Kamis, 19 Februari 2009

Pemerintah Menyuap Mahasiswa

Aksi sogok atau suap kembali dilakukan dan dipamerkan oleh Presiden RI SBY tanpa rasa bersalah dan malu. Setelah menyuap rakyat miskin dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT), giliran menyuap mahasiswa dengan Bantuan Khusus untuk Mahasiswa (BKM) dalam rangka memyumbat celah kritisitas mahasiswa peduli rakyat terhadap kebijakan kenaikan harga BBM bikinan Pemerintah RI yang telah berideologi Kapitalisme Pasar Dunia.

Dampak kebobrokan melalui suap-menyuap semacam itu sama sekali tidak diperhitungkan secara moral-mental-intelektual secukupnya terhadap perkembangan peradaban bangsa di kemudian hari. Apa daya, sang menteri pendidikan botol (botak tolol) pun membebeki saja perintah majikannya. Di sinilah kebingungan pemerintah akibat kebijakan yang mereka bikin sendiri seperti kebingungan si doktor bidang pertanian yang tidak juga berhasil melawan persoalan pangan nasional, contohnya nasi aking dan gizi buruk, lantaran beliau mengalami disfungsi intelektual. Sementara DPR dan MPR sudah tidak memiliki kemampuan sebagaimana mestinya alias impoten.

Inilah sejatinya salah satu budaya Republik Munafik yang dulu diperjuangkan dengan harta benda, keringat, air mata, dan darah para pahlawan bangsa dan jutaan rakyat sebelum dan pasca Proklamasi 17 Agustus 1945. Budaya suap telah dipertegas dan dilestarikan oleh Pemerintah SBY-JK (2004-2009) dan lembaga tinggi lainnya karena sesungguhnya mereka menyelewengkan visi dan misi luhur perjuangan para pahlawan prakemerdekaan yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa demi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

A. Dampak Kenaikan Harga BBM dan Pemberian BLT

BLT yang tidak akan pernah bisa meringankan beban hidup rakyat miskin akibat kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM, disikapi sebagian mahasiswa di beberapa daerah dengan aksi demonstrasi. Demonstrasi berintikan menolak kenaikan harga BBM, selain ketidakakuratan perhitungan jumlah orang miskin yang dikeluarkan oleh BAPPENAS untuk kelayakan standar baku dan kategorial miskin dan menerima BLT.

Persoalan kenaikan BBM memang berdampak luas pada sendi-sendi kehidupan bangsa dan negara. Sebagaimana sifat BBM yang mudah terbakar, sedikit saja muncul api irasional maka terbakarlah beberapa wilayah di Republik Munafik. Berbeda jika kenaikan harga terjadi pada minyak wangi, minyak gosok, minyak oles, minyak rambut, minyak penumbuh bulu ketiak, dan minyak ikan. Kalau harga minyak rambut naik, tidak akan menyeret harga minyak gosok, beras, terasi ataupun harga diri mayoritas orang Indonesia. Belum ada sejarahnya mahasiswa melakukan aksi protes sampai membakar ban gara-gara harga minyak rambut mengalami kenaikan yang signifikan.

Tentu saja berbeda dampaknya ketika harga BBM mengalami kenaikan. Yang pertama merasakan dampaknya adalah para pelaku transportasi; baik darat, laut maupun udara; baik sopir becak motor maupun sopir angkutan umum; baik nelayan maupun pengusaha maskapai penerbangan; baik transportasi manusia maupun sirkulasi barang dan jasa. Persoalan harga tiket memang tidak akan pernah menjadi bahan pemikiran serius bagi pemerintah karena pemerintah tidak pernah membeli tiket, melainkan selalu mendapat jatah dan gratis apabila hendak menggunakan angkutan berkelas apa pun dan itu merupakan fasilitas cuma-cuma bagi pemerintah atas nama kepentingan dinas demi kepentingan banyak orang dan atas nama relasi serta negosiasi perijinan usaha transportasi.

Imbas kenaikan harga BBM terhadap tarif angkutan umum sebesar 20-25 % (meski pemerintah menaikkan sampai 15 %) jelas lebih terasa membebani rakyat daripada para pejabat pemerintahan beserta aparaturnya karena saban hari rakyat menggunakan angkutan umum. Para pejabat beserta aparaturnya sudah mendapat kendaraan dinas dan jatah BBM pada saat hendak bepergian ke mana saja, dan diatur berdasarkan Anggaran Pendapat dan Belanja Daerah/Nasional, belum lagi jika ada jatah (suap lagi!) dari pemilik SPBU.

Selanjutnya para pelaku industri, yang menggunakan BBM untuk mesin-mesin produksi dan memiliki tenaga kerja (karyawan/buruh) dalam jumlah banyak. Himbauan pemerintah agar pemilik industri tidak melakukan PHK terhadap karyawan bahkan menaikkan uang makan dan transportasi bagi karyawan/buruh.merupakan sebuah himbauan semena-mena, tidak rasional-kontekstual.

Diakui atau tidak, untuk membangun sebuah pabrik, calon pemilik pabrik harus mengeluarkan uang ini-itu untuk birokrasi beserta pungutan siluman, termasuk sisa saham sekian persen dalam kurun waktu sekian puluh tahun diperuntukkan kepada beberapa birokrat apabila calon pemilik pabrik tetap menginginkan pabriknya terbangun dan berproduksi. Belum lagi jika dalam masa pengoperasian pabrik si pemilik pabrik harus mengeluarkan uang lagi untuk membayar pungutan liar atas nama apa saja.

Dari situ bisa dibayangkan, dari mulai perijinan hingga pasca pengoperasian pabrik berapa jumlah uang yang harus dikeluarkan oleh pemilik pabrik, ditambah dengan kenaikan harga BBM dan tuntutan ini-itu dari pemerintah dan aparat, yang tadi disebut sebagai “himbauan semena-mena”. Akibatnya, harga hasil produksi pun melonjak.

Belum selesai sampai di situ. Pemilik pabrik akan berhadapan dengan produk-produk impor yang lebih marak dan murah serta mungkin lebih bermutu, yang pasti juga mendapat jaminan dari pemerintah melalui bea-cukai. Persaingan jelas lebih menguntungkan pemerintah beserta aparaturnya secara materi daripada si pemilik pabrik beserta anak buahnya!

Disusul oleh kalangan pedagang, termasuk penjual minyak keliling RT-RT. Melonjaknya harga hasil produksi, masih ditambah dengan biaya transportasi dan pungutan liar di jalan oleh sekelompok oknum dengan jaminan kelancaran proses distribusi, jelas akan sampai kepada para distributor serta pedagang kecil. Ingat, tidak ada bisnis yang “no profit oriented”!

Sementara itu para pembeli akan lebih berhitung lagi mengenai apa yang harus dan tidak harus dibeli, dan berapa jumlah optimalnya karena setiap barang telah mengalami “penyesuaian” harga. Kalau mayoritas pembeli (konsumen) merupakan pelaku-pelaku pungutan liar atau tukang palak kelas cere, tidak menjadi masalah dengan “penyesuaian” harga karena uang begitu mudah diperoleh tanpa susah-payah bekerja. Tapi bagaimana jika mayoritas pembeli adalah warga negara yang baik-jujur-sungguh-sungguh bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang tidak menghalalkan secuil pun pungutan siluman atas nama “seseran”, “sampingan” atau “uang rokok” sedangkan gaji resminya tidak ikut “menyesuaikan” harga? Bagaimana jika produk tersebut juga berupa jasa, semisal transportasi (angkutan umum)?

Namun persoalan kenaikan BBM tidak akan menjadi persoalan paling mengenaskan apabila tingkat perekonomian mayoritas penduduk Republik Munafik ini sekelas JK atau Aburizal Bakrie dan sejenisnya. Sayangnya, orang-orang sekelas kedua nama tadi jumlahnya sangat minoritas di Republik Munafik ini tetapi diberi kekuasaan penuh untuk menyusun sekaligus melegalkan kebijakan yang berlaku absolut bagi sekitar 200 juta jiwa!

Lagi-lagi rakyat kembali pada posisi “obyek penderita”, “korban” dan “tumbal pemujaan materi”. BLT bukan saja singkatan dari Bantuan Langsung Tunai melainkan Bantuan Langsung Tewas umpama baru naik sepeda hibahan tapi segera diseruduk konvoi truk tronton berkecepatan tinggi yang memuat barang-barang dagangan. Apalagi analisis Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yang menyebutkan bahwa jumlah penduduk miskin di Republik Munafik ini pada akhir tahun 2008 akan melonjak sampai angka 41,1 juta jiwa atau 21,92 % dari total jumlah penduduk (187,5 juta jiwa) pasca BLT.

Yang berikutnya menjadi pertanyaan, apakah penyaluran BLT sudah tepat-akurat pada sasaran tanpa embel-embel salah data dan kenakalan oknum di lapangan. Sebab data jumlah penduduk miskin tahun 2005 belum merupakan data akurat, dan masih harus dibenahi. Namun data kurang akurat tersebut masih juga dipakai untuk penyaluran BLT tahun 2008. bila terjadi “permainan uang”, siapa yang harus dipersalahkan sejak semula?

Himbauan Pemerintah Republik Munafik, “Sudah saatnya kita harus mengencangkan ikat pinggang”, sebenarnya tidak perlu. Rakyat sudah lama mengencangkan ikat pinggang agar perut tetap terasa kenyang meski lapar begitu buas mengaduk-aduk perut rakyat. Hanya pejabat beserta rekanannya yang boleh mengendurkan ikat pinggang karena tidak pernah merasa kenyang dan sudah tidak mempunyai pinggang. Pinggang rakyat semakin jelas dan tegas terlihat tapi pemerintah sudah disilaukan oleh kemilau materi dan jaminan hidup nyaman. Pinggang pejabat beserta rekanannya sudah tidak jelas, sehingga ikat pinggang sudah tidak diperlukan lagi, apalagi harus dikencangkan.

Dan tidak ketinggalan dampaknya pada mahasiswa. Kenaikan harga BBM jelas berimbas pada harga kertas, buku, alat tulis, pakaian, makan-minum, pondokan, transportasi, dan lain-lain. Kenaikan barang dan jasa yang biasa dipergunakan kalangan mahasiswa belum tentu telah diantisipasi oleh kenaikan tunjangan dari orangtua setiap hari atau bulan. Penambahan tunjangan/kiriman dari orangtua tentu saja tergantung dari pendapatan orangtua.

Bagaimana jikalau tunjangan/kiriman orangtua tidak ikut naik? Pertama, berpengaruh pada aktivitas belajar mahasiswa, bahkan membuat mahasiswa tidak berani menambah wawasan keilmuan karena biayanya naik. Kedua, mahasiswa terpaksa mengorbankan waktu belajarnya untuk bekerja. Ketiga, memacu tindakan negatif demi memenuhi kebutuhan hidup mahasiswa, misalnya kriminal, distributor narkoba, pelacuran, dan lain-lain. Keempat, putus kuliah alias Drop Out. Maka bukan mustahil imbasnya adalah PEMBODOHAN akibat tekanan ekonomi yang bersumber dari kebijakan pemerintah!

SBY yang pernah kuliah hingga mendapat gelar Doktor, pasti mengerti soal buku dan kisaran harganya. Sedangkan JK justru cocok mengembangkan bisnisnya dalam industri buku. Tetapi kalau 95 % jumlah orangtua mahasiswa di Republik Munafik ini berasal dari golongan ekonomi sekelas JK, kenaikan BBM tidak akan pernah menjadi persoalan yang harus dipikirkan hingga terpaksa turun ke jalan untuk memrotes kebijakan pemerintah!

Sangat disayangkan, SBY bisa menangis gara-gara Ayat-ayat Cinta yang direkayasa dalam film tetapi tidak pernah mampu menangis atas penderitaan puluhan bahkan ratusan juta rakyat di depan matanya! Apalah arti tangisan kepada cerita rekayasa! Tetapi juga apalah arti tangisan terhadap rakyat jika pemerintah masih saja tidak sadar bahwa kebijakan yang digelontorkan itu justru semakin menginjak rakyat di jurang kemelaratan paling dalam!

B. Bantuan Khusus untuk Mahasiswa

Recananya, sebanyak 400.000 mahasiswa dari keluarga miskin akan mendapat Bantuan Khusus untuk Mahasiswa (BKM) sebesar Rp.500.000,- per semester. Namun kebijakan ini, suka-tidak suka dan logis-tidak logis, merupakan sebuah kebijakan superaneh.

Sebuah kebijakan superaneh? O iya! Baru pada tahun 2008 ini ada kebijakan semacam itu di Republik Munafik ini sejak berdirinya pada 17 Agustus 1945 dan dipimpin oleh 6 presiden. Dan, tahun 2008 ini merupakan tahun-tahun terakhir bagi SBY-JK menikmati kursi eksekutif periode 2004-2009 karena menjelang pertengahan 2009 atau satu tahun lagi akan diadakan PEMILU PILPRES periode 2009-2014.

Kalau tidak keliru, ada dua hal yang masih menjadi pertanyaan, yang tidak jelas antisipasinya.

1. Beasiswa

Beasiswa, entahkah Supersemar yang ternyata bermasalah, entahkah itu Supersemprul dari perusahaan-perusahaan, atau apa pun, sesungguhnya selalu mencapai sasaran yang keliru alias tidak tepat/tidak akurat. Beasiswa yang sampai ke mahasiswa ternyata sebagian diterima oleh mahasiswa dari keluarga kaya.

Mengapa beasiswa yang seharusnya bisa membantu mahasiswa (dalam meningkatkan kecerdasannya tapi dari keluarga tidak mampu) itu bisa meleset, jatuh ke tangan mahasiswa dari keluarga mampu?

Satu jawaban, terfokus pada nilai indeks prestasi komulatif (IPK). Mahasiswa dari keluarga kaya sudah tidak susah pada persoalan asupan nutrisi, fasilitas dan dana meningkatkan kecerdasan. Hal ini tentu saja sangat tidak aneh jika mahasiswa tersebut bisa mencapai IPK yang bagus. Berbeda dengan mahasiswa dari keluarga miskin, yang serba terbatas dan terhimpit persoalan “bertahan hidup lebih baik daripada nafsu belajar tinggi tapi terkena penyakit mag atau mati akibat kurang gizi”.

2. Mahasiswa dari Keluarga Miskin

Meski jumlah rakyat miskin lebih banyak daripada mahasiswa dari keluarga miskin, tetapi belum ada angka yang pasti dan akurat mengenai berapa jumlah mahasiswa dari keluarga miskin itu. Angka 400.000 mahasiswa dari keluarga miskin itu pun tidak jelas dari kriteria apa dan data valid dari mana yang diperoleh oleh pemerintah.

Kalau kategori rakyat/penduduk miskin dicampuradukkan dengan keluarga miskin, sangat tidak logis. Penduduk miskin dalam batasan BPS berada pada garis kemiskinan Rp.166.697,-/orang/bulan. Kalau penduduk miskin disamakan dengan orangtua miskin, mana mungkin satu anaknya bisa sekolah, jangankan menjadi mahasiswa aktif dan sarjana.

Penduduk miskin tidak sama dengan keluarga miskin. Sekarang, rencana, BKM sebesar Rp.500.000,- per semester diberikan kepada mahasiswa kurang mampu. Kriteria “kurang mampu” ini masih kurang jelas. Tiba-tiba muncul angka 400.000 mahasiswa kurang mampu. Dari mana data itu diperoleh? Apakah akan tepat sasaran seperti beasiswa lainnya yang ternyata semakin menyenangkan mahasiswa kaya yang berotak pintar?

C. Kebijakan Terburu-buru dari Reaksioner Pemerintah Kehilangan Muka

Satu pertanyaan esensial, yaitu MENGAPA BARU SEKARANG digelontorkannya BKM. Ada beberapa dugaan sementara.

1. Terburu-buru

Isu kenaikan harga BBM sudah menjadi wacana intelektual, berkaitan dengan dampak buruk yang kian memurukkan nasib rakyat pasca maraknya kerakusan para pengelola daerah dan negara dalam tindakan korupsi. Lantas, ketika isu menjadi bukti, demonstrasi yang dilakukan mahasiswa bukan lagi merupakan reaksi atas bukti (kebijakan). Tapi rupanya pemerintah kaget (karena terlalu nyenyak dalam fasilitas yang disantuni oleh APBN, dan keuntungan materi yang diraup selama memerintah!).

Kalau orang cerdas biasa mengasah kecerdasannya, dan suatu ketika kaget atau terbangun dari tidur, intelektualitas tetap berjalan dengan baik. Tidak demikian dengan si doktor, apalagi si pengusaha arogan itu. Kedua orang ini kaget dan mengalami kebingungan (kelinglungan?). Yang langsung muncul di retina mata mereka adalah rekaman peristiwa Mei 1998. Jelas sejarah Peristiwa 1998 lebih buruk daripada mimpi buruk disuntik suster ngesot lalu dikejar-kejar pocong di terowongan Casablanca.

Sementara itu para pembantunya yang dulunya pandai, kini sedang mengalami kelumpuhan (stroke) intelektual gara-gara terlalu rakus melahap kolesterol fasilitas, tunjangan, dan “sumbangan wajib tanpa kuitansi”. Tanpa ada program jelas atau planning cerdas-transparan ketika kampanye 2004 silam, tiba-tiba langsung mengeluarkan kebijakan BKM. Kalau memang sudah ada planning, BKM sudah segera diberikan ketika SBY-JK terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden R.I. Periode 2004-2009. Tapi mengapa baru sekarang keluar setelah mahasiswa berteriak dan rakyat menjerit gara-gara hangus terbakar kenaikan harga BBM?

Hebatnya, di Surat Kabar Seputar Indonesia edisi Kamis, 29 Mei 2008, seorang botol alias Botak Tolol berani menantang, “Saya tidak takut dengan demo mahasiswa, saya hanya takut kalau ada demo guru.” Apakah dia memang si tolol yang lupa sejarah 1998, ataukah si tolol yang berani karena keberanian tanpa logika bisa berarti nekat? Yang jelas, dia hanya jongos pemerintah. Dalam sejarah, kalau jongos sudah berani sok keminter terhadap majikannya, bakal di-PHK dia! Jadi, harap maklum jika ada botol berani berkoar begitu seperti kata peribahasa, “Botol kosong nyaring bunyinya.”

2. Reaksioner

Mahasiswa beraksi, turun ke jalan, berdemonstrasi, dan menolak kebijakan pemerintah yang tidak peduli pada realitas kemelaratan bangsa. Aksi tersebut terpaksa direspon oleh pemerintah (reaksioner) karena pemerintah memang kurang intelek sehingga tidak memikirkan dampak kebijakan kenaikan BBM cenderung menginjak-injak rakyat yang sebelumnya sudah terjerumus dalam jurang kemelaratan yang sangat dalam. Sudah terjerumus di jurang kemelaratan paling dalam, masih juga diinjak-injak. Jelaslah mahasiswa berteriak bahwa tindakan itu amat-sangat tidak manusiawi!

Sikap pemerintah Republik Munafik ini memang reaksioner sekali. Kalangan intelek yang direkrut dalam pemerintahan pun telah mengalami kelumpuhan (stroke) intelektual karena lebih sering (rakus?) mengonsumsi kolesterol dalam jumlah sangat tinggi. Sehingga, ketika pemerintah tidak sanggup melakukan AMDAL karena tidak terbiasa menggunakan logika tapi terbiasa memakai perintah, kalangan intelektual hasil rekrutmen itu pun tidak mampu berbuat apa-apa alias impoten!

Reaksi pemerintah atas aksi mahasiswa itu, salah satunya, dengan BKM alias Bungkam Kepedulian Mahasiswa. Langkah itu diambil seolah-olah pemerintah peduli. Padahal pemerintah sedang melakukan langkah lain untuk membungkam aksi mahasiswa yang tidak bisa dibungkam oleh peralatan mekanis negara (aparat keamanan). SBY-JK sadar bahwa dua rezim besar di Indonesia bahkan di dunia akhirnya tumbang oleh aksi agresif mahasiswa!

3. Suap

Suap alias sogok adalah tindakan yang tidak intelek dan pengkhianatan terhadap hati nurani. Apa pun alasan penyuapan, pada intinya si penyuap memiliki sikap tidak profesional-intelek-bermoral. Sekarang hal tersebut justru dilakukan pemerintah, dan nama suap itu diperindah dengan istilah malaikat penolong, “Bantuan Khusus untuk Mahasiswa”.

Apa pun bungkusnya, sepotong bangkai pasti ketahuan juga. Bukan masalah bungkusnya, melainkan sebelum dibungkus, aroma bangkai itu sudah semerbak ke seluruh penjuru tanah air. Rakyat menjerit, mahasiswa teriak. Tapi, aroma sudah semerbak dan menyesakkan dada, barulah dibungkus, dan diberikan kepada mahasiswa. Dan benda itu dipaksakan pula untuk ditelan bulat-bulat oleh mahasiswa. Ironisnya, kalangan pendidikan tinggi harus memakluminya. “Makan nih, jangan berteriak lagi, ya, Adik manis,” begitu kira-kira bujukan pemerintah. Bah! Pemerintah macam apa ini! Pendidikan tinggi macam apa pula itu!

Mahasiswa paham bahwa BKM identik dengan suap atau juga upaya untuk membungkam mahasiswa. Dan malangnya, karena seorang jongos harus tunduk pada perintah atasan meski disuruh makan bangkai sekalipun, sang menteri botol (botak tolol) ikut menyerahkan bungkusan itu kepada mahasiswa dengan catatan “mahasiswa dari keluarga kurang mampu” supaya bisa juga dipergunakan untuk membujuk orangtua mereka yang menangis pilu akibat tekanan ekonomi nasional.

4. Bisnis Simpati demi Mendapat Muka

Berita tentang gizi buruk, nasi aking, bunuh diri akibat himpitan ekonomi, tidak adanya perbaikan pangan nasional, melonjaknya angka kemiskinan dan pengangguran, dan kini ditambah lagi kenaikan harga BBM akibat kalah bersaing (kurang modal atau tidak mampu bernegosiasi?) di pasar dunia, mengakibatkan pemerintah Republik Munafik yang dijalankan oleh seorang doktor dan pengusaha itu semakin kehilangan muka di depan rakyatnya sendiri.

Karena semakin kehilangan muka, kedua orang itu menginginkan muka mereka kembali atau mungkin mendapat “muka baru”. Maka dilakukanlah bisnis simpati dengan nama BKM. BKM seolah-olah ungkapan kepedulian (simpati) pemerintah terhadap beban ekonomi mahasiswa. Dengan demikian, muka pemerintah bisa kembali terpasang sebagaimana posisinya dulu.

Akan tetapi doktor yang tidak kualified di bidangnya, dan pengusaha yang tidak mampu memakmurkan bangsanya dalam penggelontoran kebijakan berisiko tinggi semacam menaikkan harga BBM bulan Mei 2008 itu justru dilihat mahasiswa sebagai hasil ketidakcerdasan (mungkin idiot?) pemerintah. Mahasiswa tidak perlu susah-susah meneliti kebijakan paling sepele itu. Bahkan bisa jadi, mahasiswa menyerahkan perhitungan dengan cara pembagian, perkalian dan pengurangan tersebut ke murid SD kelas 6.

Tentu saja SBY-JK tidak sudi kehilangan muka lantaran perhitungan kebijakan tersebut hanya menjadi soal matematika siswa kelas 6 SD. Mosok sih hasil pemikiran seorang doktor hanya pantas dihitung ulang oleh siswa kelas 6 SD? Mosok sih hasil berhitung seorang pengusaha masih terlalu mudah dikerjakan oleh siswa kelas 6 SD? Mbok yao Adik-adik mahasiswa bisa menghargai hasil berpikir dan berhitung pemerintah.

Maka disusunlah anggaran khusus untuk menyelewengkan konsentrasi mahasiswa dalam sikap solidaritas berbangsa-bertanah air, atau istilah jalanannya “Duit Damai”. Damai sama dengan duit (D = D). Selanjutnya, seolah hendak memamerkan bahwa pemerintah tetap peduli terhadap kesusahan hidup mahasiswa, digadailah simpati seharga Rp.500.000,- per semester yang berlaku sampai SBY-JK tidak duduk di pemerintahan lagi.

Penanganan persoalan akibat kenaikan harga BBM tidak semudah membalikkan telapak tangan lalu terlihat bukti penberian jatah BKM dari Depatemen Pendidikan atasnama Presiden R.I. lengkap dengan kops negara dan tanda tangan menteri. Mahasiswa dan publik yang kritis pasti menemukan kejanggalan itu semakin nyata, lantas bertanya, “Mengapa baru sekarang di saat angka kemiskinan kian melonjak ditambah beban kenaikan harga BBM?”

D. Bantuan Khusus untuk Pelajar (BKP) dalam Rencana Selanjutnya

Janji-janji soal gratisisasi biaya pendidikan tidak lebih dari pepesan kosong yang pernah dilahap oleh para pemilih idiot dalam kampanye PILPRES 2004 silam. Orang-orang berotak rata-rata (tidak perlu harus cerdas) saja pasti bisa berhitung, berapa sih anggran pemerintah Republik Munafik ini untuk merealisasikan janji pendidikan gratis yang dikoar-koarkan oleh tim sukses CAPRES? Tinggal menggunakan cara perhitungan SD atau SMP, sudah bisa menemukan hasilnya, yang ternyata PEPESAN KOSONG!

Beasiswa untuk pelajar, program BOS dan entah apa lagi, ternyata tidak pernah menepati janji pemerintah ketika mereka dan tim suksesnya dulu berkampanye ke daerah-daerah. Sekali lagi, PEPESAN KOSONG !

Tiba-tiba sekarang ada BKM, Bantuan Khusus untuk Mahasiswa. Apakah di Republik Munafik ini jumlah mahasiswa lebih banyak daripada jumlah pelajar? Apakah cukup mahasiswa saja yang perlu dibantu oleh pemerintah? Apakah lantaran cuma mahasiswa yang berteriak, turun ke jalan? Apakah cuma mahasiswa yang mampu melakukan itu?

Nah! Pemerintah SBY-JK pasti akan semakin bingung jika siswa SD, SMP dan SMA serta SMK pun berdemonstrasi sebagai solidaritas kaum terpelajar tanpa sekat jenjang pendidikan, khususnya para pelajar yang sejak SD sudah mengerti jerih-payah orangtua mereka dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga terlebih akibat kenaikan BBM terhadap sebagian besar harga barang dan jasa. Mungkin para pelajar itu disponsori langsung oleh orangtua mereka, yang memang sudah kepayahan menghadapi tekanan ekonomi yang tidak mampu diantisipasi oleh pemerintah Republik Munafik ini.

Apakah kemudian pemerintah akan melakukan rapat mendadak untuk memberikan Bantuan Khusus untuk Pelajar (BKP)? Beginilah akibatnya jika Republik Munafik dipimpin oleh seorang doktor yang kurang kredibel dan pengusaha yang hanya melulu mencari untung pribadi semata!

***

Rawabuaya, 29 Mei 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar