Jumat, 30 Oktober 2009

Orang Nomor Satu dan Tertinggi di Indonesia *

Selasa, 20 Oktober 2009, pukul 10.25 WIB Susilo Bambang Yudhoyono, atau dikenal sebagai SBY, dilantik menjadi Presiden RI periode 2009-2014 di gedung MPR-DPR Senayan Jakarta. Upacara pelantikan tersebut, disamping dihadiri oleh beberapa mantan presiden, kepala negara lain, dan lain sebagainya, juga ditayangkan oleh banyak stasiun televisi, dan beritanya menghiasi halaman muka media cetak.


Situasi dan publikasi di atas sangat kontradiktif jika disandingkan dengan pelantikan Ketua MPR RI periode 2009-2014, Taufik Kiemas. Lucunya, proses terpilihnya Ketua MPR bahkan Ketua DPR RI kalah mendebarkan dibanding proses pemanggilan calon-calon menteri alias para pembantu presiden dalam kabinet baru pasca pelantikan SBY jilid II.



Teori, De Jure – De Facto, dan Realitas Anomalis


Dalam teori usang dituliskan, “Presiden adalah mandataris MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat). Masa jabatan atau kedudukannya pun dipengaruhi, salah satunya, oleh keputusan MPR.” MPR merupakan Lembaga Tertinggi Negara, sedangkan presiden berada di Lembaga Tinggi Negara. Artinya, atasan seorang presiden adalah MPR; MPR membawahi presiden. Berdasarkan teori tersebut, seharusnyalah MPR menjadi puncak segala puncak kekuasaan tertinggi di Indonesia, dan jabatan tersebut paling sengit diperebutkan oleh para politikus di negeri ini.


Entah kenapa, seperti yang sudah-sudah, MPR seringkali berada pada posisi nomor sekian; presiden berada di nomor satu dengan julukan politis “RI 1” dan populis “orang nomor satu”. Sejak masa pemerintahan Presiden I RI Ir. Soekarno telah “mencoba” memberangus kapasitas MPR melalui Dekrit 5 Juli 1959, Presiden II RI Soeharto “berhasil” mengebiri fungsi MPR sehingga kursi kepresidenannya sama sekali bebas dari “panggilan” MPR, hingga Presiden VI RI Doktor H. SBY “berhasil” membuat MPR sekadar “simbol” dalam sistem perpolitikan negara. Ketua MPR RI periode 2004-2009 Hidayat Nurwahid pun sama sekali tidak menunjukkan kapasitas optimalnya sewaktu maraknya kasus-kasus “besar”, misalnya harga BBM, lumpur Lapindo, dan lain-lain, yang mana kasus-kasus tersebut bersinggungan dengan kinerja “keliru” oknum-oknum di kabinet SBY.


MPR menjalankan fungsinya secara gagah-perkasa hanya terjadi pada waktu diketuai oleh Prof.DR. Amien Rais (1999-2004), yakni memberhentikan jabatan Presiden IV RI Abdurrachman Wahid, dan menaikkan Megawati menjadi Presiden V RI. Pada peristiwa “naik-turun” itu jelas bahwa jabatan “orang nomor satu” di Indonesia bukan “tertinggi” secara de facto, melainkan mengembalikan MPR sebagai “tertinggi” secara de jure-de facto kendati sebutan Ketua MPR RI Amien Rais tetap bukan “orang nomor satu”. Ironisnya, seorang Amien Rais tetap mengincar jabatan “orang nomor satu” melalui PILPRES 2004, meski mujur sekali beliau tidak mendapat dukungan dari mayoritas rakyat Indonesia.


Kembalinya SBY sebagai presiden terpilih periode 2009-2014, dan terpilihnya Taufik Kiemas sebagai Ketua MPR RI periode 2009-2014 sekaligus menguaknya wacana bahwa PDIP tidak berkoalisi ataupun beroposisi terhadap pemerintahan SBY jilid II, mungkin menimbulkan beberapa pertanyaan seputar hubungan antara “tertinggi” dan “tinggi”. Pertanyaan tersebut diantaranya, apakah MPR masih sama dengan MPR periode sebelumnya, apakah MPR akan kembali ke fitrahnya sebagai “atasan” bagi presiden, siapakah yang akan “memanggil” presiden jika kasus semacam lumpur Lapindo tidak juga terselesaikan, dan lain-lain.



Opini Pribadi Terhadap Realitas Anomalis


Kalau selama ini terlihat gembar-gembor Pemilihan Legislatif (PILEG) dan Pemilihan Presiden (PILPRES), belum pernah ada Pemilihan Ketua MPR (PILKAMPER). Sementara dalam hajatan nasional antara PILEG dan PILPRES, segala daya upaya dan manuver-manuver politik paling gencar terjadi dalam PILPRES. Seorang Ketua MPR RI pun masih ngiler pada kursi presiden. Sebagian ketua partai pun mencondongkan obsesinya pada kursi kepresidenan daripada kursi ketua DPR-MPR. Kenapa kursi presiden terlihat paling empuk bagi sebagian politikus di Indonesia?


Coba tengok lagi situasi dalam upacara pelantikan presiden di Indonesia pasca Reformasi 1998 ini yang selalu lebih meriah dibanding pelantikan ketua MPR, padahal presiden berada di Lembaga Tinggi Negara sedangkan MPR merupakan Lembaga Tertinggi Negara. Selain itu, selama ini tidak ada kampanye dan PILKAMPER. Sebutan berdasarkan nomor urut untuk seorang presiden pun adalah orang nomor satu. Kenapa ketua MPR tidak menjadi “RI 1” alias orang nomor satu di Indonesia?


Barangkali ada yang menjawab, karena presiden merupakan pelaksana atas semua kebijakan berbangsa dan bernegara sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 dan GBHN. Tapi dari jawaban tersebut memunculkan pertanyaan berikutnya, apakah itu berarti jabatan presiden lebih penting (berkuasa secara de facto) daripada ketua MPR atau ketua DPR, apalagi jika jabatan tersebut dikaitkan dengan kebijakan langsung dari pemerintah untuk rakyat, termasuk para pelaku usaha ekonomi swasta?


Apa pun dalih teoritis dan doktrinnya, kenyataan tidaklah bisa terus-menerus dikamuflase, bahwa sesungguhnya posisi presiden paling strategis daripada ketua MPR, ketua DPR, apalagi ketua-ketua lembaga lainnya walaupun dalam sistem kelembagaan negara presiden hanya menduduki kursi puncak di Lembaga Tinggi Negara.


Dan apa pun dalih idealis maupun “sok nasionalis”, ada suatu kepentingan yang selalu menjadi bidikan dan bikin ngiler sebagian orang, politikus atau partai terhadap posisi strategisnya seorang presiden dibanding ketua MPR maupun DPR. Kalau kepentingan itu adalah “kekayaan pribadi” atau “rekening partai”, belumlah tentu keliru dugaan naïf ini.


Yang jelas, ketua Golput maupun kader-kadernya tidak pernah ngiler atau tergiur pada kursi kepresidenan maupun kursi ketua MPR-DPR. Seorang Golput pun tidak perlu bingung di mana posisinya terhadap pemerintah maupun partai-partai yang “berkepentingan”. Posisi sebagai oposisi ataukah koalisi bukanlah pilihan tempat bagi Golput sebagaimana ciptaan para politikus, tetapi nilai-nilai idealisme dan konsistensi menjadi tuntutan utama dalam perilaku, perikata, perirasa dan peripikir demi bangsa ini, meski kiprahnya terlihat sepele, misalnya menjadi sukarelawan, bekerja dengan segenap integritas, tidak koruptif-manupulatif, tidak terlibat kriminal dan atau narkoba, tidak merusak alam, dan memiliki visi-misi untuk masa depan Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Selain itu, selama ini tidak ada upacara pelantikan ketua Golput maupun menteri-menteri Golput seperti halnya pelantikan presiden beberapa hari lalu maupun pelantikan menteri-menteri dalam kabinet Indonesia Bersatu jilid II.


*******

Gunung Sari, 21 Oktober 2009


*) ditulis oleh kader Golput

Kamis, 02 April 2009

PARTAI-PARTAI TERELIMINASI


Nomor Urut : 101
Nama Partai : PARTAI WAYANG
Ketua Umum : PROF.DR.DALANG DEVIL
Wakil Ketua : PRABU HANTU
Sekretaris Jenderal : RADEN HAWA NAFSU
Alamat Sekretariat : NO MADEN























Nomor Urut : 202
Nama Partai : PARTAI JABLAY
Ketua Umum : DR. Dolly Salome
Wakil Ketua : Ir. Sarkem Adem Ayem
Sekretaris Jenderal : Sunan Kuning
Alamat Sekretariat : Kalijodo

Rabu, 25 Maret 2009

TERIAKAN WAKIL RAKYAT


SELALU ADA JATAH PROYEK UNTUK WAKIL RAKYAT

Kenapa orang-orang melakukan apa saja untuk menjadi anggota legislatif?
Apakah semua bermotivasi murni demi kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?


Kamis, 19 Februari 2009

Memilih Tidak Memilih *


Dalam beberapa kasus, ketika masyarakat atau seseorang membiarkan dirinya diwakili, maka masyarakat atau seseorang itu sudah tidak bebas lagi atau secara ekstrim dikatakan masyarakat atau orang tersebut sudah tidak ada lagi.

(Jean Jacques Rousseau)



Menyambut PEMILU 2009, yakni PILEG dan PILPRES, pada akhir tahun 2008 Ketua MPR RI 2004-2009 Hidayat Nur Wahid dari Partai Keadilan Sejahtera tiba-tiba berfatwa, “GOLPUT ITU HARAM.” Tidak lupa dibandingkannya dengan Australia yang mewajibkan seluruh warga negaranya andil dalam PEMILU di sana.



Menggelikan. GOLPUT ITU HARAM. Betapa mudah membuat fatwa seolah dari wangsit atas Langit. Dan dalam soal wangsit-wangsitan, bisa jadi merupakan pesaing sengit bagi Lia Eden, Agus Solihin, dan rekan-rekan seperjuangannya. Ah, tapi untunglah, wangsit “golput itu haram” hanya berlaku bagi kalangan terbatas.




A. Dua Partai dalam Satu Rumah



Pada tahun 1980-an aku mulai mengenal partai-partai peserta PEMILU. PPP, GOLKAR, dan PDI. Ayahku, yang bekerja di swasta, bertahan dengan partai pilihannya, partai titisan Bung Karno. Ibuku, yang bekerja di salah satu BUMN di daerah kami ketika itu, bilang, “Pilih partai yang ngasih kita makan.”



Aku bertanya dalam hati, partai apa yang memberi kami makan. Setahuku, ibu dan ayah bekerja keras, bukan duduk bersila di depan kantor BUMN untuk mengemis makanan. Di rumah pun tidak pernah ada kunjungan dari orang-orang partai itu untuk memberi makanan. Kenapa ibu bisa bilang seperti itu? Lagian, usiaku sendiri belum cukup untuk mendapat hak pilih.



Begitulah, di rumah kami, ada dua partai (seperti Partai Republik dan Partai Demokrat di Amerika Serikat) yang sedang bertarung, baik secara ideologis maupun pragmatis, meski aku buta total soal politik dan intrik-intrik partai peserta PEMILU jaman ORBA.



Ketika aku berumur lebih 25 tahun, orangtuaku tidak pernah menyinggung sikap politikku dalam memilih. Sebab, dari setiap obrolan seputar kampanye, baik PILKADA maupun PILEG-PILPRES aku hanya bilang, “Aku Golput saja.”






B. Komentar Beberapa Simpatisan Partai di Tempat Berbeda



B.1. Seorang Istri Tokoh Partai A



Ibu kawanku adalah istri seorang tokoh sebuah partai besar di kampung halamanku, Bangka. Beliau setia pada partai naungan suaminya meski suaminya sudah meninggal dunia. Pada tahun 2000-an aku berkunjung ke rumah kawanku, dan berjumpa dengan ibunya. Pembicaraan ini-itu hingga masuk ranah politik. Bertanyalah ibu kawanku, “Kamu milih partai apa?”



“Partai GOLPUT, Bu.”



Maka, sebagai salah seorang penting di Partai A, beliau menceramahi aku, bahwa sebagai warga negara Indonesia yang baik, aku harus begini-begitu dalam pesta demokrasi alias “berpartai”.






B.2. Seorang Pensiunan Aparat Menjadi Fungsionaris Partai B



Dua tahun sejak aku diceramahi ibu kawanku, seorang pensiunan aparat dan kini fungsionaris bahkan ketua di dewan pimpinan cabang Partai B yang berasaskan agama A, menegur aku, “Anda tinggal di mana?”



Bah! Mentang-mentang tua, pakai sok pikun pula. Kujawablah, “Indonesia.” Sebenarnya sih aku mau bohong karena dia berlagak pikun begitu, aku tinggal di Swiss. Tapi aku tidak berani bohong pada orang tua bangka begitu, takut kena tulah durhaka (masih feodal-konservatif-tradisional juga nih!).



“Nah, sebagai warga Negara Indonesia yang baik, Anda wajib mengikuti peraturan pemerintah di sini,” begitu ceramahnya.



Aku bukan warga negara Indonesia yang baik? Oh! Aku yang bekerja secara formal dan tidak sudi melakukan tindak pidana seperti mencuri, menipu, membunuh, menggarong, menodong dan kriminalitas lainnya, dan tindak perdata seperti menilep tanah orang atas nama pembangunan dan lain-lain, kenapa status kebaikan berwarganegaraku digugat ya?



“Anda wajib menggunakan hak pilih Anda dalam PEMILU.”


“Pak, hidup itu pilihan. Mau menggunakan hak atau tidak, mau memilih atau tidak memilih, itu pilihan.”


“Berarti Anda GOLPUT.”


“Seratus untuk Bapak. Silakan dibagi-bagikan untuk fakir miskin.”



Kemudian si tua bangka itu bertanya, “Anda berasal dari mana?” Kujawab cepat, “Seberang!”



Lantas tua bangka itu menawarkan aku bergabung dengan partai yang dianutnya. “Anda butuh biaya mudik, partai kami akan membiayainya. Gratis. Dapat uang saku lagi. Kalau hari besar, Anda bisa minta beberapa rupiah dan pakaian baru untuk berhari raya,” bujuknya. Tak lupa pula dia mengisahkan masa lalunya bersama Partai A. Di partai wajib itu, katanya, dia tidak mendapat apa-apa. Hanya kewajiban memilih partai itu. Tidak ada kompensasi yang cukup menghibur. Tidak seperti Partai B, yang kini dianutnya, bahkan dia terpilih sebagai pimpinan DPC-nya.



“Syaratnya apa, Pak?”


“Anda menjadi anggota dan menerima kartu anggota Partai B.”


“Kalau aku tidak punya kartu anggota?”


“Ya tidak dapat. Khusus anggota.”


“Berarti kebaikan partai Bapak hanya berlandaskan keanggotaan yang ujung-ujungnya untuk meraih perolehan suara? Orang atau rakyat di luar anggota, tidak dipedulikan oleh partai Z?”


“Ya jelas.”


“Rakyat itu bukan warga negara Indonesia, ya, Pak? Yang tidak menjadi anggota partai Bapak berarti bukan warga negara yang baik, ya, Pak, sehingga tidak usah dipedulikan?”



Si tua bangka tidak mau menjawab. Dia kembali menawarkan aku bergabung, menjadi anggota, dan mendapatkan fasilitas sebagai anggota. Tapi aku jawab, “Pak, sebagai warga negara Indonesia, aku pilih bekerja untuk menghidupi diriku. Aku tidak mau membebani organisasi, yang mana aku tidak bekerja tapi minta ini-itu. Sudah bagus, kan Pak, aku tidak melakukan kriminal maupun bisnis narkoba?”



Begitulah. Pembicaraan itu berakhir dengan ucapan selamat jalan. Aku tidak tahu pemikiran apa yang ada di benaknya mengenai sikap politik yang aku ambil. Aku tidak peduli apa pun persepsinya tentang aku, apalagi soal baik-buruk karena dia bukan Nabi atau Tuhan. Yang jadi pemikiranku, apakah makhluk tua bangka yang sudah berpengalaman dalam politik dan partai politik semacam itu menilai seorang warga negara Indonesia yang baik dan wajib dipedulikan nasibnya apabila ia sudah menjadi anggota partai. Di luar Partai B, tidak perlu dipedulikan dan termasuk bukan warga negara Indonesia, dan warga negara yang buruk. Dasar Partai Disintegrated!






B.3. Seorang Pria yang Simpatisan Partai C



Sekitar Mei 2008 aku nimbrung minum kopi dengan kawan-kawan di sebuah kedai kopi pinggir jalan Daan Mogot, Jakarta Barat. Ada sedikit perdebatan politik di situ. Salah seorang laki-laki berkaos oblong hitam bertuliskan “Rakyat Jangan Mau Dibodohi”, begitu berapi-api bicara soal politik, kebijakan ini-itu, dan tokoh-tokoh berkarisma dari Partai C. Realitas masa lalu disandingkannya dengan realitas aktual meski kelihatan wawasan dan argumentasinya cukup memprihatinkan. Kami mengenal dia sebagai sesama warga kampung di sekitar kedai itu.



Waktu itu aku tanya, “Dari partai mana?” Dia jawab, “Gua simpatisan partai C. Gua juga pengagum S.” Seorang kawan menambahkan, “Dia fungsionaris partai C.”



Aku tertarik dengan “tokoh masa lalu” yang dikoarkannya, lantas aku tanya lagi, “Kamu punya buku-buku S.?” Dengan gugup dia jawab, “Waduh, gua kagak punya. Mahal sih.”



Mahal? Aku pernah beli, harganya di bawah Rp.20.000,- “Pinjamin Gua dong,” ujarnya dengan air muka yang berubah pucat. Demikian pula ketika kutanyakan sedikit tentang dasar-dasar ilmu politik, dia sama sekali kebingungan.



Aku bilang padanya, “Bung, aku bukan siapa-siapa, tidak punya partai, tidak peduli partai beserta tokoh-tokoh besarnya. Tapi buku-buku tentang S. dan politik, aku punya beberapa, termasuk buku bersejarah setebal lebih 5 sentimeter yang dicetak tahun 1955.”



Dari ucapanku itu otomatis pembicaraan politik berubah topik lantaran dia tiba-tiba pamit untuk melakukan sesuatu di rumah. Beberapa hari kemudian kami bertemu, dan dia sedang terburu-buru sambil membawa tas kulit hitam. “Sorry, gua mau ziarah ke makam S.”.





B.4. Seorang Sastrawan yang juga Fungsionaris Partai D untuk Wilayah Luar Negeri



Juli 2008. Bukit Sentul Bogor dibelai angin malam. Aku ngobrol dengan seorang kawan yang kukenal lewat dunia sastra, dan dia mengasuh sebuah milis. Beberapa tulisan serial “Republik Munafik”-ku terpajang di milisnya.



Tengah malam itu kami mengobrol lebih dari 1 jam, dari soal sastra hingga pada ranah politik. Dia berkomentar, “Kami selama ini mencermati tulisan GOLPUT-mu. Kau pintar tapi bodoh!” Oh, pintar tapi bodoh? “Ya, kau jago nulis, kritis, analitis, dan sinis. Arsitek, kartunis, sastrawan, sekaligus naïfboy!”



Aku tidak mengerti. “Kau tidak mengerti? Kau tahu, nggak, tulisan-tulisanmu tentang GOLPUT justru menjadi kajian vital bagi pihak asing dan dipergunakan mereka untuk melakukan politik devide et impera pasca perang dingin Barat.”



Sampai sebegitu hebohnya? “Ya. Diam-diam mereka memakai isi otakmu untuk mencari ceruk perpecahan untuk menyukseskan imperialisme gaya masa kini! Kau mengerti kebobrokan bangsa kita, dan kau sebarkan informasi serta opinimu itu ke internet dengan bendera GOLPUT-mu.”



Dia melanjutkan, “Kau harusnya paham, partai politik merupakan salah satu pilar kedaulatan bangsa. Salah satunya ya Indonesia. Mau atau tidak, kau harusnya masuk salah satu parpol. Kalau kau bicara politik, korelasinya adalah sebuah komunitas alias parpol.”



“Sorry, Bang, aku alergi parpol.”



“Ow, tidak bisa begitu. Negara Kesatuan Republik Indonesia berdiri karena memiliki parpol ketika itu. Nah sekarang kau harus pilih, parpol yang berlandaskan agamamu atau parpol nasionalis. Tidak mungkin, kan, kau masuk parpol yang tidak sejalan dengan misi agamamu?”



“Lho, ini mau membuat Negara Agama atau apa?”



“Maka dari itu, kau pilih yang nasionalis. Kau harus waspada, parpol yang berbeda dengan agamamu kini kian merapatkan barisan. Kalau mereka menang dan kemudian mendominasi secara mutlak, kau bisa dikeluarkan dari Indonesia.”



Gila! Aku baru menyadari betapa besar bom waktu disintegrasi bangsa melalui kompetisi parpol semacam itu. Hal ini bukan saja menjadi catatan penting dalam kepedulianku terhadap arti ketulusan berbangsa-bernegara, juga waspada penuh pada ledakan dahsyat parpol-parpol yang akan berkuasa. Sungguh miris apabila prediksi kawanku itu terbukti kelak.



Pada penghujung obrolan seluler kami, aku bertanya, “Abang sekarang masuk partai apa?” Dengan lantang dia berkata, “Gue ini sekarang anggota Partai C sekaligus fungsionaris untuk wilayah luar negeri. Kau harus hati-hati. Jangan sampai kelak kau diusir dari tanah airmu sendiri gara-gara agamamu dan GOLPUT-mu!”






B.5. Seorang Kawan Beretnis Tionghoa



Desember – Januari 2009 aku mudik di Bangka hingga menikmati tiga tahun baru, yakni Hijriah 1430, Masehi 2009, dan Imlek 2560. Tahun baru yang tidak lagi kunikmati selama 20 tahun adalah Imlek. Di Bangka, Tahun Baru Imlek sudah dirayakan sejak aku belum lahir. Pada tanggal pas tahun baru itu, kepala sekolah kami sudah memberikan hari libur bersama selama dua hari. Sungguh berbeda ketika aku berada di Yogyakarta selama tujuh belas tahun. Suasana Imlek sama sekali tidak pernah kurasakan di Kota Budaya itu.



Maka pada kesempatan Imlek 2560 (26 Januari 2009) aku berkunjung ke rumah kawanku yang merayakan Imlek. Dia seorang perempuan. Bekas kawan sekelas sejak SD hingga tamat SMP di Bangka. Dia cerdas. Bahasa Inggrisnya super aktif. Aku bertamu di rumahnya (sebuah ruko di kawasan pasar kota) sampai 3 jam.



Dalam pertemuan 3 jam tersebut, salah satu topik pembicaraan kami adalah politik, tepatnya PEMILU. Maklum, demam PEMILU sudah menjangkiti hingga pelosok daerah. Di sela obrolan dia bertanya, “Kamu suka partai mana?” Dan aku tidak perlu susah menjawabnya, “GOLPUT.”



“Kamu ini bagaimana sih? Aku, walaupun sering dibilang sebagai warga keturunan yang kurang peduli politik, mau ikut PEMILU. Lha kamu, pribumi…”



Tampaknya ada yang terlupa oleh kawanku yang justru berdomisili di Bangka.dalam pergaulan sosial-politik di daerah kami sendiri, bahwasannya sebagian orang Tionghoa sudah sangat peduli politik di daerah kami. Sejak munculnya Ahok (aku lupa nama resminya) si orang Tionghoa sebagai Bupati Belitung Timur beberapa tahun lampau, sebagian orang Tionghoa di Babel dewasa ini kian peduli politik. Berikutnya poster-poster kampanye yang terpampang di beberapa sudut kota menampilkan wajah-wajah warga keturunan sebagai caleg dari beberapa partai untuk PILEG 2009 ini.



Aku sendiri sudah biasa dengan hujatan orang-orang atas pilihanku sebagai seorang GOLPUT, lantas aku bilang, “Pilihanku bukanlah tanpa sebab-musabab. Terlalu panjang kalau aku harus menceritakan semua sampai pada satu pilihanku. Apalagi janji-janji tinggal janji, negeri makmur hanyalah isapan jempol rakyat pinggiran.” Singkatnya aku pun berapologi dan berargumentasi mengenai sikap politikku.



Puncak dari obrolan kami, dia menghargai pilihanku berdasarkan realitas dari beberapa carut-marut sosial-politik di Indonesia tercinta ini. Aku pun menghargai kepedulian dan pilihannya untuk ikut ber-PEMILU serta harapannya untuk tetap bisa menjalankan usaha dagangnya secara aman dan terkendali, meskipun selama pemerintahan ORBA dia dan kawan-kawan seetnisnya selalu dipermainkan oleh oknum-oknum birokrasi kewarganegaraan maupun pergaulan kalangan diskriminatif-disintegratif dalam status sosial.






C. Warga Negara Indonesia yang Baik



Semasa sekolah dari SD sampai SMA, nilai Pendidikan Moral Pancasila (PMP)-ku atau kemudian diganti dengan PPKn, tidak pernah merah di raport. Di SMA aku sudah ikut Penataran P4 sebagaimana program rezim ORBA. Nilai hasil ujianku untuk mata kuliah Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan pun tidak pernah E alias tidak lulus. Secara formal aku diakui. Bukankah aspek formalitas menjadi superpenting di Republik Munafik ini?



Dalam kehidupan sehari-hari aku tidak memiliki catatan merah (kriminal dan narkoba) dalam tata pergaulan di lingkungan aku tinggal, baik di Bangka, Yogyakarta maupun kini Jakarta. Waktu melanjutkan pendidikan di Yogyakarta, beberapa kali aku diminta jadi MC acara 17 Agustusan, dari malam tirakatan hingga esoknya pas pembagian hadiah lomba 17-an.



Di kepolisian setempat, di mana aku pernah tinggal, aku tidak pernah menjadi penjahat, baik mencuri jemuran sampai mencuri kas negara alias korupsi. Aku tidak tertarik pada kegiatan kriminal dan narkoba sejak aku sedang mengalami masa puber pertama di Bangka. Sekarang usiaku dua kali lipat masa puber itu, semakin mantap memegang prinsip hidup dalam tata pergaulan umum beserta hukum-hukum formal-informal yang mengaturnya.



Akan tetapi, bagaimana bisa para simpatisan partai berbeda itu bisa menggugat status kewarganegaraanku dalam konteks baik-buruk hanya gara-gara aku memilih GOLPUT?



Aku pun bisa menggugat status “kewarganegaraan yang baik” milik orang-orang karena status dirinya yang berpartai. Apakah orang-orang partai, baik partai A, B, C, D maupun lainnya itu bisa menjamin bahwa diri mereka adalah warga negara yang baik, yang tidak melakukan praktik-praktik kotor seperti suap, korupsi, rekayasa data, menyelewengkan uang rakyat, dan lain-lain bahkan walaupun masing-masing mengibarkan bendera agama hingga ke lapis langit ke-7? Bagaimana dengan oknum partai di DPR yang diciduk aparat karena kasus korupsi? Bagaimana oknum-oknum DPR merengek-rengek minta tambah ini-itu padahal jaminan materi termasuk asset pribadi serba mewah, sangat jauh dari income seorang pengemis selama 30 tahun? Belum lagi bisnis kebijakan, perselingkuhan (skandal seks), dan lain-lain.



Beginilah susahnya lingkup berpikir orang-orang partai, yang menilai “kebaikan” seorang warga negara dari partisipasi “memilih partai”, bukan dari perilaku-perilaku atau tabiat-tabiat misterius yang akhirnya terungkap “korup”, “mangkir”, “selingkuh”, dan segala kebobrokan moral lainnya. Dan akan lebih dipuji sebagai “orang baik” lagi seandainya seorang warga Negara mau memilih partainya, bukannya menentang atau menjadi pendukung partai kompetitor. Owalah!






D. Kompetisi Partai-Partai Berebut Kompensasi-Komisi



Mengapa orang-orang aktif dalam berpartai, aktif pula menyentimenkan dan mendeskreditkan partai lainnya atas nama sesama Warga Negara Indonesia yang Baik?



Tengoklah perdebatan antarpartai. Masing-masing menuding sesama anak bangsa tidak becus mengurus negeri, tidak kapabel memanage bangsa, dan lain-lain. Masing-masing partai merasa paling Indonesia. Mereka menjual nama rakyat, berlomba-lomba mengeras suara pemilih yang mendukung mereka untuk mencapai posisi tertentu hingga puncak.



Lantas, apa yang mereka lakukan ketika sudah mencapai posisi yang mereka inginkan? Sebagian dari mereka (yang pada dasarnya memang bermental oportunis-hedonis-materialis) memanfaatkan posisi untuk mengeruk uang ini-itu dalam acara sidang-sidang dengan cara datang-daftar-duduk-dengar-diam-dengkur-duit, atau datang-daftar-duit-dadaaa. Lalai menunaikan tugas, dan sidang-sidang penting-urgent malah diabaikan. Ulah segelintir oknum merusak korp perwakilan rakyat.



Begitulah mereka bersaing, bertuding, berbanting, dan akhirnya mungkin bersanding lantas minta kompensasi untuk menyodorkan rancangan dan calon, atau juga diantaranya minta komisi meski sekadar tanda tangan absensi. Ya, jangankan kepada kader GOLPUT seperti aku ini, dengan partai pesaing saja mereka bisa berseberangan dan berhasutan. Apakah GOLPUT sebenarnya diam-diam merupakan pesaing berat bagi partai-partai resmi di Indonesia?



Kalangan partai seringkali menyesali pilihan orang untuk “memilih tidak memilih” alias GOLPUT karena mereka mencurigai kertas-kertas suara yang kosong akan dimanfaatkan oleh partai-partai pesaing mereka. Bagiku, sikap semacam itu justru superkeliru dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prinsip kebangsaan yang sektarian itu menyedihkan!



Tampaknya politik “devide et impera” menjadi lestari dalam bentuk persaingan partai mengumpulkan massa semata demi kursi yang ujung-ujungnya sama sekali tidak menyentuh rasa peduli-simpati terhadap kesengsaraan rakyat miskin Indonesia. Orang-orang pentolan partai seringkali terlena pada menara gading perpolitikan nasional sehingga lambat-laun rasa kemanusiaan sebagai sesama warga negara Indonesia tumpul, dan akhirnya mereka teralienasi dengan program-program yang bercorak hedonisme dan materialisme. Memalukan sekali!



Contohnya busung lapar, gizi buruk, bunuh diri massal, lumpur LAPINDO yang mengusir penduduk setempat serta menenggelamkan jejak leluhur mereka, penggusuran PKL padahal PKL merupakan salah satu usaha rakyat untuk survival dalam keculasan isu ekonomi global, maraknya PHK akibat krisis finansial global gara-gara modal besar dari luar negeri yang salah kelola dan antisipasi, birokrasi berbelat-belit yang ujung-ujungnya duit, pungli di hadapan mata rakyat semisal setoran tidak tertulis atas perjalanan angkutan, korupsi tebang pilih, penyunatan masa hukuman bagi terpidana beruang, jual-beli kebijakan publik atasnama pemerintah dan wakil rakyat, politik dagang sapi lantaran partai ternyata mandul membentuk kader pemimpin bangsa, dan lain-lain.



Aku tidak perlu menuliskan semua detail karena berita-berita kebobrokan oknum-oknum partai beserta kadernya sudah cukup banyak, termasuk oknum partai yang sedang dipijat nikmat oleh seorang perempuan bukan muhrimnya di sebuah panti pijat plus namun orang partainya berusaha untuk menolak berita miring soal kebobrokan moral kadernya tersebut. Intinya, realitas yang tercipta sama sekali tidak juga menjadi bahan kajian yang benar-benar melibatkan kesatuan nalar dan nurani seoptimal mungkin. Kalau pun kemudian ada, kegiatan itu pun tidak lebih dari usaha menjaring simpati dan suara untuk kemenangan partai dan calon presiden mereka di PEMILU 2009 nanti, termasuk persoalan penurunan harga BBM yang seenaknya diklaim oleh sebuah partai sebagai prestasi mengagumkan.



Di balik semua di atas, ungkapan “TIDAK ADA KAWAN ATAU LAWAN ABADI, MELAINKAN KEPENTINGANLAH YANG ABADI” merupakan ungkapan usang yang selalu terbukti. Perseteruan pun bisa menjadi pertemanan ataupun sebaliknya. Kasus 27 Juli 1996 sama sekali tidak jelas lagi penyelesaiannya. Kesemuannya itu pada akhirnya bermuara pada satu : KEPENTINGAN. Aku tidak percaya pada idealisme karena udelisme-lah yang menjadi penting! Perseteruan, pertemanan, teman jadi seteru, atau seteru jadi teman, kesemuanya berada dalam satu koridor, UDELISME. Tidak menjadi penting jika ada lebih dari seratus jiwa menjadi korban politik!






E. Memilih Tidak Memilih



Salah satu keputusan berpolitik praktis dalam setiap PEMILU yaitu “memilih tidak memilih” alias GOLPUT seharusnya menjadi salah satu bahan introspeksi serius oleh para politkus dan pemikir dari semua partai. Mengapa sebagian rakyat memilih sebagai kader GOLPUT, selain lantaran tidak terdaftar atau tidak didaftarkan oleh RT setempat, atau juga tiba-tiba kecelakaan gawat hingga sakit berat?



Reformasi 1998 disusul bermunculannya partai baru memang merupakan bukti adanya apresiasi positif dari sebagian besar masyarakat terhadap situasi demokrasi Indonesia dewasa ini. Namun euforia politik itu akhirnya tidak efektif dan cenderung diskriminatif hingga berbalik destruktif, memarjinalkan sebagian rakyat dari tata pergaulan manusia Indonesia yang ber-Pancasila. Partai-partai besar ternyata hanya sibuk berebut kenikmatan dunia tanpa peduli kian sengsaranya rakyat menghadapi tekanan ekonomi sebagai akibat kebijakan-kebijakan yang sama sekali tidak berpihak kepada kepentingan rakyat.



Realitas carut-marut perpolitikan dan kebijakan yang “anti rakyat” ini semakin menambah jumlah simpatisan dan kader GOLPUT meski validitas datanya masih harus dikaji lebih cermat-cerdas. Paling tidak, di masyarakat telah berkembang “mosi tidak percaya” terhadap partai (lembaga legislatif) dan pemerintah (lembaga ekskutif) yang mengobral janji kosong lewat mulut para jurkam dan jubirnya. Atribut agama A-B-C tidak lebih dari gincu di bibir dower mereka.



Aku berani bilang begitu lantaran setiap hari aku bergaul dengan kaum marhaen, rakyat pinggiran, yang berstatus kuli kasar, pengangguran, dan karyawan bergaji minimalis. Nonsens semua janji-janji tentang perubahan atau perbaikan dalam hiruk-pikuk kampanye itu! Politik bukan panglima! Di sisi lain aku melihat adanya singa-singa disintegrat (berkostum partai) yang sedang mengintai persatuan dan kesatuan Indonesia.



Aku tidak akan pernah memilih partai Anda, yang melulu menjual nama “rakyat” ketika kampanye tetapi setelah masuk Senayan atau di DPRD lokal justru tindakan Anda beserta partai Anda hanya duduk-diam-dengkur-duit-dst tanpa peduli rakyat diusir dari buminya sendiri, rakyat mengais di tanah airnya, rakyat mengemis pada belaskasihan konglomerat, dan lain-lain.



Aku akan merasa turut bersalah jika memilih Anda dan partai Anda, yang menjalankan fungsi “wakitl rakyat” tetapi kemudian mengkhianati rakyat demi kepentingan kekayaan, hedonis ataupun kepuasan syahwat yang disodorkan oleh konglomerat (orang kaya) atau kelompok oportunis yang berkepentingan politik belaka.






F. GOLPUT, Demokrasi, Hak Azasi, dan Sebuah Harapan



Keputusan “memilih tidak memilih” alias GOLPUT dalam setiap PEMILU merupakan salah satu halk azasi manusia Indonesia apabila pilihan tersebut cukup logis, analitis dan kritis, sama saja ketika orang-orang memilih Partai A, B, C, D, E, dan lain-lainnya. Sebagian rakyat berhak tidak mau lagi salah memilih, di mana partai dan orang pilihan ternyata lebih menikmati fasilitas kursi daripada memperjuangkan nasib rakyat. Rakyat berhak tidak mau lagi mendukung partai dan orang-orang yang hanya memakmurkan diri sendiri dan tidak peduli pada derita rakyat, serta justru berbalik semakin menyengsarakan rakyat.



Ya, sama seperti orang-orang yang memilih berpartai. Orang-orang partai berhak membela, memamerkan, dan menggaungkan partainya masing-masing di hadapan kompetitor, meski tak jarang saling tuding, fitnah, menjatuhkan, dan cara-cara busuk lainnya, yang sebenarnya hal tersebut justru memperlihatkan ketidaksatupaduan berbangsa-bernegara. Ya, mereka berhak membela diri sembari merasa berhak pula menyerang kompetitor dengan hasutan dan fitnahan. Kalau tidak percaya, saksikan saja di media massa!



Aku tidak membutuhkan intrik-intrik politik licik semacam itu. Sudah saatnya para juru kampanye partai-partai tidak menjual obat panu kepada rakyat yang sakit mag akut, atau menjual pepesan kosong kepada rakyat yang kelaparan akibat menjulangnya harga sembako. Sebab negara Indonesia ini bukan hanya milik partai-partai beserta keluarga besar kadernya, melainkan seluruh rakyat Indonesia. Penderitaan kaum marhaen dan rakyat jelata bukanlah iklan jitu bagi posisi politik yang berujung pada hedonisme-materialisme kader partai (bersenang-senang di atas penderitaan rakyat). Dan, jangan cuma bisa melecehkan bahkan mengharamkan pilihan orang yang “memilih tidak memilih” alias GOLPUT tanpa melakukan introspeksi dan melakukan perubahan positif bagi beban hidup seluruh rakyat Indoensia terlebih dulu!



Disamping itu, apabila kita benar-benar memahami esensi demokrasi, pilihan politik seseorang untuk “memilih tidak memilih” haruslah tetap dihargai. Bukannya lantas khawatir jika kelak kalah dalam perolehan suara, panik karena takut kalah, bingung karena tidak sanggup menjadi tokoh diktator-absoluter atas sikap politik orang lain, lalu sepakat mutlak pada kredo “GOLPUT itu haram”.



Anda kecewa karena aku “tidak memilih” ataupun berarti “tidak mendukung” Anda maupun rekan politik Anda? Anda berprasangka pula bahwasannya “hak pilih”-ku dimanfaatkan oleh orang atau partai lain, yang merupakan rival politik Anda? O alangkah busuk nian isi hati Anda itu jika terus-menerus menghidupkan prasangka bangkai semacam itu ! Ya, jelas busuk ! Kalau tidak busuk, niscaya Anda selalu merdeka pada pilihan Anda sembari tetap memerdekakan pilihan hidup orang lain dalam berbangsa-bernegara.



Sebaliknya, Anda, yang berbangga diri pada posisi dan fungsi Anda berpartai, jangan kemudian berkelit, berdalih atau berapologi jika Anda dan partai Anda tidak mampu menjalankan program yang Anda beserta seluruh komponen partai Anda gembar-gemborkan ketika kampanye layaknya pedagang obat berkoar-koar tentang kemujaraban obat-obatnya.



Anda berhak memilih partai dan berpartai, aku pun berhak tidak berpartai. Anda jujur sebagai orang partai, aku pun jujur sebagai orang tanpa partai. Tetapi mengapa kejujuran yang berbeda pilihan ini lantas membuat Anda marah sembari mempertanyakan “kebaikan sebagai warga negara”? Apakah aku pun tidak boleh marah jika janji-janji Anda dan partai Anda sewaktu kampanye ternyata meleset jauh dari realitas?



Mungkin Anda orang jujur tetapi bagaimana dengan orang-orang dalam partai Anda? Bagaimana dengan sebuah ungkapan “Banyak orang pintar tetapi satu-dua saja yang jujur”? Artinya, kumpulan orang dalam satu partai pun belum tentu memiliki satu kepentingan bersama karena “siapakah manusia yang tahu isi hati setiap sesamanya” seperti kata J.J. Rousseau, “Semua orang dipimpin oleh motivasi-motivasi rahasia.” Konflik internal dalam satu partai, keluarnya seseorang dari partainya, dan perpecahan partai merupakan salah satu indikasi “konflik kepentingan” dan “krisis saling percaya”.



Kejujuran itu emas bagiku. Orang-orang yang suka pamer kemewahan-kekayaan, suka berpesta pora, bersenang-senang, plesiran memboroskan uang, dan begengsi tinggi, angkuh-pongah-arogan, tidak jarang adalah orang-orang “tidak jujur”. Bagaimana ulah oknum “wakil rakyat” yang hanya datang, mengisi absen lalu pulang membawa “amplop honor” sidang tanpa peduli pentingnya sidang? Jujur memang oknum itu, “sekadar ambil jatah” dan “selamat bersidang”, tetapi sia-sia pilihan rakyat padanya.



Sia-sia? Ya, rakyat pemilih sangat berharap pada realisasi janji-janji lewat program-program cerdas partai tetapi oknum-oknumnya malah menunaikan amanah rakyat seenak perutnya sendiri. Bersidang regular itu kewajiban, sedangkan menerima honor itu hak. Kalau rakyat diwajibkan memilih, wakil rakyat pun harus diwajibkan mengikuti sidang dan menyampaikan isi pikirannya, entah isinya cerdas atau malah dungu.



Alangkah baiknya kalau pada waktu diadakan sidang-sidang legislatif yang regular dan khusus, sediakan pula borgol untuk tiap-tiap peserta sidang, lantas setelah mengisi absent mereka digiring lalu kaki mereka diborgol di kursi masing-masing ketika sidang. Lho, itu kan seperti sapi? Terserah. Daripada hanya bisa mengambil honor seperti “tukang palak” menguti “jatah” di pasar-pasar. Tapi percuma juga mereka duduk kalau diantara mereka hanya mendengkur. Ya lumayanlah daripada datang-isi absensi-ambil honor-pulang. Paling tidak, kalau oknum itu memang otaknya bagus, dia masih bisa menyampaikan sedikit aspirasi atau amanah rakyat pemilihnya meskipun belum tentu juga itu semua pendapatnya benar-benar murni aspirasi rakyat.



Belum tentu aspirasi rakyat pemilihnya? Tidak perlu terlalu berharap bahwa oknum-oknum partai berpendapat sesuai amanat rakyat pemilihnya. Isi hati dan isi otak orang, siapa tahu? Oleh karenanya J.J. Rousseau pernah bilang, “Dalam beberapa kasus, ketika masyarakat atau seseorang membiarkan dirinya diwakili, maka masyarakat atau seseorang itu sudah tidak bebas lagi atau secara ekstrim dikatakan masyarakat atau orang tersebut sudah tidak ada lagi.” Sebab, kalau rakyat pemilihnya menginginkan amanah itu A, tidak bisa dijamin bahwa oknum tersebut akan menyampaikan A juga. Berarti rakyat pemilihnya sama saja tidak ada!



Pada akhirnya, siapa pun yang terpilih, baik di lembaga Legislatif maupun Eksekutif, terserahlah. Tapi semoga mereka benar-benar tulus berpihak dan berkeadilan kepada kehidupan SELURUH rakyat Indonesia untuk tentram, makmur dan sejahtera, bukan melulu tuntutan kemakmuran oknum beserta partainya tanpa memikirkan nasib seluruh tumpah darah Indonesia. Kalau masih memikirkan keuntungan / kemakmuran pribadi, mohon – sekali lagi – jangan menjual kesengsaraan rakyat dalam berkampanye lantas mengkhianatinya bahkan memberangus pundi-pundi perekonomian rakyat kecil (bedakan antara rakyat kecil dan rakyat besar alias konglomerat) ketika terpilih! Berilah keleluasaan bagi seluruh rakyat untuk menentukan pilihan-pilihannya sendiri, kecuali bila Anda dan partai Anda sangat angkuh / pongah / congkak / sombong / sok / tinggi hati / arogan menganggap diri Anda dan partai Anda sebagai kerumunan nabi ataupun kelompok orang yang paling dewasa dalam berbangsa-bernegara.



***


Rawabuaya dan Gang Jablay, Mei 2008 – Februari 2009



*) Dalam rangka menyongsong PEMILU 2009

Bangsa Musyrik *



Ketuhanan Yang Maha Esa. Murid kelas III SD pasti hafal bunyi sila ke-1 dalam dasar negara Indonesia tersebut. Fundamentasi yang terpenting secara personal-individual sebelum diteruskan dalam kehidupan komunal atau hubungan horizontal antarmanusia yang humanistik (Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab), antarwarganegara (Persatuan Indonesia), dan seterusnya. Tanpa landasan spiritual yang murni dan konsekuen itu, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan, kemufakatan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah nonsense.







Pada masa rezim ORBA, Pancasila wajib diperdalam terus-menerus oleh seluruh warga negara Indonesia, baik melalui pendidikan formal maupun penataran-penataran semisal P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Akan tetapi semua pendalaman itu hanyalah sekadar pengisi nilai, sertifikat, dan otak, yang mana hal-hal semacam itu cenderung merupakan salah satu kebanggaan belaka bagi pembuktian status kewarganegaraan, terutama pasca penumpasan antek-antek komunis (PKI). Sama sekali tidak tersubstansial dalam integritas diri/person dalam kehidupan berbangsa-bernegara.











Hal yang paling jelas adalah carut-marut kehidupan berbangsa dan berbegara secara murni dan konsekuen. Korupsi, pungutan liar, kolusi, suap, konspirasi, nepotisme, amarkhis, kekerasan antarwarganegara, pembunuhan, pencurian, dan lain-lain, menjadi keseharian di nusantara, entah di jalan, lapangan, gedung, hutan, kebun, dalam bumi, udara, laut, dan lain-lain. Dan praktik-praktik dekadensi moralitas tersebut kini (2008) kian transparan dan tidak punya rasa bersalah secuilpun pun. Dampak yang tidak pernah tersolusi adalah kebangkrutan persatuan, perpolitikan, perekonomian, peradilan hingga perikemanusiaan Indonesia.











Tampaknya, masih diperlukan sebuah pertanyaan esensial sebagai makhluk (katanya, paling mulia dan sempurna) ciptaan Tuhan dan sebagai warga negara Indonesia, apakah sungguh-sungguh sudah menyadari diri sendiri dan memasang rambu-rambu untuk mengendalikan diri, memberi semangat hidup, mampu mensyukuri hidup, bagaimana seharusnya kelak hidup dengan lingkungan, dan lain-lain. Sebaba, kesadaran ini akan memanusiakan diri sendiri (sebagai makhluk ciptaan, sila ke-1) dan orang lain (sila ke-2), mempersatukan sebagai bangsa Indonesia (sila ke-3), menghasilkan kesepakatan (sila ke-4), dan menjamin keadilan bagi seluruh orang Indonesia (sila ke-5). Ini bukan sekadar lips service dan ungkapan-ungkapan nihilisme!
















A. Aji Mumpung











Dalam olah kanuragan, ajian yang tidak pernah diajarkan adalah aji mumpung. Namun ajian satu itu ternyata lebih sakti daripada Pancasila, yang tentu tentu saja sudah dihafal dan dimengerti secara luar kepala oleh para pengelola bangsa dan negara (Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif) sejak dari bangku SD hingga penataran Pedoman Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), terlebih mayoritas mereka adalah produk-produk pendidikan rezim ORBA..











Berikutnya, sebelum menjabat, mereka harus melewati proses formal yaitu bersumpah di bawah kitab suci dari agama masing-masing. Bukan bersumpah di bawah komik manga, karya tulis ilmiah, antologi, atau buku-buku resep memasak ala menu khas Indonesia. Proses formalitas selanjutnya sebatas seremonial, yang disukai dan dipercaya oleh kebanyakan rakyat Indonesia.











Tidak ada masalah dengan materi penataran dan pelajaran. Tidak ada masalah dengan undang-undang, dan hukum. Masalahnya selalu ada pada manusia Indonesia sehingga konstitusi (yuriditas) dimanipulasi untuk kepentingan hidup pribadi dan golongan (kroni). Aji mumpung dipakai. Mumpung sedang menjabat, mumpung rakyat bodoh, mumpung ada celah, mumpung semua butuh duit (bisa disuap, materialistis), mumpung tidak ada yang tahu, mumpung… Kapan lagi? Ajian tersebut terbukti super ampuh!
















B. Kaum Musyrikun











Mayoritas warga negara Indonesia terkenal mempunyai kepercayaan kepada ke-Esa-an Allah (tauhid, monoteisme). Tiada ilah (tuhan) selain Allah. Dosa yang tidak terampuni adalah syirik (menyekutukan Allah; mendua-tiga-banyakkan Alah; menyamakan sesuatu atau seseorang memiliki kemampuan seperti bahkan melebihi ke-Maha-an Allah; menyembah-memuja selain Allah). Allah adalah satu-satunya (Esa) yang layak disembah, dipuja, dihormati, ditakuti, dipatuhi, dan seterusnya.











Sayangnya, implementasi sehari-hari terhadap ke-Esa-an itu harus berhadapan dengan realita. Diam-diam ke-Esa-an Allah didua-tigakan oleh “sesuatu” dan “seseorang”. Tidak sedikit orang Indonesia takut pada kemiskinan, kelaparan, kehinaan, keterasingan, dan kekolotan. Maka dilakukanlah cara-cara lain untuk tidak terjerumus dalam kemiskinan, kelaparan, kehinaan, keterasingan dan kekolotan yang mempermalukan diri sendiri itu, meski sesungguhnya cara-cara yang dilakukan sama sekali bertentangan dengan kepercayaan yang dianut. Materialisme menjadi kepercayaan yang sebenarnya, bentuk lain dari kepercayaan usang : animisme-dinamisme.











Yang tak kalah syiriknya, menyembah “seseorang” yang memiliki jabatan (kekuasaan) tertentu. Ini sebenarnya adalah doktrin tradisional, bahwa para pemimpin atau penguasa adalah wakil Allah untuk mengelola negeri. Para pemimpin atau penguasa pun dengan fasihnya mengatakan, jabatan adalah amanah. Lalu perkataan klise itu dipublikasikan, dan rakyat percaya kepada mereka. Kenyataannya, para pengelola negeri justru memperlakukan rakyat secara keji dengan berbagai dalil dan dalih, seolah kekejian itu lumrah dan itulah sejatinya hidup berkorban demi negeri. Apakah semua kesalahan penguasa? Bukan saja begitu, melainkan juga akibat kemusyrikan rakyat (percaya-menyembah kepada manusia yang menjabat/berkuasa).















Rakyat pun tunduk kepada hukum bukan karena mengerti bahwa hukum diciptakan untuk mengendalikan kecenderungan hawa nafsu manusia terhadap sesamanya, melainkan karena takut ditangkap polisi, takut dipenjara, takut dianiaya aparat-preman di penjara, takut dipublikasikan, malu kalau ketahuan tabiat sesatnya, dan lain-lain. Birokrat, aparat hukum, politikus, pengusaha, ilmuwan, paramedis, dan lain sebagainya pun memiliki kepercayaan (ketakutan) terhadap “seseorang” (dengan lembaganya) yang berpotensi memperkarakan mereka. Maka suap, bisnis peraturan, bisnis hukum, mafia peradilan, fakta jadi fiktif, data jadi dusta, ilmiah jadi ilusi, visum medis jadi simpang-siur, dan lain-lain termasuk kepercayaan itu.











Kenapa orang mau melakukan korupsi, pungutan liar, membunuh, mencuri, menipu, menyuap, melacur, memfitnah, mengadu domba, anarkis, menggelapkan keuangan, mengambil hak/property orang lain tanpa kesepakatan, memuja-histeris pada selebritis dan pejabat, dan lain-lain? Kenapa juga ada orang yang mau di-korup, dipungut liar, diadu domba, difitnah, dibeli, atau disuap dengan semilyar dalih dan apologi? Apakah perbuatan-perbuatan semacam itu sesuai-selaras dengan kepercayaan (monoteisme) yang dianut?











Bangsa ini sesungguhnya sedang menjerumuskan diri ke jurang syirik yang kian dalam sehingga kebangkrutan di semua ruang kehidupan semakin merajalela dari kota hingga pelosok hutan. Mereka lebih percaya kepada pengelola negara, politikus, aparat hukum, dan birokrat daripada kepada Allah. Dan, meski menyembah materi termasuk syirik, mereka tetap percaya “uang-harta-kekayaan adalah jaminan hidup paling utama di dunia”; “uang pertanda kesepakatan damai semisal antara pengendara dan polisi lalu lintas/oknum dinas perhubungan”; “ada uang, beres semua”; “uang-harta-kekayaan bisa membeli apa pun bahkan kebenaran atas kekeliruan-kekhilafan-kecerobohan-keteledoran” sehingga mereka memperjongos diri kepada para pemilik kekayaan material. Inilah yang kemudian dipersatukan dalam satu kaum, yakni kaum musyrikun.















Lumrah bahwa rakyat percaya kepada pemerintahan, perwakilan, peradilan, dan peraturan. Yang menjadi persoalan adalah pada para pengelolanya. Human error karena apologi “manusia biasa”. Lumrah pula kepercayaan semacam itu selalu dimanfaatkan oleh oknum-oknum (manusia biasa) untuk melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, mengadu domba, membunuh sesama manusia, memenjarakan orang tidak bersalah, menyuap-disuap, memfitnah, menghasut, merampas hak milik (property) orang lain, menjarah, serakah, egois, semena-mena, tidak adil, membela-mendukung kejahatan, menyesatkan kebenaran, bebal, dan lain sebagainya.











Kenapa lumrah? Karena bangsa ini sesungguhnya adalah kaum musyrikun kendati tidak bersedia berterus terang mengakuinya sekalipun itu dilakukan secara pribadi di ruang sembahyang mereka masing-masing! Sebaliknya, bangsa ini akan marah besar bahkan mengamuk jika dikategorikan sebagai “kaum musyrikun” karena tidak sesuai dengan Pancasila dan ajaran agama, dan sudah termasuk penghinaan atau penodaan religiusme dan humanisme (martabat manusia) Indonesia.
















C. Kaum Munafikun











“Hidup cuma satu kali. Kapan lagi menikmatinya? Kenapa repot mikir kiamat?” gugat sebagian orang Indonesia. Saat ini kesempatan untuk menikmati semua yang ada. Kalau kesucian bisa direnovasi dan kesempatan untuk merehabilitasi diri masih ada bahkan panjang, kenapa merepotkan diri dengan hidup sengsara demi sebuah idealisme yang hanya memelaratkan dan mempermalukan diri? Kan masih ada waktu untuk bertobat menjelang ajal?











Maka disusunlah dalih-dalih : keluarga, kesehatan, masa depan, karier, masa tua, kehidupan anak-cucu, dan seterusnya. Yang biasa mencuri telur ayam sampai menjarah peternakan ayam. Yang korupsi seratus ribu rupiah sampai trilyunan rupiah. Yang disuap sepuluh ribu rupiah sampai segudang saham-saham kosong. Yang menipu, memanupilasi diagnosa, data dan keuangan, dan lain-lain pun demikian. Hati nurani yang sejatinya adalah basis spiritual (ruang komunikasi pribadi manusia dengan Pencipta-nya) justru kian rongsok, terbengkalai dan termanipulasikan oleh atribut-atribut, gelar-gelar rohani, dan kalimat-kalimat malaikat yang serba indah. Siapa yang akan tahu dan percaya selain pada hal-hal yang jelas terlihat dan terdengar oleh manusia lainnya?











Sekali lagi, hidup di dunia hanya satu kali. Manfaatkan semua dengan cara apa pun untuk menikmati surga dunia. Kapan lagi? Kalau mati mau ke mana? Tidak usah merisaukan “setelah mati mau ke mana” karena prinsip monoteisme sudah sering diperlihatkan ketika saat-saat sembahyang dan hari-hari besar. Manusia tidak berhak menghakimi masa depan sesamanya di akherat kelak. Bagi yang percaya pada reinkarnasi, hidup kembali setelah mati pun tidak usah membayangkan akan menjelma sebagai binatang apa.











Tapi bagaimana kalau setelah mati ternyata masuk neraka? Nah itu dia! Hidup cuma sekali. Nikmati sepuas-puasnya karena toh nanti bakal masuk neraka. Kapan lagi bisa menikmati surga apabila tidak di dunia sekarang ini? Jangan risaukan apa yang akan terjadi setelah mati. Hidup itu sekarang, dan mati itu urusan nanti. Berpikirlah yang sekarang, kenyataan hidup itu sendiri. Mati mau ke mana, tergantung takdir dan nasib. Barangkali begitu prinsip hidup mereka.











Hidup adalah sekarang. Miskin adalah malu. Idealisme adalah kepercayaan yang akan memelaratkan dan mempermalukan diri. Bangsa ini bangsa yang kaya, bukan bangsa yang miskin. Maka, apa yang haram pun ditempuh untuk mencapai satu visi-misi : kaya. Kalau menjadi pejabat, bungkuslah visi-misi materialisme itu secara lebih profesional dan fungsional. Rakyat kian miskin memang resiko menjadi rakyat akibat kebodohan dan kemusyrikan rakyat. Menjadi birokrat yang tidak korup dan tidak melakukan pungutan liar, jelas tidak sah dalam pergaulan antarbirokrat. Berpikirlah untuk hidup saat ini, realistis. Juga untuk masa tua sebelum mati. Anak-cucu harus dibekali dengan warisan sebanyak-banyaknya agar masa tua tidak dipermalukan karena anak-cucu melarat. Hidup cuma satu kali. Surga-neraka hanyalah imajinasi, bukan sesuatu yang hakiki dan terbukti seperti miskin-melarat, penjara, atau hukuman mati.











Barangkali pula mereka berpendapat, surga akhirat bisa dikredit dengan sumbangan-sumbangan finansial selama hidup di dunia. Tidak sedikit dari para koruptor, eksekutor, perampok-perampas-penjarah-pencuri hak milik orang, pendusta, penipu, mafia peradilan, dan psikopat-psikopat lainnya di Indonesia rajin memberikan sumbangan ini-itu sebagai kredit surga akherat atau upaya menyogok malaikat penjaga pintu surga di akherat karena mereka percaya bahwa malaikat bahkan Allah bisa disogok dengan sumbangan ini-itu.











Begitulah kira-kira prinsip hidup manusia sakit spiritual. Mereka (lantaran sakit spiritual) lupa bahwa perbuatan-perbuatan mereka selama hidup di dunia bersama dengan manusia lainnya berada dalam pengawasan Allah bahkan setan-iblis serta antek-anteknya tanpa sedebu pun terlewatkan. Tapi apalah “saksi-saksi” yang tidak kelihatan itu dibanding pengadilan manusia.











Mungkin juga mereka merasa tidak perlu memikirkan akherat karena itu bukan urusan manusia. Urusan di dunia adalah realitas, dan urusan akherat hanya berdasarkan perkiraan belaka. Asalkan tidak terang-terangan “mendua-tiga-empat-banyakkan Allah” apalagi menganut ateisme, beres. Maka, tiada hentinya mereka melakukan tindakan haram (“menghalalkan keharaman”) demi “hidup cuma satu kali” dan “kapan lagi”.
















D. Republik Munafik











Pancasilat






1. Ke-tuan-an yang maha egois






2. Kemanusiaan yang batil dan biadab






3. Perseteruan Indonesia






4. Kerakyatan yang dipimpin oleh para penjahat berhikmat dalam pertipumuslihatan/perkawanan






5. Kebatilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia











Bangsa ini sangat gampang mengumpat, “Amerika Setan, Israel Iblis.” Juga menuduh kemerosotan moral dalam negeri akibat pengaruh budaya Barat Si Biang Maksiat. Sebenarnya semua itu sekadar upaya menghindari diri dari kebobrokan integritas diri sendiri. Sebobrok-bobroknya Barat dan “sekafir-kafirnya” Amerika-Israel, toh negara-negara itu selalu mantap dalam berbangsa-bernegara, makmur, dan nilai mata uangnya jauh di atas Rupiah Indonesia.











Lantas, kenapa bisa begitu, padahal mayoritas orang Indonesia adalah umat beragama, dan “Ketuhanan” adalah pertama dalam dasar (ideologi) negara? Kenapa Allah malah selalu memberi kelimpahan pada “negeri kafir”? Apakah Allah melakukan diskriminasi rasial? Apakah Allah sudah kenyang karena disogok oleh dollar, pounsterling, golden, mark, euro, dan semua uang dari sana?











Allah tidak akan pernah bersalah atau keliru dalam berbagi matahari kepada seluruh pelosok bumi. Apalagi julukan Indonesia yang mentereng, “Zamrud Khatulistiwa”, yang serba kaya hasil buminya. Jelas tidak ada diskriminasi rezeki. Jika demikian, siapa sesungguhnya yang bersalah, keliru, ceroboh, teledor, serakah, dan semena-mena dalam mengelola bumi Indonesia?











Republik ini sesungguhnya adalah Republik Munafik. Kemunafikan sudah menjadi epidemi nasional, dari tingkat rakyat jelata hingga tingkat pejabat atas. Kalaupun hanya sebagian, kemunafikan ternyata mempunyai hegemoni yang signifikan. Rumah-rumah ibadah megah, hari besar meriah, pusat-pusat pendikan agama dan publisitas kotbah marak, tetapi implementasi spiritualitas warga negara dalam realitas, misalnya birokrasi, hukum, relasi sosial, ilmiah-medis, dunia kerja, industri, dan lain-lain, sama sekali tidak mengemuka.











Reformasi justru membuat kemunafikan kian signifikan, dan dilengkapi perisai-perisai dalih dengan bahasa-bahasa indah-intelek dan semerbak ayat-ayat suci. Maraknya buku-buku rohani, tayangan-tayangan rohani, kegiatan-kegiatan rohani, toko-toko asesoris rohani, dan sejenisnya bukanlah indikasi mutlak bahwa di bangsa ini sudah terjadi peningkatan spiritualitas yang mengagumkan dan patut dibanggakan. Sebaliknya, kejahatan-kejahatan, baik skala kerdil maupun raksasa, justru kian cerdas, terbungkus “suci”, dan terorganisir sesuai kemajuan berpikir dan teknologi.











Oleh karenanya, tidaklah mengherankan jika bangsa ini semakin tahun semakin terpuruk dalam kebangkrutan massal, baik secara moral, mental, emosional, rasional, sosial, komunal, material, yuridisial, politikal, dan lain sebagainya sebab sesungguhnya kebangkrutan tersebut sudah dimulai dari dalam diri, yakni kebangkrutan spiritual. Kepercayaan kepada kedok, atribut, gelar rohani maupun filsafat pat-gulipat pun sudah menjadi syirik nasional. Kejahatan berlindung dalam kedok kerohanian dan status sosial. Idealisme dan integritas sejati sudah kuno, kadaluarsa, tidak laku lagi, termarjinalkan, bahkan mungkin langka (semoga tidak punah sama sekali!). Julukan “Macan Asia” hanya untuk menutupi kebobrokan diri sendiri bahwa mentalitas mayoritas manusia Indonesia tidak lebih mulia dari “Kucing Garong Ompong”. Pada puncaknya, sila ke-1 dari Pancasila sebatas sebuah hafalan wajib supaya tidak dicap “komunis-ateis” sebagaimana sesungguhnya republik ini adalah Republik Munafik!
















*******






Rawa Buaya, 2008











*) Latar belakang tulisan-tulisan serial “Republik Munafik”.

Komoditas dalam PILKADA *

Boleh saja partai ribuan jumlahnya

Tapi yang menang, yang banyak uang

Gontok-gontokan kini nggak musim

Adu doku itu yang ditunggu

(Politik Uang -- Iwan Fals)

*

Belum lama ini aku berkelana ke sebuah daerah tingkat II, nun jauh dari hiruk-pikuk komersialitas ibukota. Kebetulan ada hajatan besar di sana, di samping masa kampanye PILKADA. Hajatan tahunan selama sepekan. Ulang tahun daerah tersebut.

Dalam hajatan itu dipajanglah stan-stan dinas pemda. Dan persatuan wartawan lokal pun tak mau ketinggalan. Pengelanaanku singgah di stand wartawan, yang berdinding tripleks dengan tempelan koran dari seluruh koran lokal. Salah satu bidangnya dipakai untuk memajang wajah-wajah peserta PILKADA yang diusung oleh beberapa koalisi partai.

Maka para kandidat PILKADA tadi pun mampir ke stand itu dalam kesempatan berbeda. Mungkin kesempatan untuk bersilaturami dengan media. Tak lupa uang sekian ratus ribu rupiah keluar dari kantong mereka untuk biaya duduk dan konsumsi. Tentu saja pentolan-pentolan wartawan di situ senang sekali, dan dengan bangga bercerita soal rupiah-rupiah yang terkumpul.

Pada kesempatan lain stand tersebut dikunjungi oleh seorang ketua KPUD. Kutaksir usianya belum 40 tahun. Mungkin 30-an tahun. Berkacamata. Pentolan-pentolan wartawan sangat antusias ngobrol dengannya, menyangkut situasi kampanye PILKADA, bukan berdiskusi mengenai masa depan pembangunan dan kemakmuran daerah, atau kritik-saran terhadap profesionalitas insan pers daerah.

“Kalau si A nyiapkan dana 5 M untuk dukungan partai-partai dan lain-lain, bereslah,” kata sang ketua KPUD dengan tenang dan dingin.

“Tapi istri gubernur X sudah nyiapkan dana 3 M untuk salah satu calon agar menang PILKADA,” celetuk seorang wartawan.


A. Milyaran Rupiah dalam PILKADA

Kalimat “5 M” mengingatkanku pada peristiwa terbunuhnya seorang wartawan daerah dalam berita seputar “PILKADA” tahun 1996 di sebuah daerah gara-gara uang satu milyar untuk sebuah SK Kepala Daerah dari pemerintah pusat. Pentolan-pentolan wartawan di stand tadi jelas tidak tersentuh oleh berita usang itu karena jarak teritorial dan domisili yang nun di seberang.

Kali ini “5 M” dengan lugasnya keluar dari mulut sang ketua KPUD, dan “3 M” dari bocoran seorang wartawan. Aku lantas bertanya pada kembang api yang dipakai dalam acara penutupan hajatan tahunan daerah itu.

1. Berapakah gaji seorang kepala daerah.

2. Untuk masa 5 tahun kerja, apakah bisa terkumpul uang sebanyak 5 M untuk mengembalikan modal, belum termasuk dana kampanye, juga memberi uang untuk stand wartawan daerah tadi

3. Dengan cara apa pemenang PILKADA nantinya mengembalikan uang 5 M yang terpakai untuk membeli kursi Kepala Daerah

4. 5 M untuk biaya suatu koalisi partai dan bantuan KPUD di daerah itu, lalu berapa M untuk kursi kepala daerah sebuah kota besar bahkan beli kursi kepresidenan.


B. Pil Koplo, Pil Ektasi, dan PILKADAL

Kursi kepala daerah yang dihargai lebih satu milyar rupiah plus nyawa seorang wartawan daerah pada tahun 1996 jelas berada dalam rezim Orde Baru. Pada era tersebut aroma “money politics” sudah semerbak ke daerah-daerah hingga desa-desa dalam PILKADES-nya. Tak ketinggalan pula benda-benda psikotropika alias narkoba, misalnya pil koplo dan pil ektasi.

Dua tahun kemudian, tepatnya mei 1998, Orde Baru tumbang melalui sebuah gerakan reformasi dan sumbangan nyawa beberapa mahasiswa, memunculkan istilah Orde Reformasi. Masa bulan madu reformasi merupakan masa koplo dan esktasi sebagian orang Indonesia. Maksudku, ketika reformasi terlaksana, sebagian orang Indonesia terlena dalam sebuah klimaks perjuangan hidup.

Kondisi koplo dan ekstasi massal itu dimanfaatkan oleh para oportunis politik beserta partai opotunisnya dengan menampilkan atraksi panggung super memikat sebaik-baiknya. Pesta demokrasi, bagi-bagi kaos gratis, sumbangan ini-itu, pentas hiburan rakyat, konvoi dibiayai, dan lain-lain. Rakyat benar-benar terlena ibarat psikotropis tengah berpesta pil koplo dan pil ekstasi.

Dan ketika PILKADA menjual slogan “Dari Rakyat, Oleh Rakyat, dan Untuk Rakyat” dan janji “Demi Kemakmuran Rakyat”, rakyat kian mabuk kepayang sehingga lupa bahwa para oportunis politik adalah himpunan abunawas palsu yang sedang mengatur strategi untuk mencari keuntungan material mereka sendiri, dan rakyat membeli jualan para abunawas palsu. Kalau rakyat merasa tertipu dan hendak memrotes, para abunawas gadungan akan bilang, “Barang yang sudah dibeli, tidak boleh dikembalikan lagi. Tunggu jualan kami lima tahun lagi!” Umpama kawanan zebra yang sedang turun minum di sebuah danau, buaya-buaya sudah siap melahap dari bawah air. Maka terjadilah, rakyat disantap para oportunis politik! Buaya kok dikadalin, kata kawanku.


C. Reformasi : Eksploitasi Ekstra terhadap Rakyat

Sebagian politikus bilang, “Reformasi 1998 hanya pada bidang politik.” Masalahnya, di Indonesia masih jelas terdoktrin dalam pergaulan publik, “Politik itu panglima”. Maka, panglima inilah yang andil besar dalam mengatur strategi “perang” bersama bidang lainnya, misalnya ekonomi, hukum, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, dan lain-lain.

Yang muncul lagi dalam benakku, “Bangsa ini sedang berperang melawan apa dan siapa?” Waktu Reformasi 1998, para politikus tadi bilang, “Berperang melawan KKN (Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme), dan orang-orang yang terlibat secara aktif-pasif.” Berikutnya para politikus tadi membangun partai-partai dengan segala macam ruang beserta perabotannya, penghuni dan jaringan informasi-komunikasinya.

Kenyataannya, permainan uang dalam perjudian politik tidak akan berakhir! Posisi politik tingkat daerah tidak akan pernah bersih dari KKN bahkan kian menjijikkan karena selama 10 tahun reformasi ini perjudian politik membutuhkan modal berkali-kali lipat dibanding jaman ORBA! Akibatnya, bukan hanya alam menjadi semacam sapi perah, melainkan pula rakyat melalui kebijakan-kebijakan daerah bersama pungutan-pungutan dan bisnis peraturan daerah untuk mengembalikan modal kursi sekaligus uang pesangon untuk cucu sampai buyut kelak.

Keberadaan partai politik pun tidak lebih dari sebuah bank melalui mekanisme koalisi dalam rangka PILKADA, yang juga dibantu oleh sebuah lembaga khusus bernama Komite Pengelola Uang Daerah alias KPUD. Para pentolan KPUD di daerah itu, hanyalah manusia biasa, yang bisa saja khilaf melihat kilau rupiah berjumlah milyaran. Begitu kira-kira apologi mereka.

Yang tak kalah lihainya memanfaatkan kesempatan adalah sebagian insan pers daerah tadi. Kalau pers industrial benar-benar “money oriented”, tentu wajar jika para pelakunya juga begitu. Oleh karenanya, sekelompok oknum wartawan yang membangun stand dan menerima uang dari acara seremonial dan kampanye-kampanye para kandidat tadi pun pas-sesuai. “Lho, kami tidak ngemis. Kami tidak nodong. Mereka memberi, kenapa kami musti menolak. Kau pun ikut menikmatinya juga, kan? Snack, makan, kopi, dan lain-lain itu, dari mana biayanya?” dalih seorang diantaranya, yang selama ini lebih sering berperan sebagai “jurnalis kupu-kupu”.

Lantas, siapa yang sesungguhnya akan menjadi korban dalam peperangan tidak jelas itu? Sesungguhnya bukan siapa-siapa yang menjadi musuh sekaligus korban, selain rakyat! Mencerdaskan dan menyejahterakan rakyat adalah sebuah upaya tipudaya untuk meraup keuntungan material pribadi orang-orang politik itu. Yang terang-terangan mereka lakukan adalah mengeksploitasi property rakyat. Ketika rakyat sudah sekarat dan kehabisan biaya untuk mencerdaskan diri demi memakmurkan hidup, orang-orang itu kian bersenang-senang dan menambah ilmu untuk menyiasati prospek ekonomi mereka.

***

Rawabuaya, 2008

*) ditulis oleh kader GOLPUT dalam rangka menyusun “Laporan Kepenulisan” yang sempat dikasak-kusuk oleh beberapa pentolan wartawan daerah yang kutemui pada masa “mbambung”-ku di sana.