Kamis, 19 Februari 2009

Kontrak Politik dalam Kampanye PILKADA DKI 2007 *

"Pasangan Adang-Dani Bikin Kontrak Politik dengan Buruh,” judul sebuah koran Ibukota (19/07/2007). Penandatanganan kontrak politik tersebut dilakukan dalam acara Deklarasi Dukungan Koalisi Buruh Benahi Jakarta (KBBJ) di Kelapa Gading Sport Mall, Jakarta, Rabu, 18 Juli. Kemudian esoknya, Minggu, 19/07, dibuatkan pula kontrak politik dengan Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) dan tokoh-tokoh Betawi, yang dilaksanakan di depan patung Proklamator Soekarno-Hatta. Dan tentang kontrak politik, pernah saya singgung sedikit dalam tulisan “Republik Munafik : DKP = Gila!”.

Peristiwa ini, menurut saya, sangat menarik, dan baru pertama kali dilakukan di Indonesia. Mungkin saya salah. Cagub dan cawagub usungan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) untuk PILKADA DKI kali ini berani mengambil kesepakatan yang sangat tidak berani diambil oleh cagub Fauzi Bowo-cawagub Prijanto yang diusung oleh partai-partai besoar (GOLKAR, PDIP, PAN, PPP, PKB, PD, PDS, dan partai-partai selain PKS). Paling tidak, kendatipun saya tidak mengetahui detail-detail isi kontrak tersebut, Adang-Dani-PKS lebih siap untuk peduli terhadap nasib buruh atau pun rakyat kecil di DKI, dan siap mengambil resiko terburuk jika mereka gagal memenuhi isi kontrak politik tersebut andai terpilih nanti. Ada itikad baik, kayaknya. Minimal lebih baik daripada Foke-Pri-Koalisi Partai-partai Besoar.

Melakukan sebuah kontrak politik, memang tidak segampang menarikan pena di atas kertas lalu selesai atau bisa seenaknya dibakar. Ada sebuah konsekuensi serius untuk membuktikan suatu konsistenitas calon pemimpin suatu wilayah. Ada hutang politik yang jelas. Kali ini hutang kepada buruh, rakyat miskin, budayawan, dan lain-lain. Bukan hutang politik kepada mayoritas partai. Adang-Dani-PKS sudah berani melakukan itu, meski pesaingnya, Fauzi Bowo, yang dikenal berpengalaman dalam pemerintahan DKI justru tidak berani bahkan capres beserta tim suksesnya. Wow! Sekarang barulah saya melihat bahwa langkah pembuatan kontrak politik bukan lagi sekadar wacana politik-intelektual-publik melainkan sudah menjadi bagian dari realitas yang, semoga, kelak bisa dipakai sebagai salah satu tolok ukur bagi pemilihan kepala daerah bahkan kepala negara di Indonesia.

Buruh memang seringkali menjadi sapi perahan para pengusaha. Dengan upah rendah, buruh diperah untuk menghasilkan produk-produk wah. Sementara birokrasi tak pernah sadar diri, melakukan pungutan liar yang nilainya tidak sedikit. Akibatnya, pengusaha harus menyita sebagian upah buruh demi kelanggengan proses birokrasi dan jaminan keamanan. Birokrasi yang mata duitan dan pemuja kekayaan inilah yang sesungguhnya merampok hak-hak buruh! Pengusaha tidak bisa berbuat apa-apa untuk ribut karena jelas ia memikirkan kelanggengan bisnis, masa depan keluarga, mungkin pula nasib anak buahnya.

Dan DKI Jakarta merupakan pusat bisnis di Indonesia. Bukan cuma pusat pemerintahan. Hal ini merupakan daya pikat Jakarta paling kuat di Indonesia untuk menjadi daerah tujuan mengadu nasib bagi para perantau, baik berpendidikan rendah maupun berpendidikan tinggi dari seluruh penjuru nusantara. Ada semacam mitos modern, “Belum bertarung di Jakarta, belum lengkaplah perjalanan karier seseorang”, dan “Jakarta adalah barometer modernitas dan kesuksesan hidup”. Maka berbondong-bondonglah mereka menyerbu Jakarta.

Pertarungan nasib di Jakarta, bagi sebagian masyarakat Indonesia di luar Jakarta, merupakan suatu kebanggaan tersendiri. Tidak sedikit orang muda dari pelosok Indonesia menuju DKI Jakarta untuk menjajal semangat muda yang penuh keberanian (juga nekat!). Sementara bagi sebagian orangtua di daerah luar Jakarta, perantauan anak-anaknya ke Ibukota merupakan bumbu cerita yang sering dibanggakan. Dengan kata lain, ada mitos pencitraan individu dalam komunitas daerah asal para perantau.

Sebagai pusat bisnis nasional, daerah ini menghidangkan banyak peluang pekerjaan yang lebih beragam dibanding dengan daerah lainnya. Property, konveksi, pabrik, retail, perangkat keras maupun lunak, sarana-prasarana transportasi, media massa, hiburan, advertising, promosi-promosi produk, perpajakan, dan lain-lain. Berikutnya usaha kecil pendukung atau penyertanya, seperti pedagang barang dan jasa keliling. Sudah barang tentu, daerah ini berhasil meraup PAD hingga trilyunan rupiah, atau daerah ber-PAD paling tinggi di Indonesia. Imbasnya, wilayah ini dipandang sebagai sebuah lahan paling subur yang patut diperebutkan dan dikuasai.

Sementara persoalan kemiskinan perkotaan, dan kebudayaan yang menjadi sebuah genius loci suatu daerah seringkali sebatas bumbu pemikat peminat bagi calon pemimpin beserta juru kampanye, tim sukses dan partai-partai pendukungnya. Padahal persoalan kemiskinan di DKI tidak bisa dianggap sepele. Tidak seimbangnya antara lapangan pekerjaan dan jumlah pendatang yang berburu pekerjaan sangat signifikan. Juga kontrasitas antara kapasitas ruang dan kuantitas warga DKI. Bukan hanya menimbulkan persoalan sosial-krusial, tapi juga masalah fisik, misalnya sampah, pemukiman kumuh, pemukiman semrawut, kepadatan wilayah, dan lain-lain.

Penggusuran dan kekerasan sikap aparat (pamong praja) dalam menerapkan kedisiplinan, kebersihan dan kerapian DKI bukanlah penyelesaian masalah paling manjur-ampuh. Belum lagi bila perselingkuhan birokrasi-pengusaha ternyata terus produktif melahirkan preman kebijakan, penggusur dan pengacau. Hal lain yang tak kalah serius, masalah transportasi. Ribuan mobil baru selalu merubungi ruang-ruang dan jalan-jalan Ibukota. Jalan-jalan diperlebar dan dibuat berlapis-lapis bahkan yang selanjutnya muncul dalam pikiran saya, “Jakarta adalah jalan” karena saya melihat lebih banyak jalan daripada ruang bagi pemukiman penduduk. Bagaimana dengan tanah milik penduduknya? Apakah atas nama kepentingan orang banyak, gubernur terpilih nanti akan mengabaikan hak kepemilikan tanah rakyat, padahal pembuatan jalan-jalan tersebut merupakan sebuah proyek yang menjadi salah satu aliran materi tidak sedikit ke rekening pribadi pemimpin lokal maupun pimpinan proyek beserta aparat birokrat?

Berikutnya kebudayaan lokal, khususnya Betawi. Sebagai ibukota negara, atau kemudian ditambah istilah “Metropolitan” bahkan “Megapolitan” yang secara langsung dan cepat digempur oleh kebudayaan-kebudayaan luar, baik luar Betawi maupun luar negeri, tak pelak akan berhadapan dengan kebudayaan lokal (Betawi) sendiri. Para pendatang yang berjumlah lebih banyak ketimbang penduduk asli, cenderung mengangkut budaya daerah asal mereka. Ditambah dengan kesukaan sebagian dari mereka untuk bergaya sok keluarnegerian karena dalam otak mereka “Jakarta adalah kota modern-internasional” yang jelas salah kaprah. Apakah kelak kebudayaan Betawi akan berasimilasi-evolusi hingga kehabisan unsur keasliannya, ataukah justru tergusur dalam buku sejarah kebudayaan? Tentu saja persoalan ini akan menjadi pekerjaan rumah serius bagi Adang-Dani jika terpilih.

Tak kalah seriusnya dengan bisnis hiburan, khususnya hiburan malam, yang marak di Jakarta. Misalnya diskotik, karaoke, massage plus, dan sejenisnya. Istilah “Ada penjual, ada pembeli” tak boleh dianggap sepele. Dalam hal ini, bukan mustahil, ada semacam kontrak politik antara Adang-PKS. PKS tidak menghendaki bisnis hiburan yang berkonotasi negatif itu bisa hidup subur bahkan menjamur di Jakarta. Sedangkan Adang, sebagaimana mantan Wakapolri, memahami seluk-beluk dunia malam itu, sekaligus efek material kepada orang-orang, misalnya tukang ojek, bajaj, taksi, warung PKL, dan lain-lain. Saya menduga, orang-orang PKS belum sepenuhnya mendata, menganalisa, dan melihat aspek-aspek mutualis-ekonomis dari keberadaan hiburan malam. Namun, menurut saya, orang-orang PKS sendiri tidak bisa menjamin lapangan pekerjaan bagi masyarakat.

Bagi saya, melarang tanpa solusi yang kondusif dan realis, bukanlah tindakan yang bijaksana. Masyarakat malam butuh uang untuk bertahan hidup serta membiayai kehidupan keluarga. Berapa banyakkah masyarakat itu? Apakah PKS dapat segera menyediakan lapangan pekerjaan sekaligus besar gaji yang bisa mereka terima? Atau sekadar memenuhi kebutuhan primer mereka, mampukah PKS? PKS seharusnya benar-benar memutar otak untuk mengutak-atik semua itu, bukan berpikir sempit soal moral tanpa sama sekali memberi jalan keluar yang jitu. Kita hidup di dunia, bukan di surga. Dan hidup adalah pilihan. Manusia bebas memilih.

Kemaksiatan di dunia ini sudah ada sejak jaman para nabi. Apakah Tuhan menghendaki kemaksiatan? Jika tidak, kenapa Tuhan tidak langsung menghentikan nafas para pelaku bisnis kemasiatan sejak jaman nabi? Apakah Tuhan kewalahan (Tuhan bisa kewalahan?) sehingga Tuhan meminta bala bantuan dari manusia yang taat pada-Nya?

Persoalannya tidak sedangkal comberan. Tuhan punya kehendak, tetapi juga memberi kehendak bebas bagi manusia untuk memilih perbuatan apa saja, yang kelak harus dipertanggungjawabkan oleh manusia itu sendiri. Iblis, yang dihakimi sebagai biang kerok segala kemaksiatan, toh sejak ribuan tahun silam hingga kini masih saja eksis mengelola kemaksiatan. Kenapa sejak dulu Tuhan tidak langsung saja menghabisi Iblis beserta seluruh antek-anteknya agar manusia tidak saling membunuh, menghancurkan, mencurigai, menghakimi, menghasut, menghujat, dan sekitarnya? Bukankah para Nabi pun tidak mampu menanggulangi kemaksiatan? Apakah kita lebih hebat daripada para nabi? Barangkali diam-diam kita merasa diri kita boleh melebihi Tuhan. Ini sudah musyrik!

Selanjutnya, Tuhan pun tidak otoriter seperti manusia. Keadilan Tuhan bukanlah keadilan dalam pengertian sempit manusia. Dunia yang diciptakan-Nya jelas-jelas dalam pengawasannya, meski Iblis dan antek-anteknya bebas mengobrak-abrik isi dunia, semisal dengan kemaksiatan. Hanya di surga-lah yang tidak bisa diganggu gugat oleh Iblis. Bebas masalah kemaksiatan. Maka, kalau mau menikmati hidup bebas dari segala kemaksiatan, ya mati saja, dan terus ke surga (kalau memang yakin bisa langsung lancar masuk surga lho ya).

Saya justru melihat, Adang (sebagai polisi masyarakat) akan berhadapan dengan partai pendukungnya sendiri, PKS, yang merasa (diperintahkan langsung oleh Tuhan?) sebagai polisi moral. Adang melihat bahwa persoalan bisnis hiburan malam tidak bisa diperlakukan bak membalikkan telapak tangan, sedangkan PKS merasa bisa langsung bermain sulap. Saya lebih tertarik lagi, PKS melakukan kontrak politik dengan masyarakat atau orang-orang yang pekerjaannya berkaitan langsung dengan bisnis hiburan malam itu, bahwa PKS akan menyantuni semua mantan pekerja malam, memenuhi semua kebutuhan primer mereka bahkan membelikan pulsa seperti yang biasa mereka mampu beli sendiri. Kalau PKS tidak berani melakukan itu alias ragu-ragu memberi kesejahteraan material bagi mereka dengan perlindungan sebuah kontrak politik yang adil-sejahtera, tidak usah deh repot-repot melarang hingga mengarah pada aksi anarkis.

Namun perihal kepadatan, kesemrawutan tata ruang wilayah serta dampak sosialnya bukanlah persoalan yang berpengaruh serius pada keuntungan bila menguasai wilayah ini. Keuntungan secara finansial dan sosial (citra diri) jauh lebih besar ketimbang persoalan-persoalan terjadi bahkan kian besar. Toh persoalan-persoalan yang ada tersebut tidak terlepas dari jumlah penduduk terpadat di tanah air. Tidaklah sulit untuk berbalik menyalahkan pola hidup rakyat. Katakan saja, rakyat Jakarta tidak mau dan tidak bisa diatur. Beres. Yang penting, selama menjabat gubernur dan wagub selama lima tahun, keuntungan materi dapat diraup sebanyak-banyaknya melalui sarana yang dinamakan birokrasi, dan citra diri sebagai bagian dari kemajuan jaman dapat diperoleh.

Di Indonesia umumnya, sistem birokrasi memang amat sangat brengsek sekali (sudah amat, masih ditambah sangat dan sekali). Orang-orang yang telah duduk dalam jajaran birokrasi alias pegawai negeri yang bergaji tetap, mendapat tunjangan ini-itu, dan pensiun, ternyata masih saja belum puas untuk mengredit sebuah rumah mewah di neraka. Yach, mungkin prinsip “hidup hanya satu kali, lantas kapan lagi menikmati surga dunia“ telah mengakar kuat dalam sanubari sebab kelak mati toh masuk neraka juga.

Seorang pegawai negeri sipil di daerah luar DKI Jakarta pernah mengatakan pada saya, gaji PNS tidak sebesar di swasta, dan kami lembur tidak dibayar. Saya bilang, kalau memang tidak puas dengan gaji yang memang secukupnya, ya jangan jadi PNS. Jadi pengusaha narkoba, judi atau pelacur saja, beres! Menurut saya, bukan persoalan gaji yang masih ditunjang oleh ini-itu, asuransi, kemudahan serta jaminan pensiun kelak, melainkan soal gaya hidup serba berkecukupan dan ketidakmampuan mensyukuri hidup itulah masalahnya. Dalam jantung mereka cuma ada gengsi berbalut materi. Brengseknya lagi, kalau tidak ada uang pelicin, urusan selalu molor seperti tali kolor almarhum kakeknya. Tidak ada uang, urusan rakyat dipersilakan antri. Mereka sama sekali tidak pernah menginsyafi bahwa menjadi birokrat yang dibayar rakyat dengan standar gaji yang jelas haruslah tetap mensyukurinya dan berbakti kepada rakyat. Sebaliknya, mereka justru menganggap posisi birokrasi merupakan sebuah kesempatan untuk memalak pengusaha dan menjarah rakyat melalui kebijakan-kebijakan berstandar ganda. Mengenaskan memang.

Kebrengsekan birokrasi secara nasional pun sangat tidak mustahil menjangkiti Jakarta, terlebih daerah ini merupakan pusat bisnis paling besar di Indonesia. Oleh karenanya, saya menilai kontrak politik yang baru pertama ini terjadi, apalagi dengan kalangan buruh alias rakyat kecil (wong cilik), dapat dijadikan sebagai sebuah langkah pencerahan yang baik. Calon pemimpin dan partai pendukungnya tidak seenaknya mengumbar janji-janji basi yang selalu membuat mulas rakyat kecil.

Kalau selama ini ada semacam prinsip “yang penting aku dulu untung, nasib rakyat urusan nanti” yang sudah bersenyawa dalam nadi sebagian pejabat publik, elit politik beserta kaum oportunis, sekaranglah mereka berpikir lebih pro rakyat. Stabilitas sosial-politik-ekonomi bisa terjadi dengan, salah satunya, kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan para pejabat dan politisi bukan jaminan bagi kesejahteraan rakyat. Birokrat, politisi dan pengusaha beserta seluruh keluarga mereka bisa kenyang dan nyenyak tidur, jangan berharap bisa bermimpi indah tentang negeri yang stabil dan dicintai rakyat. Apalagi tanpa dilengkapi jaminan keadilan yang benar-benar adil.

Dengan adanya kontrak politik, paling tidak, rakyat pemilih tidak lagi dijadikan obyek penderita atas umbar janji-janji basi para juru kampanye dan tim sukses. Rakyat tidak lagi diposisikan sebagai korban ambisi kepentingan pribadi/partai/sekelompok pejabat. Rakyat harus dikembalikan kepada hakekatnya, yaitu sebagai anggota keluarga besar bangsa Indonesia. Bukan binatang pekerja seperti kerbau, sapi perah, atau semut pengumpul. Bukan alat pembuat materi dan citra seperti robot, mesin-mesin industri atau ATM berjalan. Rakyat adalah manusia, dan rakyat Indonesia adalah anggota keluarga besar bangsa Indonesia. Sekali lagi, ANGGOTA KELUARGA BESAR BANGSA INDONESIA! Sebab tanpa rakyat, perjuangan dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia adalah nonsens!

Selama ini tidak sedikit pejabat publik beserta aparaturnya keblinger pada posisi sosial dan pesona material (kemewahan). Kebijakan-kebijakan yang diambil cenderung merugikan rakyat tapi menguntungkan pribadi dan kroni. Rakyat yang hendak mengurus sertifikat tanah, kartu penduduk, kredit usaha kecil, dan lain-lain seringkali menjadi mangsa birokrasi. Malangnya, elit birokrasi melindungi aparaturnya! Jajaran birokrasi semacam itu sesungguhnya adalah para pengkhianat perjuangan dan Proklamasi Kemerdekaan RI! Mereka menjajah dan menjarah rakyat, bukannya berusaha sepenuhnya untuk menyejahterakan rakyat. Ironis bin miris, para birokrat keparat itu masih saja petentang-petenteng cengengas-cengenges tampil di jalan, area publik dan media massa dengan segala kemewahan dari hasil kejahatan mereka.

Lucunya, pada halaman muka sebuah koran Ibukota (30/07) menampilkan judul “Visi-Misi Fauzi Bowo : Hapus Layanan Berbelit Mulai Dari Kelurahan”. Kalau itu menjadi bagian dari janji Adang-Dani, saya sepakat. Tapi ini justru janji seorang Fauzi Bowo, yang notabene mantan wakil gubernur DKI Jakarta periode 2002-2007. Ketika Foke menjadi wakil gubernur, kenapa ia tidak melakukan penghapusan? Apakah sebagai wakil gubernur ia sekadar simbol? Apakah ia tidak punya kewenangan apa pun untuk melakukan penghapusan, atau paling tidak, memberi masukan kepada atasannya untuk menghapus layanan berbelit? Apakah sebaliknya, ia sedang menyerang kebijakan Gubernur Sutiyoso yang selama ini, menurutnya, memberi kebijakan layanan serba berbelit? Yang jelas, janji semacam itu sungguh basi dan omong kosong belaka!

Kini saatnya sistem birokrasi yang selama ini super brengsek, berbelit dan dipenuhi oleh preman-preman legal itu sungguh-sungguh dibenahi. Ini bukan sekadar koar-koar juru kampanye dan tim sukses seorang calon pejabat publik! Rakyat sudah banyak menjadi tumbal konspirasi kepentingan, terutama kepentingan isi rekening bank, yang dilakukan oleh birokrasi dan pengusaha. Yang memiliki pengaruh dalam sistem birokrasi adalah sang pemimpin. Akan tetapi, siapkah sang pemimpin membenahi sistem birokrasi yang korup, dari wakil, kepala dinas, dan oknum-oknum PNS?

Barangkali sebagian orang berharap, pemimpin, dalam hal ini gubernur alias pejabat publik, nantinya mampu membereskan anak buahnya demi kepentingan rakyat banyak. Bukan kepentingan segelintir orang yang kemudian memelintir lambung rakyat. Pemimpin yang korup justru menjadi guru teladan bagi anak buah yang berbakat korup. Di situlah budaya korupsi terus mengalami kaderisasi dan regenerasi sekaligus kian lestari. Padahal kekayaan hasil korupsi belum tentu bisa dipakai untuk menyogok malaikat ataupun Tuhan. Itu juga jika dalam sanubari benar-benar tunduk pada Tuhan, bukan sekadar kefasihan berkoar-koar soal Pancasila dan UUD 1945.

Jabatan lima tahun sebagai pemimpin pun mirip sebuah kontrak. Kontrak lima tahun sebagai pemimpin. Jika rakyat menyukai pemimpin yang pro rakyat, kontrak pun bisa diperpanjang pada periode berikutnya karena sekarang sudah melalui pemilihan langsung. Juga kampanye jelang pemilihan periode berikutnya tidak perlu memboroskan dana, dan tidak menambah dosa dalam janji, rekapitulasi penggunaan anggaran serta penderitaan rakyat.

Bagi saya, kontrak politik sangat penting untuk mengendalikan keliaran (kesewenang-wenangan dan keserakahan) pemimpin beserta partai-partai pendukungnya. Bukan obral gombal ke pelosok wilayah. Bukan koalisi para licikus. Bukan konspirasi pemangsa sesama. Bukan melahirkan sekawanan kambing hitam dengan segala hajatan perfitnahan nasional. Butuh kesadaran dan tanggung jawab, memang. Tapi bagi koalisi licikus, kontrak politik bisa berarti bumerang bagi upaya menggendutkan pundi-pundi kekayaan pribadi/partai. Sebab selama ini koalisi licikus bermimpi bersama bahwa mereka adalah para bangsawan di surga. Ahai!

Kontrak politik itu pun mengingatkan saya pada kehadiran tim sukses SBY-JK di Hotel Aquila Yogyakarta dalam kampanye PEMILU 2004 silam. Tim sukses itu berkoar-koar soal “jika ini-itu maka kelak begini-begitu” sebagaimana kampanye umumnya. Tapi naasnya, ketika mahasiswa menantang mereka untuk membuat sebuah kontrak politik, tim sukses itu tidak punya nyali untuk melakukannya. Sedangkan sekarang, dalam kampanye PILKADA DKI Jakarta 2007, Foke-Pri dan partai-partai pendukungnya yang sudah besoar itu pun tidak berani membuat suatu kontrak politik.

Menurut saya, dengan ketidakberanian kalangan politisi membuat suatu kontrak politik dengan wong cilik merupakan nilai minus bagi partai-partai bersangkutan serta bagi iklim perpolitikan nasional yang benar-benar pro wong cilik alias rakyat. Juga merupakan upaya untuk mengingkari janji, mengkhianati rakyat, lantas cuci tangan sambil bilang, “Gue kagak pernah berjanji soal itu. Kalo jurkam gue yang bilang, tagih aje janji itu ke die pade. Jangan elu-elu malah nagih ke gue. Salah alamat, tau!”. Saya malah curiga, sebagian besar politikus Indonesia adalah wong licik. Wong cilik selalu diperdagangkan oleh wong licik hanya demi meraup keuntungan materi bagi wong licik. Derita wong cilik bukanlah derita wong licik. Derita wong licik hanya akan terjadi di akherat, dan bersifat kekal. Terbukti atau ngawurkah kecurigaan saya ini, biar kelak akhirat yang mengadili seadil-adilnya.

Dan DKI Jakarta yang selalu menjadi fokus bahkan acuan perjalanan bahkan pembenahan pemerintahan di tingkat nasional, sudah barang tentu harus menjadi daerah awal percontohan/pencerahan bagi proses demokrasi maupun simbiosa mutualisma birokrasi-pengusaha-rakyat dalam cita-cita menuju Kemanusiaan yang Adil dan Beradab hingga Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Ketuhanan yang Maha Esa adalah hal paling mendasar untuk mencapai semua itu. Ada kesadaran paling hakiki, bahwa buruh dan rakyat miskin pun adalah sesama manusia, bukan makhluk ciptaan selain manusia. Sebagai sesama manusia, mereka wajib dihargai selayak-sepatutnya dan disandingkan sebagai mitra menuju keutuhan citra kemanusiaan yang ber-Pancasila. Bukan untuk barang dagangan kampanye ke seluruh pelosok negeri tapi kemudian darah dan keringatnya dihisap habis-habisan demi sebumi materi dan selangit citra diri sang pemimpin beserta kelompoknya yang amat fana itu! Di sinilah tampaknya Adang bersama PKS mengupayakannya melalui kontrak politik dengan buruh alias rakyat kecil dan rakyat miskin. Mereka menamakan kesepakatan itu sebagai “Koalisi Rakyat”.

Lantas bagaimana kaitan kontrak politik itu dengan Foke-Pri yang diusung oleh partai-partai besar? Saya pikir, Foke-Pri tidak bisa leluasa membuat satu saja kontrak politik dengan wong cilik seperti yang dilakukan oleh pesaing utamanya, Adang-Dani. Saya tidak melihat adanya keberanian di antara bulu kumis Fauzi Bowo. Ada apa di balik kumis tebal Foke? Whos’s knows! Ingat, kumis yang tebal menantang tidak selalu sebanding dengan keberanian mental seorang laki-laki. Kalau sekadar mengumbar janji-janji basi, saya kira seorang Bolot pun berani sebab kumisnya Bolot sudah teramat biasa pasang aksi di televisi alias di depan publik. Jika Foke tidak berani membuat kontrak politik dengan rakyat, mungkin lebih baik kumisnya dicukur habis. Atau dipermak seperti kumis Jojon saja. Biar lucu, gitu lho.

Memang ketidakberanian Foke-Pri tadi sedikit bisa dipahami. Sebab di belakang mereka telah berdiri partai-partai yang siap menagih imbalan, hutang politik. Barangkali keduanya (Foke-Pri) telah menandatangi sebuah kontrak politik dengan partai-partai promotornya. Tentu saja kontrak politik yang berimbalan. Bukan ketulusan melainkan kebulusan. Andai terpilih, jelas keduanya akan mendahulukan kepentingan partai-partai yang mempromosikan mereka. Bisa saja imbalan tersebut tidak hanya untuk satu-dua tahun, melainkan sampai habis masa jabatan bahkan lebih. Belum lagi kepentingan pribadi keduanya dengan alasan gaji yang kalah besar dibanding pengusaha. Waduh-waduh. Cape’ deh!

Maka dari itu, wajar jika sebagian kalangan meragukan itikad baik kedua orang itu (Foke-Pri) untuk benar-benar pro rakyat, wong cilik. Bukan sebatas spanduk merah bertulis “Jakarta untuk Wong Cilik” yang memuat pula figur Fauzi Bowo dan Megawati Soekarnoputri (PDIP) yang terpajang di salah satu sudut kota Jakarta. Spanduk bukanlah lembar kontrak politik. Tetapi justru cermin lain bagi sebuah kecelakaan politik dan keprihatinan atas negara yang beridealisme Pancasila, yang mana calon pemimpin beserta partai-partainya sama sekali tidak berpihak kepada rakyat melainkan kepada partai-partai promotornya. Rakyat adalah rakyat. Jangan dipolitisir dengan sebuah partai, apalagi partai yang mengaku-ngaku “Partai Rakyat”. Padahal mereka hafal sila ke-5 “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Seluruh Rakyat, bukan sebagian rakyat atau rakyat yang bernaung di bawah bendera partai saja. Sekali lagi, SELURUH RAKYAT! Apakah “Jakarta untuk Semua” seperti slogan kampanye Foke-Pri kelak sungguh-sungguh nyata bagi semua rakyat? Ayolah, Pak Kumis. Tidak usah meniru kampanye orang-orang, yang terus-menerus mendustai rakyat dengan janji-janji basi tanpa berani membuat sebuah kontrak politik dengan rakyat!

Sedikit keluar dari obrolan kontrak politik salah satu kandidat PILKADA DKI tadi, kampanye koalisi GOLKAR-PDIP yang dilakukan oleh Surya Paloh (bos harian Media Indonesia, Metro TV, dan Ketua Dewan Penasehat GOLKAR) dan Taufik Kemas (pentolan PDIP) ke beberapa daerah di Indonesia, bagi saya, merupakan bagian dari akrobatik politik dengan segala mimpi. Masa lalu GOLKAR-ORDE BARU dan masa kini PDIP dikemas dalam sebuah formula fatamorgana untuk ditenggak bulat-bulat bagi orang-orang yang sama sekali buta politik dan jaringan konspirasi nasional. Gerakan moralitas dan rekonsiliasi nasional yang mereka gembar-gemborkan di mimbar dan di layar televisi, khususnya di Metro TV, bagi saya, merupakan pemborosan tenaga, anggaran, waktu, dan kata-kata. Terserah bagi mereka dan masyarakat Indonesia umumnya. Bagi saya, bukan kampanye dan jampi-jampi (janji dan mimpi), melainkan realitaslah yang utama. Luka dan derita rakyat wajib disembuhkan dan disejahterakan SEGERA. SEGERA! Tidak perlu menunggu pemimpin baru atau pura-pura jadi Satria Piningit. Sudah cukuplah aromatik-hipnotika politik yang selama ini sungguh-sungguh gagal menjadi obat mujarab bagi luka dan derita rakyat. Apalagi kedua partai besoar yang mereka jajakan itu ternyata sama sekali tidak berani memberi sedikit jaminan kepedulian kepada rakyat dalam sebuah kontrak politik!

Kembali ke kontrak politik Adang. Di sisi lain, saya belum yakin, apakah kontrak politik Adang – Buruh serta kelompok-kelompok masyarakat lainnya itu nantinya akan benar-benar menjadi salah satu proses pembenahan sistem birokrasi dan kebijakan pro rakyat meski dalam lingkup DKI. Maklum, namanya juga kampanye. Masih calon. Masih menggalang massa dan membidik posisi. Belum jelas realitanya. Seperti biasanya kampanye PEMILU di Indonesia yang melulu bertaburan ranjau janji, saya belum bisa secuil pun mempercayai misi-visi suci PILKADA dan kesungguhan cagub-cawagub memperhatikan nasib buruh maupun rakyat kecil lainnya. Apakah benar terbukti hasil “Koalisi Rakyat” bikinan Adang-Dani-PKS-Rakyat 2007 itu pasca PILKADA yang barangkali menempatkan Adang-Dani di kursi gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta pada 8 Agustus 2007 nanti? Wallahualam.

o0o

Sesoeatoe Kampoeng Padat di Djakarta, Juli 2007

*) ditulis oleh seorang GOLPUT sejati, bukan simpatisan PKS atau anggota keluarga besar Adang Daradjatun / Dani Anwar. Tidak ada kepentingan politik maupun uang, kecuali sekadar urun-rembug wacana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar