakyat, ditangkap oleh KPK. Semisal
Angelina Sondakh, perempuan cerdas yang mantan ratu kecantikan Indonesia. Rekan
di partainya, yakni B Andi Alfian Malarangeng yang menjabar Menteri Pemuda dan
Olah Raga Kamibet Bersatu Jilid II, terkait kasus korupsi wisma atlit, .
Angelina Sondakh dan Andi Alfian Malarangeng, yang pada
kampanye 2009 beriklan “Katakan ‘Tidak’ pada Korupsi”, ternyata justru bagian
dari pelaku korupsi yang kemudian diiduk oleh KPK! Ironis, paradoks, dan miris!
Manusia macam apa mereka itu!
Sebelumnya ada Panda Nababan, terjerat kasus suap cek
pelawat pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia alias suap pemilihan
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Tahun 2004 yang dimenangi Miranda S.
Gultom. Dan pejabat daerah, serta aparat hukum, juga ditangkap karena kasus
korupsi.
Juga tentang usaha penyedotan minyak bumi yang
mengakibatkan lumpur porong tiada henti, dialihkan statusnya sebagai bencana
nasional, padahal tidaklah demikian adanya, merupakan sayap bisnis seorang
ketua umum partai besar. Wilayah satu kecamatan yang ludes diterkam lumpur,
nasib malang warganya tidak pernah dipedulikan, padahal waktu 2007 dia menjabat
sebagai menteri! Mati nuraninya, hiduplah nafsunya.
Dan seterusnya, dan seterusnya. Makin banyaklah para
penyelenggara negara yang masuk kategori koruptor, baik besar maupun kecil
jumlah hasil korupsinya. Hal ini sangat ironis dan miris bagi saya pribadi,
yang dituding banyak orang sebagai BUKAN WARGA NEGARA INDONESIA YANG BAIK.
Yang tak kalah mencengangkan saya, kasus korupsi pengadaan
Al Quran – kitab suci umat Muslim yang merupakan mayoritas dalam julah penduduk
Indonesia. Kitab yang begitu suci, yang membawanya saja tidak boleh
sembarangan, ternyataan pengadaannya pun dikorupsi, termasuk oleh seorang
pentolan partai besar di Republik Munafik ini. Anehnya, tidak ada aksi gruduk
atau hujat besar-besaran terhadap kasus ini.
Sekarang mau berkilah apa? Warga Negara Indonesia yang
baik itu harus terlibat politik praktis dalam wadah partai-partai, yang
ternyata terjadi sarang koruptor sekaligus kaderisasi koruptor itu?
Sungguh memilukan jika mengingat Reformasi 1998 yang
telah dibayar oleh darah dan trauma sama sekali tidak membuat
Korupsi-Kolusi-Nepotisme (KKN) mati. Apalagi salah seorang, yang dielu-elukan
sebagai “bapak reformis’, ternyata setali-tiga uang alias ikut memperkaya diri!
Beberapa mantan aktivis mahasiswa yang dulunya begitu
vokal anti ORBA yang dituding sebagai rezim terkorup dalam sejarah RI, andil
dalam tradisi KKN. Beberapa kaum jenggot yang dulunya berteriak anti KKN dan
berani menyebut diri sebagai “partai paling bersih” sambil menyebutkan nama
tuhan, ternyata ujung-ujungnya hanya minta jatah dalam tradisi KKN.
Anggaran mengelola Republik Munafik ini memang selalu
menjadi bancaan. APBD dan APBN adalah mangsa empuk bagi para pengelola. Saya
tidak mengerti, mengapa saya tidak percaya bahwa 100% APBD dan APBN tidak
menjadi sarana-prasarana apa pun bagi penyejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
Bahkan saya curiga bahwa 40% – 60% APBD dan APBN justru merupakan santapan sedap
bagi segelintir warga negara Indonesia; entah bagaimana cara mereka
memanipulasi angka maupun realisasinya.
Saya juga tidak mengerti, mengapa saya mendapatkan ide
untuk menulis serial “Republik Munafik” ini jauh tahun sebelum tertangkapnya
presiden Partai Keadilan Sejahtera itu. Saya hanya menangkap isyarat dari
carut-marut pengelolaan dan penyelenggaraan negara Indonesia, yang tidak lebih
dari kerusakan moral para penyelenggara negara.
Tidak ada politik yang bersih. Tidak ada partai politik
yang bersih. Politik itu taik. Partai itu partikel tai. Kotor, jorok, dan
busuk! Saya tidak akan memilih tinggal dalam lubang kakus atau tidur nyenyak
dalam septikteng.
Balikpapan, 01 Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar