Kamis, 19 Februari 2009

Ketika Terjadi Pertarungan Kumis antara Sofyan Djalil, Thukul Arkatro, dan Irsha Orang Tak Mampu

Syukurlah, Republik Mimpi kembali ke nama asalnya setelah sempat berubah menjadi Kerajaan Mimpi dengan alasan (ancaman?) somasi (entah oleh siapa). Untung saja tidak berakhir sebagai Republik Mampus sehingga Menkominfo Sofyan Djalil terus menebar pesona kumis feodalnya di seluruh tayangan acara stasiun televisi.

Masalah intervensi kekanakan aparatur rezim Susilo Bambang Yudoyono-Jusuf Kalla dalam tayangan parodi politik di televisi, seingat saya, sudah terjadi dua kali ini. Pertama kali pada acara Republik BBM di Indosiar yang akhirnya menjadi Republik Benar-Benar Mati. Sementara pencabutan somasi sehingga Republik Mimpi kembali ke sedia kala, mengingatkan saya kepada peristiwa inkonsistenitas pemerintah melalui PP 37/2006 yang menghebohkan itu. Di sisi lain, keberadaan seorang juru bicara, Andi Malarangeng, tidak lebih dari sebuah corong berkumis belaka, sebab sebelum berdirinya rezim SBY-JK Andi pun pernah berduet (saya lupa namanya) dalam suatu acara yang mengilik-ngilik pemerintahan masa itu.

Kita kembali ke Republik Mimpi (meniru slogan Kembali ke Laptop-nya Thukul Arkatro). Pada minggu (25/3) dini hari, sekitar pkl.00.40 WIB, saya menonton siaran ulang Republik Mimpi, dan tamu saat itu adalah Menkominfo Sofyan Djalil. Kalau tidak keliru (maaf kalau keliru), Sofyan mengatakan bahwa kita harus menghormati pemimpin agar pemimpin bisa melakukan tugasnya dengan baik.

Ucapan Sofyan tersebut, menurut saya, tidak lebih dari sebuah apologi dangkal dari pewaris-pelestari budaya feodalisme (neo-feodalisme) sekaligus penganut setia faham Orbaisme. Terlepas dari persoalan ada-tidaknya intimidasi Presiden SBY atau justru suatu upaya pribadi ‘mencari muka’ agar dianggap loyal terhadap pemerintah dan tidak di-reshuffle, somasi dan ucapan serta alasan Sofyan memperlihatkan dirinya belum dewasa bersosial-politik-intelektual alias masih kekanak-kanakan.

Saya sebagai warga negara sebenarnya malu atas sikap wakil pemerintah kita yang masih kekanakan (kelihatan dewasa lewat kumis doang) tersebut, meskipun di dalamnya terdapat orang-orang bergelar bahkan melebihi sarjana strata 1. Pemerintah RI seharusnya sadar dan dewasa bahwa kehidupan berdemokrasi di Indonesia selalu menjadi sorotan dunia internasional, apalagi sekarang pasca milenium, bukan jaman megalitikum. Alih-alih penghormatan kepada pemimpin dan demokrasi ala Indonesia, arti demokrasi itu sendiri tidak dipahami dalam-dalam. Jika memang masih feodal (mendewakan/meng-ilah-kan pemimpin), kenapa ngotot membawa istilah demokrasi? Kata orang, Presiden RI 2004-2009 dari Partai Demokrat, lha kok tidak mampu mencerminkan sikap manusia demokrat itu sendiri? Apa tidak ironis?

Lucunya, Sofyan menyebut-nyebut soal income per kapita. Saya pikir, Sofyan tidak perlu repot-repot mencampur-adukkan persoalan demokrasi ala Republik Mimpi dengan income-income-an begitu untuk memperkuat argumentasi-apologinya, melainkan kejujuran dirinya sendiri atas pemahaman reformasi, demokrasi, media massa dan globalisasi, dan sejauh mana pengalaman pergaulan sosial-politik nasional-internasionalnya berimbas kepada kemampuannya menciptakan kebijakan-kebijakan yang benar-benar relevan dan signifikan (meniru istilah Jarwo Kwat) dalam situasi bangsa-negara pasca reformasi ini. Sekali lagi, saya sebagai warga negara biasa merasa malu atas ucapan Sofyan itu, meskipun pengalaman, wawasan dan income saya amat sangat jauh sekali di bawah Sofyan.

Ditambah lagi, parodi politik sama dengan panggung olok-olok pemimpin. Apakah di Amerika Serikat tidak ada olok-olok dalam koridor parodi politik? Apakah Indonesia lebih maju, makmur, dan hebat dibanding Amerika Serikat? Apakah parody politik dapat membuat Indonesia menjadi negara termelarat dan terbelakang di dunia? Sungguh-sungguh membuat saya malu. Menurut saya, yang juga seorang karikaturis kelas teri ini, parodi politik yang lebih lima belas tahun di bidang pers cetak adalah Panji Koming, Kompas Minggu. Apakah tidak ada olok-olok di situ?

Saya menduga Menkominfo Sofyan Djalil sedang mengidap paranoid atau malah parodiphobia stadium tertentu ketika menyaksikan tayangan Republik Mimpi. Bahayanya, pengidap paranoid jenis ini (semoga bukan psikopat) berada pada posisi penting-strategis dalam birokrasi komunikasi massa, sehingga dia bisa semena-mena memamerkan kumisnya untuk melakukan intimidasi dan intervensi yang anti demokrasi.

Paranoid atau parodiphobia, because what (meniru Wapres Jarwo Kwat)? Dugaan saya, dia takut masyarakat mendiskreditkan pemerintah alias presiden alias majikannya. Padahal, berapakah banyaknya penonton setia Republik Mimpi di Indonesia?

Saya bandingkan dengan tayangan Empat Mata-nya Trans 7. Sepanjang pergaulan awam saya di lingkungan sekitar kampung, sebagian besar penonton tivi (masyarakat televisi menurut istilah Garin Nugroho) di lingkup kampung saya lebih menyukai tayangan Thukul dan Empat Mata-nya Trans 7, bahkan seorang penjual jamu gendong yang selalu keliling di kampung saya bilang rugi jika tidak menyaksikan aksi Thukul Arkatro itu.

Mereka tidak begitu tertarik (mungkin karena tidak mengerti) pada parodi politiknya Republik Mimpi. Tontonan mereka pada acara-acara tivi kala Minggu malam, sepengetahuan saya, adalah sepakbola dan sinetron.

Nah sekarang, masyarakat yang manakah yang diperkirakan Sofyan sebagai penonton setia Republik Mimpi? Bukankah Sofyan Djalil tidak patut menyamaratakan segelintir masyarakat berkelas sosial tertentu dengan seluruh masyarakat umum Indonesia hanya demi menegaskan arogansi neo-feodalismenya dalam kehidupan media massa sepanjang kumis lebatnya masih dipakai oleh presiden RI ?

Sofyan Djalil pasti bukan orang pelosok rimba yang cuma berpendidikan SD dan tinggal di dalam gua bawah tanah tanpa apa-apa hingga saat ini. Artinya, sebagai salah seorang pejabat pemerintah RI pasca millennium ini, Sofyan seharusnya bisa menganalisa secara sekilas mengenai dampak negatif sosial-politik masyarakat (bukannya segelintir tapi lantas digebyah-uyahkan menjadi seluruh!) Indonesia akibat acara parodi politiknya Republik Mimpi.

Sayangnya, ketidakdewasaan sosial seorang Sofyan Djalil enggan bergumul dengan intelektualitas-rasionalitasnya sendiri. Dia sama sekali tidak menggunakan rasionalitas-nya secara optimal-mumpuni, juga tidak relevan dan signifikan (lagi-lagi meniru istilahnya Jarwo Kwat!) pasca reformasi ketika mencermati fenomena dan respon masyarakat luas (bukan secuil masyarakat lantas diklaim jadi mayoritas!) mengenai parodi politik dan Republik Mimpi.

Seharusnya Sofyan benar-benar sanggup menerka bahwa jumlah penonton Republik Mimpi bukan berarti sama banyaknya dengan penonton Empat Mata, tayangan hantu-hantu bergentayangan, dunia binatang, sinetron relijius, termasuk konsep dan sasaran masing-masing. Kemudian, mencoba membuat semacam polling pendapat mengenai tayangan Republik Mimpi tersebut di seluruh lapisan masyarakat, serta bagaimana pula tanggapan/kesukaan mereka terhadap tayangan tivi lainnya semisal Empat Mata.

Persoalan apakah masyarakat lebih membutuhkan parodi politik seperti Republik Mimpi ataukah perolokan katro seperti Empat Mata, saya pikir, tidak usah repot-repot dianalisa sampai berkeringat darah. Bukankah selama ini pun sudah jamak istilah hiburan/humor kelas jalanan, kelas kampungan, kelas jelata, kelas jelalatan, kelas gedongan, kelas intelektual, kelas majikan, kelas bawahan, dan hiburan-hiburan/humor-humor kelas lainnya?

Kalau kembali saya benturkan dengan tanggapan SBY melalui jubir-nya Andi Malarangeng bahwa SBY senang dengan adanya acara Republik Mimpi, lagi-lagi rupanya Andi dan Sofyan hanya lihai meliuk-liukkan kumis saja (sudah pakai ‘hanya’, ditambah lagi ‘saja’). Apalagi rumor calon presiden harus bertitel minimal S-1. Wow, Sarjana! Presiden Susilo Bambang Yudoyono yang bergelar doktor (S-3) bidang pertanian saja belum mampu meningkatkan swasembada beras (mantan Presiden RI Soeharto yang tidak bergelar sehebat Susilo kok malah berhasil?), masih ada rakyat yang makan nasi aking, tiwul, roti basi, dan lain-lain. Bagaimana dengan realisasi janji kampanyenya dalam bidang pendidikan dan kesehatan? Ongkos pendidikan gratis? Ongkos kesehatan gratis? Belum ditambah janji-janji untuk korban Gempa Yogya 2006 dan Lumpur Lapindo!

Apalah faedahnya gelar akademik yang ‘wah’ jika selanjutnya saya kaitkan dengan seorang Thukul Arkatro yang tidak meraih gelar akademik sarjana-sarjanaan apalagi sebutan intelektual seperti Sofyan Djalil, Andi Malarangeng, ataupun Susilo Bambang Yudoyono. Bayangkan saja, seberapa hebat Thukul Arkatro diperolok-olok, dari istilah manusiawi yang jelek, ndeso, katro sampai sangat tidak manusiawi seperti monyet, anjing bahkan jin. Olok-olok itu terjadi sejak Senin sampai Jumat, sejak epidose pertama sampai lebih seratus episode, disaksikan oleh lebih dari seribu pasang mata, dan sampai ke luar Indonesia melalui email dari manca negara, tidak membuat Thukul Arkatro menjadi gulung kumis, mutung atau ngambek, bahkan tutup mata atau bunuh diri di panggung.

Kalau Sofyan Djalil, Andi Malarangeng, bahkan seluruh anggota lembaga eksekutif, legislatif serta yudikatif berada pada posisi Thukul Arkatro, apa yang bakal terjadi di Indonesia? Kemungkinan besar terjadi somasi besar-besaran! Lha wong menyaksikan acara parodi politik seperti Republik Mimpi yang tidak berolok vulgar-ultrasarkastis saja sudah merasa kebakaran seluruh rambut-bulu.

Ternyata kadar intelektual yang didukung oleh posisi (kursi) struktural tidak menjadikan Sofyan Djalil dan kawan-kawannya obyektif, dewasa, bijaksana, apalagi moderat-demokrat. Sebaliknya, pendidikan dan jabatan justru membentuk seseorang berjiwa kerdil, lantas menuduh Republik Mimpi sebagai parodi politik berbahaya! Jelas telah terjadi kecelakaan intelektual. Titel dan kumis Sofyan Djalil tidak sebanding dengan titel dan kumis Thukul Arkatro.

Saya percaya, ini pun terkait dengan masalah mentalitas SDM. Mentalitas tahan banting. Orang semacam Sofyan Djalil tidak memiliki mental tahan banting apalagi baja seperti Thukul Arkatro. Penyebabnya hanya satu: gengsi alias kepongahan struktural kaum neo-feodalisme. Saya heran, kok Sofyan Djalil masih bisa tersenyum penuh kebanggaan sembari memamerkan kumis feodalnya sedemikian rupa. Untung saja Sofyan Djalil menjabat Menkoinfo sebelum Empat Mata-nya Thukul Arkatro muncul, sehingga Sofyan tidak diolok habis-habisan di depan banyak mata masyarakat televisi (meniru istilah Garin Nugroho lagi) dan tidak rontok kumis lebat melintangnya itu!

Seharusnya Sofyan Djalil juga para pemimpin bangsa Indonesia ini berguru mental pada Thukul Arkatro sebelum diberi kesempatan kekuatan konstitusional menjabat sebagai menteri atau pemimpin bangsa supaya tidak mengidap paranoid atau parodiphobia akut! Mbok yao parodi politik tidak disama-artikan dengan parade paranoid. Plis dong ah, kata Jarwo Kwat. Artinya, parodi politiknya Republik Mimpi sudah berada pada posisinya, dan turut membantu pendewasaan sebagian masyarakat televisi dalam berpolitik praktis. Jika kemudian Republik Mimpi atau parodi-parodi politik sejenis itu disomasi bahkan di-mampusi, niscaya para penyelenggara negara RI kelak berisi orang-orang yang tidak dewasa sosial dan bermuka baja (bukan bermental baja!) seperti halnya seorang Sofyan Djalil! Gitu aja kok repot (meniru istilah Gus Dur).

Ironis lainnya, secerdas-cerdasnya para petinggi Republik Mimpi berparodi politik berkelas intelektual, tiba-tiba ada lagi orang-orang selevel Sofyan Djalil itu, yakni 550 anggota DPR RI, tidak mau kalah keren dibanding Thukul Arkatro. Ketika kondisi keuangan negara begitu pelit plus berbelat-belit menyejahterakan rakyatnya, para wakil rakyat malah minta laptop. Owalah Gusti, lelakon opo meneh iki? Apakah ini tidak termasuk sebuah kecelakaan kultural?

Pendidikan dan jabatan tinggi didukung oleh kemampuan ber-hi-tech ternyata belum menjamin para penyelenggara negara RI ini memiliki mental tahan banting selevel Thukul Arkatro sehingga acara semacam Republik Mimpi cenderung dicurigai, dituding, distempel dan disomasi lagi sebagai acara bermuatan makar. Lagi-lagi, lembaga-lembaga negara kita ini dipadati oleh anak-anak TK (istilah Gus Dur) yang bisanya cuma mampu minta diperhatikan, diberi fasilitas enak, dan merengek atau marah jika tuntutan pribadi tak terpuaskan, marah atau ngambek kalau diolok-olok! Mampu beli mobil mewah dan pamer di Senayan, lha kok tidak mampu beli laptop sendiri. Mampu berorasi dalam bahasa intelek tentang demokrasi dan globalisasi, lha kok tidak mampu memanifestasikannya dalam berbangsa-bernegara. Inilah gawatnya mempunyai para pemimpin yang tidak bermental baja tetapi malah bermuka baja alias sudah lenyap rasa malunya kepada masyarakat, dan menganggap masyarakat hanyalah uwong ndeso bin katro, dan televisi harus bersih tanpa noda bernama parodi politik!

Masih lumayan Irsha Marshanda Sang Juru Bicara Orang Tidak Mampu di Republik Mimpi bila saya sandingkan dengan Menkominfo RI Sofyan Djalil. Kendati tuntutan peran, Irsha mampu memerankan orang yang tidak mampu. Mulai dari penampilan sampai perkataan, dia mampu menunjukkan ketidakmampuan itu, bahkan mengurus kumisnya sendiri pun Irsha tidak mampu. Suatu kejujuran yang mampu dilakonkan oleh Sang Orang Tidak Mampu secara relevan dan signifikan (meniru istilah Jarwo Kwat). Sementara Menkominfo Sofyan Djalil begitu lantang menampilkan diri sebagai seorang mampu (berpendidikan dan berposisi struktural) dengan kumis lebat melintang garang-sangar, ternyata kurang memiliki rasa malu yang memadai terhadap ketidakmampuan mendewasakan dirinya dalam pergaulan sosial-politik nasional (tidak perlu muluk-muluk dengan pergaulan internasional) di depan mata masyarakat televisi.

Dari semua realitas ironi di atas, saya sebagai warga negara yang awam (kebetulan bergelar S-1) ini jelas-jelas malu habis-habisan melihat aparatur pemerintah RI yang over-acting, petentang-petenteng pamer kumis, berkoar-koar tentang ini-itu sambil tertawa lebar semacam itu. Mirip anak TK yang di atas bibirnya dipasangkan sebuah kumis lebat. Kok ya Presiden SBY tidak memecat saja menteri atau pembantunya yang bersikap dan bersifat kekanak-kanakan begitu supaya ujung-ujungnya nanti sebagian besar masyarakat Indonesia bahkan dunia tidak menilai sikap dan sifat para pembantu presiden RI itu setali tiga uang dengan sikap dan sifat majikannya.

Menurut sebuah buku yang pernah saya baca, kedewasaan itu bukan hanya kedewasaan intelektual, melainkan pula ada kedewasaan-kedewasaan lainnya, misalnya kedewasaan spiritual, kedewasaan emosional, dan kedewasaan sosial. Korelasinya, kedewasaan intelektual bukanlah sebuah garansi mutlak nan satu-satunya ketika bergaul dengan masyarakat apalagi dalam lingkup nasional-internasional sebagai pejabat negara. Belum juga pernah menjadi presiden Amerika Serikat yang sering dituding arogan itu, baru menjadi pembantu presiden RI saja sudah kebakaran kumis sewaktu menyaksikan acara Republik Mimpi. Kalau kedewasaan tidak utuh dan mentalitas kerdil itu dipelihara sampai menjabat presiden bahkan negara RI menjadi negara besar sekalipun, apa tidak malah merontokkan kumis bahkan bulu kaki Irsha Marshanda?

Negara yang besar membutuhkan pembesar yang berjiwa besar pula, bukan anak TK atau orang bertubuh besar tapi berjiwa seupil bayi! Sayang sekali jika para pembesar negeri beserta orang-orang berkumis bak hutan lebat itu masih saja berjiwa seupil bayi dan terus saja diberi kesempatan dan kekuatan konstitusional ikut memimpin dan mengelola negara. Karena hal itu justru bisa berakibat negeri kita akan terus-menerus merangkak, maaf, berak seenaknya, dan orang-orang semacam Sofyan Djalil itu senantiasa menganggap parodi politik semacam Republik Mimpi adalah momok sekaligus mimpi buruk mereka.

Saya hakul yakin, seandainya para penyelenggara negara RI masih saja melestarikan sikap dan sifat kekanak-kanakan bin neo-feodalisme sedemikian memalukan-memilukan semacam Sofyan Djalil itu, Visi Indonesia 2030 cukup berada pada level mimpi semata, dan sebagian penggagas itu baru bisa menikmati mimpi setelah berada di dalam tanah alias mimpi abadi (semoga tidak bergentayangan menjual mimpi Visi Indonesia 2030). Tak ubahnya seorang anak TK yang sedang berdiri di depan kelas untuk mengungkapkan apa cita-citanya ketika dewasa kelak, tetapi kemudian ngambek tidak mau sekolah gara-gara diolok-olok oleh kawan-kawannya. Ini benar-benar Republik Mimpi!

Terlepas dari tanggapan saya seputar kumis-kumis kontradiktif itu, saya sempat kecewa atas perubahan nama dari Republik Mimpi ke Kerajaan Mimpi. Sewaktu Si Butet Yogya mengenakan mahkota, saya melihat seorang pemimpin badut manyun bersama badut-badut melempem berada di tengah kalangan intelektual. Kritik-kritik pun jadi kripik telo hambar. Atmosfir intimidasi begitu kuat mencengkram sel-sel otak para petinggi Kerajaan Mimpi. Ironis, kerajaan kok keok. Mendingan waktu itu menjadi Kampung Mimpi.

Berikutnya, sebagian pemain, contohnya Memet Mini, Aa’ Jimmy dan Habudi, tidak mampu berbicara secara intelek dan nakal sebagaimana kapasitas jabatan mereka. Ketika Menpasrah Memet Mini hendak memakai istilah inkonstitusional dan reshuffle, lidahnya agak kerepotan melafalkannya. Tidak relevan dan signifikan (waduh, menculik istilah Jarwo Kwat lagi!) sebagai seorang menteri. Aa’ Jimmy pun kurang berbobot memberikan nasehat spiritual yang intelek dan nakal. Habudi, meski performanya kadang mirip Habibie, agak terseok-seok dalam berbicara, apalagi kadar kenakalan intelektualnya kurang memadai.

Jelas berbanding terbalik dengan Gus Pur dan Irsha Marshanda. Gus Pur telah berhasil menjadi imitasi Gus Dur. Bicara ringan tapi akurat! Kecerdasan memang tidak perlu repot-repot bermain istilah asing, bahkan ketika dia mengetengahkan solusi 3-G serta debatnya dengan Wapres Jarwo Kwat soal sapi fiktif membuat saya terpingkal-pingkal sendirian (saya nonton seorang sendiri) di kamar! Dan untuk Irsha Marshanda sebagai Juru Bicara Orang Tidak Mampu, meski tidak repot-repot meniru tokoh penting dan kumisnya acak-kadut, justru sudah mampu tampil semampu-mampunya.

Untuk keseluruhannya, saya berharap para pemain pendukung (yang jelas kekurangannya) itu dikelola kembali dan dimatangkan lebih cerdas lagi agar bobot kritik dan humornya tidak tampak njomplang antarpemain. Peran sebagai imitasi ‘siapa’, sebaiknya betul-betul dipelajari, dan dikondisikan/disesuaikan dengan kualitas parodi politik Republik Mimpi. Sayang, ‘kan, kalau kejomplangan (iki istilah opo meneh!) tersebut dibiarkan apalagi dilestarikan untuk sebuah parodi politik sekelas Republik Mimpi?

Bravo Republik Mimpi!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar