Kamis, 19 Februari 2009

Hutang Luar Negeri

Berapakah total hutang luar negeri Indonesia? Terus terang, saya tidak tahu pasti berapa sebenarnya angka beserta bunga-bunganya, kapan menyicil, besarnya cicilan, bagaimana pembayarannya, dan seputarnya. Sebab, ketika acara penandatanganan hutang-piutang itu saya tidak melihat langsung ataupun rekamannya. Saya juga tidak tahu kapan, di mana, bagaimana, dan siapa saja yang menerima langsung hutang itu.

Menurut suatu berita, untuk APBN tahun 2008 BAPPENAS akan mengutang dengan nilai lebih rendah daripada tahun 2007. Sebesar 40 trilyun rupiah lebih. Ingat, itu trilyun rupiah, bukan trilyun daun. Jangan khawatir kalau hutang berbentuk daun, karena di sekitar kita masih banyak tanaman berdaun. Atau, jika memang tidak ada tanaman, daun lainnya bisa digunakan. Misalnya daun telinga, daun pintu-jendela, dan lain-lain.

Apakah saya ikut andil dalam hutang-piutang itu? Dengan tegas saya jawab: TIDAK! Saya tidak merasa berhutang uang pada negara-negera yang memiutangi Indonesia. Sebaliknya, saya TIDAK TERIMA jika ada orang yang mengatakan Indonesia hutangnya banyak. Saya orang Indonesia tapi sama sekali tidak pernah berutang uang kepada negara lain. Kalau saya disangkutpautkan dengan persoalan hutang Indonesia, sungguh ngawur tuduhan itu. Sebab saya sama sekali tidak berada di tempat ketika terjadi transaksi hutang-piutang itu. Saya pun tidak pernah memberi dukungan apa-apa supaya Indonesia berhutang kepada negara lain.

Siapa yang sesungguhnya berhutang luar negeri? Ya jelas orang-orang yang terlibat langsung dalam acara hutang-piutang itu. Siapa orang-orang itu? Saya tidak tahu. Pada saat terjadi transaksi hutang-piutang, saya tidak melihat langsung. Sama seperti SBY yang merasa tidak menerima DKP dan dana Asing karena sama sekali tidak tahu-menahu soal uangnya, meskipun aromanya tercium langsung melalui masalah dukungan SBY-JK pada resolusi PBB (dikomandani oleh Amerika Serikat) atas Iran, dan tiga kali SBY takut mempertanggungjawabkan dukungannya di hadapan DPR.

Adakah perbedaan antara hutang dan bantuan? Jujur saja, saya ini prang udik, kampungan, katro (pinjam istilah Tukul), atu naif. Setahu saya, kata “bantuan” berbeda dengan “hutang”. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, bantu = tolongan; penolong. Contoh: guru bantu, artinya guru penolong. Membantu = menolong.

Dalam kamus itu juga menjelaskan, menolong berarti : a) meringankan (penderitaan, kesukaran, dsb) dengan tenaga (uang, pikiran, dsb); b) membantu supaya dapat melakukan sesuatu, c) melepaskan diri, menyelamatkan. Jelas bahwa membantu = menolong.

Sedangkan arti “hutang” atau “utang”, menurut kamus itu, adalah 1) uang yang dipinjam dari orang lain; 2) kewajiban membayar kembali apa yang sudah diterima. Jadi, bantuan berbeda dengan hutang. Itu menurut pengertian ultra naïf saya lho ya (karena dibantu oleh kamus !).

Apabila suatu negara memberi bantuan kepada Indonesia, semisal uang, lantas meminta Indoensia untuk membantu negara tersebut, misalnya pasokan minyak atau dukungan atas resolusi terhadap Iran, apakah arti sesungguhnya bantuan tersebut? Menurut saya, itu bukan bantuan, melainkan barter atau malah saling menukar sesuatu. Uang ditukar dengan minyak atau dukungan. Seingat saya, uang memang merupakan alat tukar setelah jaman barter. Nah, jika bantuan memiliki syarat, itu bukan bantuan, melainkan semacam jual-beli sesuatu.

Membantu = membeli ? Membeli, menurut Poerwadarminta, berarti : 1) memperoleh sesuatu dengan membayar uang. 2) memperoleh sesuatu dengan pengorbanan.

Memang dalam pergaulan, baik lingkup kecil maupun dunia, kita harus saling membantu. Akan tetapi, seharusnya tidak menyamakan arti bantuan dengan hutang. Kalau memang tulus membantu, bantulah tanpa syarat. Kalau memberi bantuan sekaligus memberi syarat atau meminta imbalan tertentu dalam kurun waktu tertentu pula, bagi saya, itu bukan bantuan. Mungkin sama dengan “membeli sesuatu”. Entah apa lagi kata yang tepat untuk itu.

Nah, kalau arti pertolongan sama dengan pembelian, jelas itu dampak kapitalisasi-komersialisasi bantuan/tolongan. Jika memang demikian adanya, kegiatan tolong-menolong bisa disebut pula sebagai kegiatan jual-beli jasa. Mungkin bisa juga berarti membeli pertolongan, sebagaimana istilah membeli barang dan jasa.

Menurut pakar agama, umat manusia membantu sesama sewajibnya dilandasi rasa ke-Tuhan-an dan kemanusiaan. Rasa Ke-Tuhan-an, misalnya, membantu tanpa pamrih. Tuhan tidak pernah minta imbalan apa-apa ketika Ia membantu umat manusia. Tuhan tidak pernah membantu manusia dengan syarat : manusia mau percaya kepada-Nya. Tuhan tidak pernah menuntut manusia untuk percaya kepada-Nya. Tuhan tidak pernah menuntut apalagi memaksa manusia untuk menyembah-Nya saja. Manusia punya kehendak bebas untuk percaya, menyembah-Nya atau tidak mau percaya kepada-Nya. Kalau manusia tidak mau percaya atau menyembah-Nya, bukan berarti Tuhan tidak akan sudi membantu manusia itu. Tuhan membantu manusia bukan juga untuk menaikkan pamor-Nya di hadapan malaikat, iblis, manusia dan makhluk hidup lainnya. Tuhan tidak pernah kerepotan memikirkan pamor-Nya di hadapan segala ciptaan-Nya. Pamor-Nya tidak tergoyahkan oleh apa pun!

Tuhan juga, kata pakar itu, tidak pernah menahan bantuan-Nya atas dasar ketaatan manusia. Taat atau tidaknya manusia pada seluruh perintah-Nya bukanlah kriteria penting bagi Tuhan dalam membantu mansuia. Bahkan, justru ada manusia yang taat kepada seluruh perintah-Nya tetapi hidupnya selalu dihimpit kekurangan dan kesusahan. Sementara manusia yang tidak pernah peduli kepada satu pun perintah-Nya, kelihatan hidupnya serba berlebihan dan enak. “Aku sudah mati-matian taat, kok Tuhan masih saja belum memberi bantuan ini-itu padaku,” pikir seseorang, “Tuhan malah membantu orang atheis, pembangkang, dan musuh agama!” Ketaatan manusia tidak akan pernah bisa mengikat kebaikan Tuhan untuk membantu siapa saja, seperti matahari tidak hanya diberikan kepada kaum yang taat melainkan juga kepada kaum pemberontak.

Menurut pakar agama tersebut, melalui rasa ke-Tuhan-an tersebut sewajibnya manusia membantu sesama tanpa menuntut atau mengharap imbalan. Biarlah Tuhan sendiri yang memahami. Biarlah Tuhan sendiri yang akan membantu kita ketika kita sedang dirundung susah. Bagaimana caranya, dan melalui apa-siapa? Ah, Tuhan tidak akan pernah kehabisan ide untuk membantu manusia. Ide-ide-Nya selalu super-kreatif dan di luar dugaan manusia. Kalau ide-ide kreatif-Nya selalu bisa ditebak manusia, jelas Dia bukan Tuhan.

Sedangkan membantu dilandasi rasa kemanusiaan, menurut pakar tadi, artinya sebagai sesama manusia, pastilah memiliki kekurangan. Setiap manusia memiliki kekurangan, dan harus dibantu. Manusia seharusnya mengerti kesusahan/kekurangan sesamanya. Seseorang yang taat berke-Tuhan-an tidak akan memilih siapa orang yang akan dibantunya, sebab Tuhan tidak pernah memberikan matahari, udara, atau apa pun khusus untuknya saja karena dia taat.

Tidak sedikit umat manusia berprinsip, “Aku mau membantu Tuhan menyebarkan kebaikan-Nya, asalkan kelak aku mati masuk surga.” Waduh! Siapa yang sesungguhnya butuh bantuan; manusia atau Tuhan? Yang tidak mampu, haruslah dibantu. Yang mampu, membantu yang tidak mampu. Jika manusia membantu Tuhan, berarti Tuhan tidak mampu. Waduh, itu sudah bahaya!

Prinsip laba dalam bantuan kemudian dipraktekkan oleh umat manusia ketika membantu sesamanya. “Aku mau membantu kamu asalkan kamu mau membantu aku begini-begitu”, atau “aku mau membantu kamu asalkan kamu tidak rewel”, atau “aku mau membantu kamu asalkan kamu mendukung kehendakku”. Ada juga orang yang mau membantu karena sebelumnya sudah dibantu, misalnya si A membantu si B karena sebelumnya si B sudah membantu si A. Apabila kita membantu seseorang lalu berharap kelak seseorang itu bisa membalas bantuan kita, apakah kebanggaan kita? Bantuan kita justru bisa menjadi beban balas budi, dan hal demikian cenderung tidak memerdekakan orang yang kita bantu. Bukankah kebanggaan kita membantu orang justru ketika orang tersebut tidak pusing-pusing memikirkan bagaimana bisa membalas jasa/bantuan/budi kita karena dengan demikian kita tidak malah membebani orang tersebut dengan hutang jasa atau balas budi? Apakah kita juga bisa tenang-tentram menikmati hidup dengan beban pikiran: bagaimana bisa membalas jasa/budi orang-orang yang pernah membantu kita?

Saya kembali ke soal bantuan dan hutang. Membantu seseorang atau negara lain bukan berarti memiutangi seseorang ataupun negara lain tersebut. Kalau memang mau membantu, ya bantulah. Kalau mau membantu tapi disertai imbalan ini-itu, katakan sejujurnya bahwa itu barter bahkan hutang. Jangan campur-adukkan bantuan dengan barter apalagi hutang.

Begitu pula dengan hutang luar negeri Indonesia. Sebenarnya, yang wajib berpusing diri memikirkan hutang itu adalah orang-orang yang terlibat dalam transaksi hutang itu sendiri. Mereka tahu detail angka dan bunganya. Mereka tahu bentuknya seperti apa, kwitansi ataukah apa. Mereka-lah yang harus dituntut pertanggungjawabannya. Sita saja seluruh harta-bendanya. Di kemudian hari, buatlah semacam “kontrak hutang” kepada orang-orang itu : wajib menyetor sekian rupiah per bulan untuk membantu pembayaran hutang ataupun bunganya. Caranya, bisa dengan potong gaji, sita, dan kewajiban membayar dalam jumlah yang jelas (menyicil) sampai seumur hidupnya atau dengan ahli warisnya! Dan, kalau orang-orang itu tahu dan terlibat langsung dalam hutang-hutang itu, ya jangan kemudian justru hidupnya serta tujuh turunannya makmur-sejahtera dan melimpahkan semua urusan pembayaran hutang itu kepada Indonesia, yang berarti pula saya ikut menanggungnya.

Barangkali ada yang berujar, “Kamu juga menikmati fasilitas ini-itu dan lain-lain, padahal fasilitas-fasilitas itu diperoleh dari hutang kita!” Lho, saya tidak tahu bahwasannya semua fasilitas itu berasal dari hutang luar negeri. Saya tidak melihat tulisan “Awas, Masih Hutang!” atau “Sudah Lunas” pada fasilitas-fasilitas tersebut. Saya tidak tahu hutang-hutang itu kemudian berubah wujud menjadi apa. Saya pun tidak tahu, apakah angka-angka dalam hutang luar negeri tersebut seluruhnya benar-benar tersalurkan pada kebutuhan Indonesia alias tidak bocor sebagian ke rekening oknum.

Mungkin yang lain berujar, “Sebenarnya kamu turut membayar hutang melalui barang-barang yang kamu beli, yang ada PPN-nya.” Oh itu wajar. Apakah PPN itu nantinya benar-benar untuk membayar hutang ataukah sebagiannya ditilep orang pajak, terserah. Tidak masalah soal barang-barang ber-PPN itu. Toh saya juga bisa membeli barang yang tidak ber-PPN seperti sayur, bunga, atau buah dari kebun tetangga. Dan kalau kemudian barang-barang yang saya beli itu harus ber-PPN, saya hanya bisa berharap, semoga PPN tersebut benar-benar untuk membantu pembayaran hutang negara, bukan untuk menambah isi rekening oknum dinas pajak yang tidak pernah menyadari bahwa korupsi hanya membuat iblis dan antek-anteknya kian terbahak-bahak di neraka.

Orang-orang yang ke luar negeri dalam rangka meminjam uang alias hutang itu seharusnya bisa berpikir normal-rasional : apakah kelak aku dan keluargaku bisa ikut melunasinya. Seperti yang saya singgung tadi soal “kontrak hutang”, orang-orang itu wajib melakukannya. Meskipun tidak sepenuhnya memakai hasil hutang-hutang tersebut, paling tidak dia menyadari bahwa persoalan hutang negara adalah juga hutang dia juga karena dia yang terlibat langsung dalam transaksi hutang tersebut.

Kontrak hutang ini tidak cukup pada batas kesadaran, tetapi juga pada tahap tindak lanjutnya. Beberapa manfaatnya, orang-orang itu tidak seenaknya melenggang kangkung ke luar negeri, pemerintah tidak semabrangan mengumbar hasil hutang ke oknum-oknum atau instansi apa saja, lantas rekan-rekannya membawa-bawa nama Indonesia untuk turut menanggung hutang. Tentu tidak keliru jika saya menyebutnya sebagai suatu bentuk ketidakbertanggungjawabnya oknum-oknum itu.

Hutang pemerintah harus disebut sebagai hutang pemerintah, jangan dibebankan pula kepada rakyat. Pemerintah yang berhutang. Jangan seenaknya membawa-bawa : atas nama dan kehendak rakyat. Siapa yang pertama-tama menikmati hutang? Rakyat? Jangan cepat menuduh. Proyek-proyek pemerintah yang didanai oleh APBN dari hutang luar negeri, selalu saja langsung bisa dinikmati oleh birokrat yang bertitel pimpinan proyek. Semisal proyek pembangunan jembatan Sumatera – Kalimantan, paling tidak pimpinan proyek (wakil pemerintah) siap mengantongi uang dalam jumlah tidak sedikit (tidak sedikit dibanding honor saya). Paling tidak, pimpro memperolehnya (menodong?) dari kontraktor (swasta) yang berdasarkan nilai kontrak proyek. Apakah manfaatnya sudah bisa dinikmati rakyat? Itu nanti dikhayalkan.

Oleh karenanya, harus disusun pula sebuah “kontrak hutang”, selain “kontrak politik”. Kalau pemerintah ORDE A berhutang, maka selama ORDE A berkuasa, wajiblah melunasi hutang-hutang hingga periode ORDE A berakhir. Jika hutang belum terbayar sampai masa akhir ORDE A, ya tagihlah terus pada mantan pejabat-pejabat ORDE A hingga lunas. Bila perlu, sita seluruh kekayaan mantan pejabat-pejabat ORDE A atau penjarakan saja mantan pejabat-pejabat itu! Jangan seenaknya bermain-main dengan hutang luar negeri, lantas melimpahkannya kepada pemerintahan ORDE B (Berikutnya), apalagi menyangkut-pautkannnya kepada rakyat, termasuk saya.

Wakil rakyat, juga partai politiknya, yang menyetujui hutang tersebut wajib dijadikan sebagai ahli waris hutang. Sebab, ada juga wakil rakyat yang menerima cipratan hutang itu ketika rencana proyek berdana APBN disampaikan kepada wakil rakyat.

Jadi, dalam urusan hutang luar negeri Indonesia, siapa pun tidak usah memaksa saya bahkan anak-cucu saya kelak untuk memikirkan apalagi menanggungnya. Kalau negara pemiutang itu menagih, tagihlah langsung ke orang-orang yang terlibat, baik yang langsung maupun yang mengetahuinya. Saya tidak sudi hidup saya dan anak-cucu saya kelak dikejar-kejar bahkan seperti diteror dept collector internasional, yang saya tidak tahu-menahu asal-muasal duduk perkaranya.

Sungguh tidak tenang hidup diteror hantu hutang seperti sebuah mimpi buruk meski nyata adanya. Saya tidak tahu-menahu detail jumlah, wujud dan sekitarnya, ternyata saya masuk dalam golongan berhutang. Hutang lima puluh ribu rupiah pada tetangga saya saja sudah cukup membuat saya pusing, apalagi kalau tiba-tiba saya wajib turut menanggung hutang negara yang bergunung-gunung itu!

o0o

Mei 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar