Kamis, 19 Februari 2009

Komoditas Teratas itu Tetap Soeharto! *

Raja ORBA masuk rumah sakit dan kondisi kesehatannya kritis. Serta merta perhatian khalayak publik Indonesia terpusat padanya, lengkap dengan komentar, kutukan, dan doa-doa. Tidak ketinggalan para petualang, oportunis politik, oportunis rohani, dan pemburu berita. Dan selama beberapa hari di awal tahun 2008 ini sambutan dan berita kesakitan tersebut tampak lebih meriah dibanding acara Tahun Baru.

Soeharto, atau lengkapnya Haji Muhammad Soeharto (HMS), adalah sebuah komoditas unggul, baik di bidang politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya maupun klenik. Kalangan oportunis politik memanfaatkan kesakitan HMS tidak lebih dari kepentingan politik. Kalaupun kata “kemanusiaan” diikutsertakan, lagi-lagi sebenarnya merupakan manuver politik semata. Tidak terkecuali Amien Rais (AR), yang disebut-sebut sebagai tokoh reformasi dan terlibat aktif dalam peristiwa penggulingan tahta tirani HMS.

Sejujurnya saya katakan, saya muak, mual dan mau muntah setiap melihat AR muncul di televisi atau di media cetak. Sejak permainan suara dalam PEMILU 1999, ribut dengan Presiden Gus Dur ketika itu, kasus dana DKP, dan sekarang dalam rangka pengobatan HMS, AR masih saja berkoar-koar. Kenapa AR tiba-tiba mengampuni HMS? Juga kalangan politikus lainnya, yang berseberangan dengan HMS selama HMS masih merajalela bersama militer dan pasukan GOLKAR-nya. Saya lebih suka melihat anjing kurap sedang melahap bangkai ayam dan kucing kudis sedang mengais tulang tikus di kampung saya daripada melihat muka-muka para politikus oportunis itu!

Pengampunan yang didesakkan oleh kalangan oportunis politik, atau saya sebut mereka sebagai kader “Partai Oportunis Indonesia”, merupakan bentuk lain dari “promosi diri” dan “promosi partai” hanya untuk memungkiri publik agar muncul praduga bahwa para elit politik Indonesia tidak memiliki dendam sejarah padahal pada masa keemasan ORBA politikus oportunis itu dikejar-kejar, dilarang berdiskusi, dibungkam, tidak mendapat kesempatan dalam kebebasan berpolitik praktis, dan seterusnya. Pada saat itu para oportunis itu berusaha mengorek kebusukan ORBA, baik dalam dimensi kemanusiaan-HAM, peradaban, hukum-keadilan maupun monopoli. Sekarang, kondisi sekarat HMS telah dimanipulasi oleh para politikus oportunis untuk meraih simpati publik menjelang PEMILU dan Pilpres 2009. Sungguh memalukan-memualkan, memang!

Bagi saya, proses hukum atas kejahatan HMS tetap harus ditindaklanjuti. Masalahnya bukan pada kondisi HMS yang sudah sangat tidak layak dihukum atau pengampunan dalam setiap kotbah di mimbar agama. Melainkan sebagian ulah penegak hukum Indonesia itu sendirilah yang pantas dihukum karena mereka adalah kaum oportunis-materialistis yang turut menggembosi “Kemanusiaanyang Adil dan Beradab” dan “Keadilan Sosial bagi SeluruhRakyat Indonesia” ! Dalih “kemanusiaan” mereka pakai untuk membungkus itikad bulus-busuk mereka. Kalangan yang paling mudah tertipu oleh bungkus bulus tersebut tidak lain adalah simpatisan Partai Oportunis.

Dalam masa pendidikan menengah, saya dijejali oleh slogan kosong “Indonesia adalah Negara Hukum”. Slogan kosong ini pun tetap gemulai dan gemilang pasca Reforterasi sekarang! Saya berani bilang bahwa itu slogan kosong karena palu dan neraca hukum selalu mengalami impotensi mendadak ketika berhadapan dengan penguasa dan pengusaha. Kepiawaian HMS dalam mengampanyekan dan mengindoktrinisasi slogan kosong tersebut benar-benar sukses sampai ke mantan-mantan lawan politik HMS sekarang.

Dan sekarang, awal tahun 2008 ini HMS sekarat. Ingat, tahun depan ada PEMILU dan Pilpres. Sekarang saat tepat untuk berkampanye “kemanusiaan” dalam koridor politik praktis-plastis. “Sungguh tidak patut menghukum orang yang sedang sekarat,” apologi politikus oportunis. “Kita harus menghapus dendam sejarah sebelum terlanjur parah,” sambung lainnya. Maka berduyun-duyunlah mereka menuju Rumah Sakit Pusat Pertamina. Dan berkoar-koar pulalah mereka di media massa, seolah menjilat ludah sendiri yang bertahun-tahun dibuang ke tanah yang telah mengering air mata dan darah korban kebrutalan ORBA-Militerisme. Bagaimana seandainya Aburizal Bakri menjadi presiden RI ke-sekian, apakah para korban lumpur Lapindo beserta segenap keluarganya akan segera mengampuni jika ia tiba-tiba sekarat seperti HMS?

Orang-orang yang memanfaatkan kesakitan HMS sebagai upaya “menjual” simpati itu sebenarnya tidak pernah mengalami penderitaan seperti kasus Tanjung Priok, pemberangusan hak hidup anak-cucu orang-orang yang dituduh anggota PKI, orang-orang eksil, dan sebagainya. Orang-orang semacam itu sebenarnya musuh dalam sarung lusuh rakyat yang bertahun-tahun menjadi korban kerakusan ORBA (Orde Rakus, Biadab, dan Arogan). Dengan gagah-berani maju tak gentar mereka menginjak kuburan para korban kebiadaban ORBA. Sungguh memalukan ulah para politikus oportunis itu!

Bagi saya, pengampunan terhadap HMS yang sekarat bukan persoalan kemanusiaan belaka. Melainkan pula para pengelola negara beserta tokoh masyarakat di luar birokrat harus tetap menjadikan hukum sebagai panglima. Sayangnya, para pilar demokrasi (katanya sih) justru mereduksi supremasi hukum layaknya Super mie, yang kemudian disajikan kepada khalayak untuk mengelabui gerilya kampanye mendahului start resmi. Kalau hukum pada akhirnya harus takluk kepada penguasa, kepentingan elit politik, dan juga kondisi sekarat mantan penguasa, lantas sejatinya hukum dibuat untuk apa-siapa?

Begitulah kenyataan,bahwasannya hukum tidak berpihak kepada rakyat yang senantiasa menjadi korban, baik masa ORBA maupun masa Reforterasi ini. Yang ketangkap maling ayam, sepeda jengki, jemuran, dan maling-maling yang nilainya 0,0000000 sekian persen dari maling kelas birokrat, hukumannya bukan cuma kurungan tetapi juga pukulan, tendangan, dan segala jenis penyiksaan lainnya. Sangat tidak pantas dikatakan bahwa jenis hukuman semacam itu merupakan warisan ORBA karena para eksekutornya tidak lagi hidup dalam masa ORBA. Bagaimanapun, rakyat selalu diposisikan sebagai korban alias tumbal bagi kepentingan elit politik!

Mayoritas elemen peradilan, misalnya pengacara, jaksa dan hakim pun, menurut saya, adalah kader Partai Oportunis Indonesia. Hukum tidak lebih dari buku pegangan seorang sales obat bulu ketiak yang tercantum harga untuk distributor dan konsumen, atau yang lebih dikenal sebagai bisnis Multi Level Marketing (MLM = Multi Level Maling?). Sebagian pakar hukum pun telah menjadi juru kampanye obat murah seribu perak. Carut-marut dan acakadutnya hukum di Indonesia!

Jangan lupakan pula kasus-kasus yang pernah melibatkan keluarga besar HMS beserta kroninya. Sudahkah keluarga serta kroni-kroni HMS menghitung berapa jumlah korban yang mereka cap “lawan politik”, pembangkang, anti pembangunan, atau orang-orang tidak bersalah? Adakah pengampunan dari rezim ORBA terhadap mereka ketika ORBA sedang membabibuta dan membantai apa-siapa saja? Bukan hanya dari kuantitas maupun kualitas, tetapi juga ditambah waktu yang lebih dari lima tahun. Anda sendiri bisa menghitung berapa jumlah korban bahkan nyawa melayang akibat kediktatoran HMS beserta para asistennya? Tidak perlu menunggu petunjuk dari saya, kan?

Sikap emosional Probosutejo yang menyalahkan pemberitaan media massa atas simpang-siur komentar orang tentang kasus korupsi yang dilakukan HMS, termasuk kinerja konyol kalangan MPR masa lalu yang sekarang menyebabkan HMS sakit parah, menurut saya, merupakan upaya untuk membenarkan tindak korupsi trilyunan sebagai suatu hal yang tidak perlu lagi dipandang secara sinis-kritis. Probosutejo yang termasuk kenyang meraup madu-susu rezim ORBA, pernahkah membayangkan penderitaan korban rezim ORBA di masa lalu?

Mohon pengampunan? Semudah itu di saat sakratul maut siap menjemput HMS? Sungguh keterlaluan permohonan itu dibanding penderitaan banyak orang yang telah dikorbankan begitu saja oleh rezim ORBA. Ketika masih jaya-digdaya, HMS serta ORBA-nya begitu ganas menindas-melindas, sekarang minta pengampunan karena sang raja sudah sekarat. Kemanusiaan, keluhuran ataupun hati nurani, kenapa sekarang diminta menjadi hakim? Kalau sekarang keluarga dan kroninya tidak mau dicubit, kenapa dulu semena-mena menganiaya jiwa-raga banyak orang?

Bukan tidak mungkin, sekaratnya HMS merupakan akumulasi dan kontaminasi doa-doa, kutukan, dan sumpah serapah korban dan keluarga korban kebiadaban rezim HMS di masa lalu. Bukankah doa orang teraniaya lebih manjur daripada doa saya? Kini saatnya doa-doa mereka terkabul dalam bayang-bayang sakratul maut. Lantas siapakah yang mampu menggagalkan terkabulnya doa-doa itu? Yang jelas, bukan saya. Sebab saya bukan Tuhan. Persoalan apakah para korban dan keluarganya sudi mengampuni HMS atau tidak, bukanlah urusan saya. Saya tidak sudi menjadikan dalil-dalil agama sebagai senjata pamungkas guna menebas kebebasan mereka dalam tindak pengampunan ataukah dendam kesumat. Terserah mereka mau dendam ataukah memberi ampunan. Jangan menunggu petunjuk dari pada saya.

Saya tidak pernah membayangkan masalah dendam sejarah atau apa pun istilahnya. Saya pun tidak berharap mendapat sepersekian persen dari harta warisan HMS. Saya cuma berbagi cermin untuk sejenak berintrospeksi agar keluarga, kroni maupun politikus oportunis tidak menyepelekan arti pengampunan yang benar-benar berperikemanusiaan. Penegakan hukum bukan sekadar pengutamaan atas aspek keadilan bagi seluruh rakyat, tetapi juga harus menghargai itikad baik yang memberi efek jera kepada calon penguasa sekaligus keluarga dan kroninya di masa yang akan datang. Jelas di sini saya tidak bermaksud atau terhasut oleh istilah “dendam sejarah”. Toh di akherat kelak para korban kebiadaban HMS telah menunggu kedatangan HMS. Apakah kelak di sana mereka akan balas dendam dan mengganyang HMS, mana saya tahu!

Barangkali di antara Anda ada yang berbalik menggugat saya, andai ayah saya mengalami situasi seperti HMS, bagaimana tanggapan saya. Saya akan katakan, ayah saya tidak seperti HMS. Ayah saya bukan komponen birokrasi, apalagi kalau dicurigai sebagai kroni HMS. Saya bersyukur bahwasannya selama hidup ayah saya memiliki prinsip tegas terhadap praktik korupsi dan kolusi yang telah membumi selama berpuluh tahun itu dan dibudidayakan oleh sebagian orang Indonesia, terlebih kalangan birokrasi berotak terasi (birotrasi?). Jadi, gugatan Anda tersebut bisa saya katakan “batal demi kemanusiaan” (tidak usah menyebutnya “batal demi hukum”).

Oleh karenanya, melalui tulisan ini saya menyatakan turut prihatin atas sekaratnya hukum di Indonesia, dan jauh lebih sekarat dibanding kesehatan HMS sekarang. HMS sekadar penggebuk gong atas situasi politik, hukum, sosial, dan ekonomi nasional yang tetap menempatkan HMS sebagai sebuah komoditas yang teratas, melebihi BBM.

Akhirul kalam, di dunia ini kekuasaan dan kekayaan adalah tuan bahkan tuhan bagi nyaris seluruh orang Indonesia. Tidak ada hukum, baik hukum adat, hukum negara, hukum alam maupun hukum Tuhan yang mampu mengatur-mengendalikannya. Anda sepakat atau tidak pada opini saya ini, terserah Anda.

-----------------

Rawabuaya, Januari 2008


Tidak ada komentar:

Posting Komentar