Kamis, 19 Februari 2009

Bangsa Musyrik *



Ketuhanan Yang Maha Esa. Murid kelas III SD pasti hafal bunyi sila ke-1 dalam dasar negara Indonesia tersebut. Fundamentasi yang terpenting secara personal-individual sebelum diteruskan dalam kehidupan komunal atau hubungan horizontal antarmanusia yang humanistik (Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab), antarwarganegara (Persatuan Indonesia), dan seterusnya. Tanpa landasan spiritual yang murni dan konsekuen itu, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan, kemufakatan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah nonsense.







Pada masa rezim ORBA, Pancasila wajib diperdalam terus-menerus oleh seluruh warga negara Indonesia, baik melalui pendidikan formal maupun penataran-penataran semisal P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Akan tetapi semua pendalaman itu hanyalah sekadar pengisi nilai, sertifikat, dan otak, yang mana hal-hal semacam itu cenderung merupakan salah satu kebanggaan belaka bagi pembuktian status kewarganegaraan, terutama pasca penumpasan antek-antek komunis (PKI). Sama sekali tidak tersubstansial dalam integritas diri/person dalam kehidupan berbangsa-bernegara.











Hal yang paling jelas adalah carut-marut kehidupan berbangsa dan berbegara secara murni dan konsekuen. Korupsi, pungutan liar, kolusi, suap, konspirasi, nepotisme, amarkhis, kekerasan antarwarganegara, pembunuhan, pencurian, dan lain-lain, menjadi keseharian di nusantara, entah di jalan, lapangan, gedung, hutan, kebun, dalam bumi, udara, laut, dan lain-lain. Dan praktik-praktik dekadensi moralitas tersebut kini (2008) kian transparan dan tidak punya rasa bersalah secuilpun pun. Dampak yang tidak pernah tersolusi adalah kebangkrutan persatuan, perpolitikan, perekonomian, peradilan hingga perikemanusiaan Indonesia.











Tampaknya, masih diperlukan sebuah pertanyaan esensial sebagai makhluk (katanya, paling mulia dan sempurna) ciptaan Tuhan dan sebagai warga negara Indonesia, apakah sungguh-sungguh sudah menyadari diri sendiri dan memasang rambu-rambu untuk mengendalikan diri, memberi semangat hidup, mampu mensyukuri hidup, bagaimana seharusnya kelak hidup dengan lingkungan, dan lain-lain. Sebaba, kesadaran ini akan memanusiakan diri sendiri (sebagai makhluk ciptaan, sila ke-1) dan orang lain (sila ke-2), mempersatukan sebagai bangsa Indonesia (sila ke-3), menghasilkan kesepakatan (sila ke-4), dan menjamin keadilan bagi seluruh orang Indonesia (sila ke-5). Ini bukan sekadar lips service dan ungkapan-ungkapan nihilisme!
















A. Aji Mumpung











Dalam olah kanuragan, ajian yang tidak pernah diajarkan adalah aji mumpung. Namun ajian satu itu ternyata lebih sakti daripada Pancasila, yang tentu tentu saja sudah dihafal dan dimengerti secara luar kepala oleh para pengelola bangsa dan negara (Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif) sejak dari bangku SD hingga penataran Pedoman Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), terlebih mayoritas mereka adalah produk-produk pendidikan rezim ORBA..











Berikutnya, sebelum menjabat, mereka harus melewati proses formal yaitu bersumpah di bawah kitab suci dari agama masing-masing. Bukan bersumpah di bawah komik manga, karya tulis ilmiah, antologi, atau buku-buku resep memasak ala menu khas Indonesia. Proses formalitas selanjutnya sebatas seremonial, yang disukai dan dipercaya oleh kebanyakan rakyat Indonesia.











Tidak ada masalah dengan materi penataran dan pelajaran. Tidak ada masalah dengan undang-undang, dan hukum. Masalahnya selalu ada pada manusia Indonesia sehingga konstitusi (yuriditas) dimanipulasi untuk kepentingan hidup pribadi dan golongan (kroni). Aji mumpung dipakai. Mumpung sedang menjabat, mumpung rakyat bodoh, mumpung ada celah, mumpung semua butuh duit (bisa disuap, materialistis), mumpung tidak ada yang tahu, mumpung… Kapan lagi? Ajian tersebut terbukti super ampuh!
















B. Kaum Musyrikun











Mayoritas warga negara Indonesia terkenal mempunyai kepercayaan kepada ke-Esa-an Allah (tauhid, monoteisme). Tiada ilah (tuhan) selain Allah. Dosa yang tidak terampuni adalah syirik (menyekutukan Allah; mendua-tiga-banyakkan Alah; menyamakan sesuatu atau seseorang memiliki kemampuan seperti bahkan melebihi ke-Maha-an Allah; menyembah-memuja selain Allah). Allah adalah satu-satunya (Esa) yang layak disembah, dipuja, dihormati, ditakuti, dipatuhi, dan seterusnya.











Sayangnya, implementasi sehari-hari terhadap ke-Esa-an itu harus berhadapan dengan realita. Diam-diam ke-Esa-an Allah didua-tigakan oleh “sesuatu” dan “seseorang”. Tidak sedikit orang Indonesia takut pada kemiskinan, kelaparan, kehinaan, keterasingan, dan kekolotan. Maka dilakukanlah cara-cara lain untuk tidak terjerumus dalam kemiskinan, kelaparan, kehinaan, keterasingan dan kekolotan yang mempermalukan diri sendiri itu, meski sesungguhnya cara-cara yang dilakukan sama sekali bertentangan dengan kepercayaan yang dianut. Materialisme menjadi kepercayaan yang sebenarnya, bentuk lain dari kepercayaan usang : animisme-dinamisme.











Yang tak kalah syiriknya, menyembah “seseorang” yang memiliki jabatan (kekuasaan) tertentu. Ini sebenarnya adalah doktrin tradisional, bahwa para pemimpin atau penguasa adalah wakil Allah untuk mengelola negeri. Para pemimpin atau penguasa pun dengan fasihnya mengatakan, jabatan adalah amanah. Lalu perkataan klise itu dipublikasikan, dan rakyat percaya kepada mereka. Kenyataannya, para pengelola negeri justru memperlakukan rakyat secara keji dengan berbagai dalil dan dalih, seolah kekejian itu lumrah dan itulah sejatinya hidup berkorban demi negeri. Apakah semua kesalahan penguasa? Bukan saja begitu, melainkan juga akibat kemusyrikan rakyat (percaya-menyembah kepada manusia yang menjabat/berkuasa).















Rakyat pun tunduk kepada hukum bukan karena mengerti bahwa hukum diciptakan untuk mengendalikan kecenderungan hawa nafsu manusia terhadap sesamanya, melainkan karena takut ditangkap polisi, takut dipenjara, takut dianiaya aparat-preman di penjara, takut dipublikasikan, malu kalau ketahuan tabiat sesatnya, dan lain-lain. Birokrat, aparat hukum, politikus, pengusaha, ilmuwan, paramedis, dan lain sebagainya pun memiliki kepercayaan (ketakutan) terhadap “seseorang” (dengan lembaganya) yang berpotensi memperkarakan mereka. Maka suap, bisnis peraturan, bisnis hukum, mafia peradilan, fakta jadi fiktif, data jadi dusta, ilmiah jadi ilusi, visum medis jadi simpang-siur, dan lain-lain termasuk kepercayaan itu.











Kenapa orang mau melakukan korupsi, pungutan liar, membunuh, mencuri, menipu, menyuap, melacur, memfitnah, mengadu domba, anarkis, menggelapkan keuangan, mengambil hak/property orang lain tanpa kesepakatan, memuja-histeris pada selebritis dan pejabat, dan lain-lain? Kenapa juga ada orang yang mau di-korup, dipungut liar, diadu domba, difitnah, dibeli, atau disuap dengan semilyar dalih dan apologi? Apakah perbuatan-perbuatan semacam itu sesuai-selaras dengan kepercayaan (monoteisme) yang dianut?











Bangsa ini sesungguhnya sedang menjerumuskan diri ke jurang syirik yang kian dalam sehingga kebangkrutan di semua ruang kehidupan semakin merajalela dari kota hingga pelosok hutan. Mereka lebih percaya kepada pengelola negara, politikus, aparat hukum, dan birokrat daripada kepada Allah. Dan, meski menyembah materi termasuk syirik, mereka tetap percaya “uang-harta-kekayaan adalah jaminan hidup paling utama di dunia”; “uang pertanda kesepakatan damai semisal antara pengendara dan polisi lalu lintas/oknum dinas perhubungan”; “ada uang, beres semua”; “uang-harta-kekayaan bisa membeli apa pun bahkan kebenaran atas kekeliruan-kekhilafan-kecerobohan-keteledoran” sehingga mereka memperjongos diri kepada para pemilik kekayaan material. Inilah yang kemudian dipersatukan dalam satu kaum, yakni kaum musyrikun.















Lumrah bahwa rakyat percaya kepada pemerintahan, perwakilan, peradilan, dan peraturan. Yang menjadi persoalan adalah pada para pengelolanya. Human error karena apologi “manusia biasa”. Lumrah pula kepercayaan semacam itu selalu dimanfaatkan oleh oknum-oknum (manusia biasa) untuk melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, mengadu domba, membunuh sesama manusia, memenjarakan orang tidak bersalah, menyuap-disuap, memfitnah, menghasut, merampas hak milik (property) orang lain, menjarah, serakah, egois, semena-mena, tidak adil, membela-mendukung kejahatan, menyesatkan kebenaran, bebal, dan lain sebagainya.











Kenapa lumrah? Karena bangsa ini sesungguhnya adalah kaum musyrikun kendati tidak bersedia berterus terang mengakuinya sekalipun itu dilakukan secara pribadi di ruang sembahyang mereka masing-masing! Sebaliknya, bangsa ini akan marah besar bahkan mengamuk jika dikategorikan sebagai “kaum musyrikun” karena tidak sesuai dengan Pancasila dan ajaran agama, dan sudah termasuk penghinaan atau penodaan religiusme dan humanisme (martabat manusia) Indonesia.
















C. Kaum Munafikun











“Hidup cuma satu kali. Kapan lagi menikmatinya? Kenapa repot mikir kiamat?” gugat sebagian orang Indonesia. Saat ini kesempatan untuk menikmati semua yang ada. Kalau kesucian bisa direnovasi dan kesempatan untuk merehabilitasi diri masih ada bahkan panjang, kenapa merepotkan diri dengan hidup sengsara demi sebuah idealisme yang hanya memelaratkan dan mempermalukan diri? Kan masih ada waktu untuk bertobat menjelang ajal?











Maka disusunlah dalih-dalih : keluarga, kesehatan, masa depan, karier, masa tua, kehidupan anak-cucu, dan seterusnya. Yang biasa mencuri telur ayam sampai menjarah peternakan ayam. Yang korupsi seratus ribu rupiah sampai trilyunan rupiah. Yang disuap sepuluh ribu rupiah sampai segudang saham-saham kosong. Yang menipu, memanupilasi diagnosa, data dan keuangan, dan lain-lain pun demikian. Hati nurani yang sejatinya adalah basis spiritual (ruang komunikasi pribadi manusia dengan Pencipta-nya) justru kian rongsok, terbengkalai dan termanipulasikan oleh atribut-atribut, gelar-gelar rohani, dan kalimat-kalimat malaikat yang serba indah. Siapa yang akan tahu dan percaya selain pada hal-hal yang jelas terlihat dan terdengar oleh manusia lainnya?











Sekali lagi, hidup di dunia hanya satu kali. Manfaatkan semua dengan cara apa pun untuk menikmati surga dunia. Kapan lagi? Kalau mati mau ke mana? Tidak usah merisaukan “setelah mati mau ke mana” karena prinsip monoteisme sudah sering diperlihatkan ketika saat-saat sembahyang dan hari-hari besar. Manusia tidak berhak menghakimi masa depan sesamanya di akherat kelak. Bagi yang percaya pada reinkarnasi, hidup kembali setelah mati pun tidak usah membayangkan akan menjelma sebagai binatang apa.











Tapi bagaimana kalau setelah mati ternyata masuk neraka? Nah itu dia! Hidup cuma sekali. Nikmati sepuas-puasnya karena toh nanti bakal masuk neraka. Kapan lagi bisa menikmati surga apabila tidak di dunia sekarang ini? Jangan risaukan apa yang akan terjadi setelah mati. Hidup itu sekarang, dan mati itu urusan nanti. Berpikirlah yang sekarang, kenyataan hidup itu sendiri. Mati mau ke mana, tergantung takdir dan nasib. Barangkali begitu prinsip hidup mereka.











Hidup adalah sekarang. Miskin adalah malu. Idealisme adalah kepercayaan yang akan memelaratkan dan mempermalukan diri. Bangsa ini bangsa yang kaya, bukan bangsa yang miskin. Maka, apa yang haram pun ditempuh untuk mencapai satu visi-misi : kaya. Kalau menjadi pejabat, bungkuslah visi-misi materialisme itu secara lebih profesional dan fungsional. Rakyat kian miskin memang resiko menjadi rakyat akibat kebodohan dan kemusyrikan rakyat. Menjadi birokrat yang tidak korup dan tidak melakukan pungutan liar, jelas tidak sah dalam pergaulan antarbirokrat. Berpikirlah untuk hidup saat ini, realistis. Juga untuk masa tua sebelum mati. Anak-cucu harus dibekali dengan warisan sebanyak-banyaknya agar masa tua tidak dipermalukan karena anak-cucu melarat. Hidup cuma satu kali. Surga-neraka hanyalah imajinasi, bukan sesuatu yang hakiki dan terbukti seperti miskin-melarat, penjara, atau hukuman mati.











Barangkali pula mereka berpendapat, surga akhirat bisa dikredit dengan sumbangan-sumbangan finansial selama hidup di dunia. Tidak sedikit dari para koruptor, eksekutor, perampok-perampas-penjarah-pencuri hak milik orang, pendusta, penipu, mafia peradilan, dan psikopat-psikopat lainnya di Indonesia rajin memberikan sumbangan ini-itu sebagai kredit surga akherat atau upaya menyogok malaikat penjaga pintu surga di akherat karena mereka percaya bahwa malaikat bahkan Allah bisa disogok dengan sumbangan ini-itu.











Begitulah kira-kira prinsip hidup manusia sakit spiritual. Mereka (lantaran sakit spiritual) lupa bahwa perbuatan-perbuatan mereka selama hidup di dunia bersama dengan manusia lainnya berada dalam pengawasan Allah bahkan setan-iblis serta antek-anteknya tanpa sedebu pun terlewatkan. Tapi apalah “saksi-saksi” yang tidak kelihatan itu dibanding pengadilan manusia.











Mungkin juga mereka merasa tidak perlu memikirkan akherat karena itu bukan urusan manusia. Urusan di dunia adalah realitas, dan urusan akherat hanya berdasarkan perkiraan belaka. Asalkan tidak terang-terangan “mendua-tiga-empat-banyakkan Allah” apalagi menganut ateisme, beres. Maka, tiada hentinya mereka melakukan tindakan haram (“menghalalkan keharaman”) demi “hidup cuma satu kali” dan “kapan lagi”.
















D. Republik Munafik











Pancasilat






1. Ke-tuan-an yang maha egois






2. Kemanusiaan yang batil dan biadab






3. Perseteruan Indonesia






4. Kerakyatan yang dipimpin oleh para penjahat berhikmat dalam pertipumuslihatan/perkawanan






5. Kebatilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia











Bangsa ini sangat gampang mengumpat, “Amerika Setan, Israel Iblis.” Juga menuduh kemerosotan moral dalam negeri akibat pengaruh budaya Barat Si Biang Maksiat. Sebenarnya semua itu sekadar upaya menghindari diri dari kebobrokan integritas diri sendiri. Sebobrok-bobroknya Barat dan “sekafir-kafirnya” Amerika-Israel, toh negara-negara itu selalu mantap dalam berbangsa-bernegara, makmur, dan nilai mata uangnya jauh di atas Rupiah Indonesia.











Lantas, kenapa bisa begitu, padahal mayoritas orang Indonesia adalah umat beragama, dan “Ketuhanan” adalah pertama dalam dasar (ideologi) negara? Kenapa Allah malah selalu memberi kelimpahan pada “negeri kafir”? Apakah Allah melakukan diskriminasi rasial? Apakah Allah sudah kenyang karena disogok oleh dollar, pounsterling, golden, mark, euro, dan semua uang dari sana?











Allah tidak akan pernah bersalah atau keliru dalam berbagi matahari kepada seluruh pelosok bumi. Apalagi julukan Indonesia yang mentereng, “Zamrud Khatulistiwa”, yang serba kaya hasil buminya. Jelas tidak ada diskriminasi rezeki. Jika demikian, siapa sesungguhnya yang bersalah, keliru, ceroboh, teledor, serakah, dan semena-mena dalam mengelola bumi Indonesia?











Republik ini sesungguhnya adalah Republik Munafik. Kemunafikan sudah menjadi epidemi nasional, dari tingkat rakyat jelata hingga tingkat pejabat atas. Kalaupun hanya sebagian, kemunafikan ternyata mempunyai hegemoni yang signifikan. Rumah-rumah ibadah megah, hari besar meriah, pusat-pusat pendikan agama dan publisitas kotbah marak, tetapi implementasi spiritualitas warga negara dalam realitas, misalnya birokrasi, hukum, relasi sosial, ilmiah-medis, dunia kerja, industri, dan lain-lain, sama sekali tidak mengemuka.











Reformasi justru membuat kemunafikan kian signifikan, dan dilengkapi perisai-perisai dalih dengan bahasa-bahasa indah-intelek dan semerbak ayat-ayat suci. Maraknya buku-buku rohani, tayangan-tayangan rohani, kegiatan-kegiatan rohani, toko-toko asesoris rohani, dan sejenisnya bukanlah indikasi mutlak bahwa di bangsa ini sudah terjadi peningkatan spiritualitas yang mengagumkan dan patut dibanggakan. Sebaliknya, kejahatan-kejahatan, baik skala kerdil maupun raksasa, justru kian cerdas, terbungkus “suci”, dan terorganisir sesuai kemajuan berpikir dan teknologi.











Oleh karenanya, tidaklah mengherankan jika bangsa ini semakin tahun semakin terpuruk dalam kebangkrutan massal, baik secara moral, mental, emosional, rasional, sosial, komunal, material, yuridisial, politikal, dan lain sebagainya sebab sesungguhnya kebangkrutan tersebut sudah dimulai dari dalam diri, yakni kebangkrutan spiritual. Kepercayaan kepada kedok, atribut, gelar rohani maupun filsafat pat-gulipat pun sudah menjadi syirik nasional. Kejahatan berlindung dalam kedok kerohanian dan status sosial. Idealisme dan integritas sejati sudah kuno, kadaluarsa, tidak laku lagi, termarjinalkan, bahkan mungkin langka (semoga tidak punah sama sekali!). Julukan “Macan Asia” hanya untuk menutupi kebobrokan diri sendiri bahwa mentalitas mayoritas manusia Indonesia tidak lebih mulia dari “Kucing Garong Ompong”. Pada puncaknya, sila ke-1 dari Pancasila sebatas sebuah hafalan wajib supaya tidak dicap “komunis-ateis” sebagaimana sesungguhnya republik ini adalah Republik Munafik!
















*******






Rawa Buaya, 2008











*) Latar belakang tulisan-tulisan serial “Republik Munafik”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar