Apabila suatu negara memberi bantuan kepada Indonesia, semisal uang, lantas meminta Indoensia untuk membantu negara tersebut, misalnya pasokan minyak atau dukungan atas resolusi terhadap Iran, apakah arti sesungguhnya bantuan tersebut? Menurut saya, itu bukan bantuan, melainkan barter atau malah saling menukar sesuatu. Uang ditukar dengan minyak atau dukungan. Seingat saya, uang memang merupakan alat tukar setelah jaman barter. Nah, jika bantuan memiliki syarat, itu bukan bantuan, melainkan semacam jual-beli sesuatu.
Membantu = membeli ? Membeli, menurut Poerwadarminta, berarti : 1) memperoleh sesuatu dengan membayar uang. 2) memperoleh sesuatu dengan pengorbanan.
Memang dalam pergaulan, baik lingkup kecil maupun dunia, kita harus saling membantu. Akan tetapi, seharusnya tidak menyamakan arti bantuan dengan hutang. Kalau memang tulus membantu, bantulah tanpa syarat. Kalau memberi bantuan sekaligus memberi syarat atau meminta imbalan tertentu dalam kurun waktu tertentu pula, bagi saya, itu bukan bantuan. Mungkin sama dengan “membeli sesuatu”. Entah apa lagi kata yang tepat untuk itu.
Nah, kalau arti pertolongan sama dengan pembelian, jelas itu dampak kapitalisasi-komersialisasi bantuan/tolongan. Jika memang demikian adanya, kegiatan tolong-menolong bisa disebut pula sebagai kegiatan jual-beli jasa. Mungkin bisa juga berarti membeli pertolongan, sebagaimana istilah membeli barang dan jasa.
Menurut pakar agama, umat manusia membantu sesama sewajibnya dilandasi rasa ke-Tuhan-an dan kemanusiaan. Rasa Ke-Tuhan-an, misalnya, membantu tanpa pamrih. Tuhan tidak pernah minta imbalan apa-apa ketika Ia membantu umat manusia. Tuhan tidak pernah membantu manusia dengan syarat : manusia mau percaya kepada-Nya. Tuhan tidak pernah menuntut manusia untuk percaya kepada-Nya. Tuhan tidak pernah menuntut apalagi memaksa manusia untuk menyembah-Nya saja. Manusia punya kehendak bebas untuk percaya, menyembah-Nya atau tidak mau percaya kepada-Nya. Kalau manusia tidak mau percaya atau menyembah-Nya, bukan berarti Tuhan tidak akan sudi membantu manusia itu. Tuhan membantu manusia bukan juga untuk menaikkan pamor-Nya di hadapan malaikat, iblis, manusia dan makhluk hidup lainnya. Tuhan tidak pernah kerepotan memikirkan pamor-Nya di hadapan segala ciptaan-Nya. Pamor-Nya tidak tergoyahkan oleh apa pun!
Tuhan juga, kata pakar itu, tidak pernah menahan bantuan-Nya atas dasar ketaatan manusia. Taat atau tidaknya manusia pada seluruh perintah-Nya bukanlah kriteria penting bagi Tuhan dalam membantu mansuia. Bahkan, justru ada manusia yang taat kepada seluruh perintah-Nya tetapi hidupnya selalu dihimpit kekurangan dan kesusahan. Sementara manusia yang tidak pernah peduli kepada satu pun perintah-Nya, kelihatan hidupnya serba berlebihan dan enak. “Aku sudah mati-matian taat, kok Tuhan masih saja belum memberi bantuan ini-itu padaku,” pikir seseorang, “Tuhan malah membantu orang atheis, pembangkang, dan musuh agama!” Ketaatan manusia tidak akan pernah bisa mengikat kebaikan Tuhan untuk membantu siapa saja, seperti matahari tidak hanya diberikan kepada kaum yang taat melainkan juga kepada kaum pemberontak.
Menurut pakar agama tersebut, melalui rasa ke-Tuhan-an tersebut sewajibnya manusia membantu sesama tanpa menuntut atau mengharap imbalan. Biarlah Tuhan sendiri yang memahami. Biarlah Tuhan sendiri yang akan membantu kita ketika kita sedang dirundung susah. Bagaimana caranya, dan melalui apa-siapa? Ah, Tuhan tidak akan pernah kehabisan ide untuk membantu manusia. Ide-ide-Nya selalu super-kreatif dan di luar dugaan manusia. Kalau ide-ide kreatif-Nya selalu bisa ditebak manusia, jelas Dia bukan Tuhan.
Sedangkan membantu dilandasi rasa kemanusiaan, menurut pakar tadi, artinya sebagai sesama manusia, pastilah memiliki kekurangan. Setiap manusia memiliki kekurangan, dan harus dibantu. Manusia seharusnya mengerti kesusahan/kekurangan sesamanya. Seseorang yang taat berke-Tuhan-an tidak akan memilih siapa orang yang akan dibantunya, sebab Tuhan tidak pernah memberikan matahari, udara, atau apa pun khusus untuknya saja karena dia taat.
Tidak sedikit umat manusia berprinsip, “Aku mau membantu Tuhan menyebarkan kebaikan-Nya, asalkan kelak aku mati masuk surga.” Waduh! Siapa yang sesungguhnya butuh bantuan; manusia atau Tuhan? Yang tidak mampu, haruslah dibantu. Yang mampu, membantu yang tidak mampu. Jika manusia membantu Tuhan, berarti Tuhan tidak mampu. Waduh, itu sudah bahaya!
Prinsip laba dalam bantuan kemudian dipraktekkan oleh umat manusia ketika membantu sesamanya. “Aku mau membantu kamu asalkan kamu mau membantu aku begini-begitu”, atau “aku mau membantu kamu asalkan kamu tidak rewel”, atau “aku mau membantu kamu asalkan kamu mendukung kehendakku”.
Saya kembali ke soal bantuan dan hutang. Membantu seseorang atau negara lain bukan berarti memiutangi seseorang ataupun negara lain tersebut. Kalau memang mau membantu, ya bantulah. Kalau mau membantu tapi disertai imbalan ini-itu, katakan sejujurnya bahwa itu barter bahkan hutang. Jangan campur-adukkan bantuan dengan barter apalagi hutang.
Begitu pula dengan hutang luar negeri
Barangkali ada yang berujar, “Kamu juga menikmati fasilitas ini-itu dan lain-lain, padahal fasilitas-fasilitas itu diperoleh dari hutang kita!” Lho, saya tidak tahu bahwasannya semua fasilitas itu berasal dari hutang luar negeri. Saya tidak melihat tulisan “Awas, Masih Hutang!” atau “Sudah Lunas” pada fasilitas-fasilitas tersebut. Saya tidak tahu hutang-hutang itu kemudian berubah wujud menjadi apa. Saya pun tidak tahu, apakah angka-angka dalam hutang luar negeri tersebut seluruhnya benar-benar tersalurkan pada kebutuhan
Mungkin yang lain berujar, “Sebenarnya kamu turut membayar hutang melalui barang-barang yang kamu beli, yang ada PPN-nya.” Oh itu wajar. Apakah PPN itu nantinya benar-benar untuk membayar hutang ataukah sebagiannya ditilep orang pajak, terserah. Tidak masalah soal barang-barang ber-PPN itu. Toh saya juga bisa membeli barang yang tidak ber-PPN seperti sayur, bunga, atau buah dari kebun tetangga. Dan kalau kemudian barang-barang yang saya beli itu harus ber-PPN, saya hanya bisa berharap, semoga PPN tersebut benar-benar untuk membantu pembayaran hutang negara, bukan untuk menambah isi rekening oknum dinas pajak yang tidak pernah menyadari bahwa korupsi hanya membuat iblis dan antek-anteknya kian terbahak-bahak di neraka.
Orang-orang yang ke luar negeri dalam rangka meminjam uang alias hutang itu seharusnya bisa berpikir normal-rasional : apakah kelak aku dan keluargaku bisa ikut melunasinya. Seperti yang saya singgung tadi soal “kontrak hutang”, orang-orang itu wajib melakukannya. Meskipun tidak sepenuhnya memakai hasil hutang-hutang tersebut, paling tidak dia menyadari bahwa persoalan hutang negara adalah juga hutang dia juga karena dia yang terlibat langsung dalam transaksi hutang tersebut.
Kontrak hutang ini tidak cukup pada batas kesadaran, tetapi juga pada tahap tindak lanjutnya. Beberapa manfaatnya, orang-orang itu tidak seenaknya melenggang kangkung ke luar negeri, pemerintah tidak semabrangan mengumbar hasil hutang ke oknum-oknum atau instansi apa saja, lantas rekan-rekannya membawa-bawa nama
Hutang pemerintah harus disebut sebagai hutang pemerintah, jangan dibebankan pula kepada rakyat. Pemerintah yang berhutang. Jangan seenaknya membawa-bawa : atas nama dan kehendak rakyat. Siapa yang pertama-tama menikmati hutang? Rakyat? Jangan cepat menuduh. Proyek-proyek pemerintah yang didanai oleh APBN dari hutang luar negeri, selalu saja langsung bisa dinikmati oleh birokrat yang bertitel pimpinan proyek. Semisal proyek pembangunan jembatan Sumatera –
Wakil rakyat, juga partai politiknya, yang menyetujui hutang tersebut wajib dijadikan sebagai ahli waris hutang. Sebab, ada juga wakil rakyat yang menerima cipratan hutang itu ketika rencana proyek berdana APBN disampaikan kepada wakil rakyat.
Jadi, dalam urusan hutang luar negeri Indonesia, siapa pun tidak usah memaksa saya bahkan anak-cucu saya kelak untuk memikirkan apalagi menanggungnya. Kalau negara pemiutang itu menagih, tagihlah langsung ke orang-orang yang terlibat, baik yang langsung maupun yang mengetahuinya. Saya tidak sudi hidup saya dan anak-cucu saya kelak dikejar-kejar bahkan seperti diteror dept collector internasional, yang saya tidak tahu-menahu asal-muasal duduk perkaranya.
Sungguh tidak tenang hidup diteror hantu hutang seperti sebuah mimpi buruk meski nyata adanya. Saya tidak tahu-menahu detail jumlah, wujud dan sekitarnya, ternyata saya masuk dalam golongan berhutang. Hutang
Mei 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar