Kamis, 19 Februari 2009

Kumis Andi dan Bunga-bunga Demokrasi *

Dalam acara Apa Kabar Indonesia bertopik “Angket BBM” di TV One pada 25 Juni 2008 pkl. 21.30 WIB setelah Presiden SBY melakukan siaran pers mengenai demonstrasi mahasiswa yang berujung ricuh dan anarkis di depan gedung DPR RI Senayan pada 24 Juni lalu, Juru Bicara Presiden RI Andi Mallarangeng mengatakan, demonstrasi adalah bunga-bunga demokrasi. Namun aksi anarkis yang menyertainya bukanlah demonstrasi karena mahasiswa tidak boleh melakukan anarki dalam berdemonstrasi. Kalau mahasiswa mewakili rakyat, “rakyat” yang mana.

Kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM memang bukan sekadar kenaikan angka rupiah ataupun dollar per barel dalam perdagangan minyak dunia. Lalu solusi yang diberikan pemerintah berupa BLT (Bantuan Langsung Tunai) dan BKM (Bantuan Khusus Mahasiswa) atas dampak-dampak kenaikan harga tersebut dipandang mahasiswa sebagai solusi yang sesaat dan tidak cerdas karena dampak-dampak kenaikan harga BBM lebih besar dan berasa dalam kehidupan rakyat yang kian terjepit persoalan ekonomi. Misalnya saja bagi mahasiswa, dampak yang dialaminya bukan hanya kenaikan biaya kuliah (SPP dan SKS), melainkan juga ongkos transportasi, peralatan kuliah, pengerjaan tugas-tugas, konsumsi, dan lain-lain.

Apa yang dialami oleh rakyat-mahasiswa, dan apa yang diperjuangkan oleh mahasiswa dengan segala resiko seperti perjalanan lintas laut sampai dipukuli aparat, ternyata tidak bisa lagi dideteksi oleh kumis Andi Mallarangeng seperti yang pernah dilakukannya ketika masih berduet dengan Prasodjo di televisi pada tahun 2000-an. Kumis Andi sudah “dibeli” (dikontrak) oleh penguasa (Presiden SBY) sehingga sensitivitas dan kapabilitasnya sudah tumpul terhadap realitas dinamika sosial-politik mahasiswa-rakyat akibat kebijakan pemerintah yang seringkali miris dan tidak populis. Duet Andi-SBY sekarang, berbeda 180 derajat dengan duet Andi-Prasodjo dulu, apalagi duet abadi mahasiswa-rakyat dalam realitas sosial-politik di Indonesia.

A. Bunga-bunga di Sela-sela Kumis Andi

Kalau Andi mengistilahkan “demonstrasi adalah bunga-bunga demokrasi”, memang tepat. Tapi kalau tidak setuju dengan aksi anarkis yang kemudian menyertai demonstrasi, jelas sudah keliru atau tidak selaras dengan istilahnya sendiri. Ataukah kepentingan penguasa yang sudah “membeli” kumis Andi itu justru membelenggu sensitivitas-sensoritas kumis Andi?

“Bunga-bunga” di sela-sela kumis Andi adalah sesuatu yang indah menawan hati dan semerbak mewangi. Padahal tidak semua bunga di Indonesia itu bentuknya indah menawan hati dan semerbak mewangi. Dan apresiasi tiap-tiap orang, baik awam maupun penggila bunga, terhadap bunga pun sebenarnya variatif. Indah menawan hati cenderung subyektif, meski sebagian orang berusaha melakukan apresiasi kolektif. Contohnya bunga tai ayam (kuning dan busuk) dan bunga bangkai (raflesia).

Selain itu, ada juga aspek-aspek lain yang tidak menjadi bagian dalam pertimbangan istilah Andi, yakni aspek wadah, lokasi, fungsi, pelakuan, dan mitos. Belum pernah terjadi setangkai bunga tai ayam dipelihara dalam pot yang bagus-mahal-mewah, dan ditempatkan dalam ruang, apalagi di ruang tamu. Belum lagi kaitan antara bunga tai ayam, fungsi, dan mitosnya.

B. Bunga Kepentingan dan Bunga Realita

Dalam ranah wajah manusia, kumis dapat diibaratkan sebagai bunga wajah yang terletak di atas bibir. Bunga wajah lainnya misalnya alis, bulu mata, bulu hidung, jambang, dan jenggot. Andi termasuk pemelihara bunga di atas bibir itu, juga Jusuf Kala, meski tidak serimbun bunga wajah Andi. Sementara SBY sama sekali tidak mau memelihara bunga wajah jenis itu. namun SBY “membeli” seorang Andi yang jelas-jelas memperlihatkan rimbunan bunga wajah.

Pembelian bunga wajah tersebut tidak terlepas dari kepentingan, yakni kepentingan Presiden SBY. Bunga wajah (kumis) Andi sudah disaksikan oleh jutaan pasang mata ketika Andi berduet dengan Prasodjo dalam bincang-bincang politik tahun 2000-an. SBY memanfaatkan publisitas kumis Andi dengan cara “mengontrak”-nya sebagai juru bicara kepresidenan untuk satu periode kekuasaan SBY, bersanding dengan segelintir kumis Jusuf Kalla sebagai wakil presiden. Sejak saat itulah idealisme kumis Andi berpindah ke “udelisme” kepentingan penguasa alias semena-semena dalam memerintah.

Pergeseran dari idealisme menjadi udelisme sudah sering terjadi di Republik Munafik ini. Realita memperlihatkan bahwa tidak seluruh eksponen 66 atau para aktivis mahasiswa 1966 yang menjungkalkan rezim ORLA benar-benar menjalankan idealisme hingga saat ini (2008). Kalau seorang Arief Budiman tetap konsisten dan konsekuen menjalankan idealismenya tanpa mengalami cedera kredibilitas, tidak demikian dengan seorang Akbar Tanjung. Entah bagaimana pula dengan mantan aktivis mahasiswa 66 lainnya, juga mantan aktivis mahasiswa 1998.

Ada bunga-bunga kepentingan yang seiring dengan tumbuh dan berkembangnya bunga-bunga realita. Konsistensi selalu diperhadapkan dengan konsekuensi. Idealisme harus berhadapan dengan udelisme yang membudaya dan terbudidaya. Pergeseran nilai pun tidak bisa dihindari tapi harus diantisipasi sebelum kredibilitas dan integritas diri menjadi bias atau terkikis. Itulah bunga-bunga realitas yang tidak bisa diseragamkan atau didiktekan oleh kepentingan penguasa. Seperti halnya “bunga wajah” Andi, yang terkondisikan oleh kepentingan penguasa sehingga membutuhkan perlakuan sebagaimana sebagai juru bicara presiden yang jauh berbeda dari “bunga wajah” preman terminal.

C. Bunga-bunga Demokrasi dan Realita Dinamika Sosial

Barangkali bunga-bunga yang tumbuh di sela-sela kumis Andi Mallarangeng terdiri dari tiga jenis bunga saja: mawar merah, melati putih, dan anggrek kalajengking. Apakah sebenarnya sejak jaman dulu memang begitu adanya, ataukah sekarang tinggal segitu ketika lahan kumisnya dikontrak pemerintah selama lima tahun. Yang jelas, sekarang kelihatan cuma segitu. Tidak ada bunga tai ayam, bunga bangkai, bunga sepatu, bunga sedap malam, bunga lili, bunga teratai, bunga kenanga, bunga kamboja, bunga bougenvile, bunga anyelir, dan lain-lain.

Demikian pula dengan “bunga-bunga demokrasi” dalam istilah Andi untuk sebuah demonstrasi. Dari apa yang pernah disaksikan oleh Andi tentang dunia demonstrasi, rupa-rupanya rerimbunan kumisnya hanya mampu menangkap kesan bahwa demonstrasi melulu dilakukan oleh sekelompok orang yang berduyun-duyun menuju suatu tempat atau sudah berada di suatu tempat, mereka membawa spanduk, megafon, dan berteriak-teriak, lalu bubar jalan. Lantas dengan penuh percaya diri dan senyum kebanggaan, Andi menggunakan istilah “bunga-bunga” untuk demonstrasi yang rapi-tertib, menolak “bunga-bunga” yang bernama anarki.

Harap dimaklumi, sekali lagi, barangkali sejak dulu bunga-bunga di sela kumis Andi hanya berkisar pada mawar, melati, dan anggrek kalajengking. Atau barangkali sekarang jenisnya tinggal segitu setelah lahan kumisnya dikontrak pemerintah selama satu periode (5 tahun). Entahlah apakah kelak (setelah tidak dikontrak lagi) berdampak atau tidak terhadap khasanah wacana sosial-politik Indonesia. Dan, maklumi saja, tiap-tiap orang memiliki kebanggaan yang berbeda terhadap hasil berpikirnya, baik yang independen, in the president, in the parlemen, maupun in the-in the lainnya. Tapi tulisan ini tidak sedang membahas kebanggaan siapa-siapa semacam itu.

Kalau Andi mengistilahkan demonstrasi sebagai “bunga-bunga demokrasi”, sungguh lucu lagi kalau demonstrasi dalam realitas dinamika sosial-politik disatuartikan dengan “unjuk rasa; pertunjukan cara-cara penggunaan suatu alat; pamer”, atau katakanlah “demonstrasi itu seperti halnya demonstrasi memasak ibu-ibu PKK”. Padahal demonstrasi yang kontekstual dengan kenaikan harga BBM adalah “tindakan bersama untuk menyatakan protes”.

Demonstrasi dalam hal ini adalah “tindakan bersama untuk menyatakan protes”. Tidak perlu pula diidentikkan dengan dialog apalagi diplomasi, yang biasanya dilakukan secara formal-tertib. Demonstrasi juga bukan debat atau diskusi. Apakah sekarang (sejak kumisnya dikontrak pemerintah) Andi malah lupa pada arti demonstrasi, debat, diskusi, diplomasi, dialog ataupun berunding?

Sama halnya dengan bunga-bunga yang bentuk, jenis, warna, wangi, fungsi, ataupun mitosnya yang beraneka dan bukan hanya mawar, melati dan anggrek kalajengking, Andi tidak pantas menafikkan realitas dinamika sosial bahwa anarki memungkasi aksi demonstrasi mahasiswa. Justru Andi sewajibnya menganalisa kembali, latar belakang anarki senantiasa terjadi, dan mengapa mahasiswa terpaksa melakukan anarki setelah demonstrasi.

Pengaruh kolonial Belanda masa lalu ternyata bercokol di sela kumis Andi. Oh ya? Belanda selalu memanfaatkan diplomasi (berunding) untuk tetap menancapkan kuku imperialisme di Indonesia. Sekarang Andi mengharapkan begitu, tidak anarki. Rakyat Indonesia tidak mau begitu sebab pengalaman masa lalu penguasa selalu mengakali rakyat. Mahasiswa bisa mengerti karena juga oleh pelajaran sejarah di sekolah. Penguasa sekarang tidak beda jauh dengan penguasa Belanda, tampaknya.

Mahasiswa tidak mau percaya begitu saja pada apologi dan diplomasi pemerintah karena mahasiswa bukan kaum idiot yang dikarantina dalam sebuah taman bunga milik Andi Mallarangeng. Mahasiswa seringkali melihat dan mendengar penderitaan rakyat, baik secara langsung di lapangan maupun melalui media massa. Dan idealisme berbangsa-bernegara telah diselewengkan oleh udelisme sekelompok pengelola negara. Tidak ada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tidak ada kemakmuran yang signifikan. Pendidikan dan kesehatan gratis tidak konsisten. Korupsi, kolusi, nepotisme, pungli, kekerasan dan lain-lain tetap berlaku dan lebih terorganisir. Sekelompok orang terbahak-bahak di atas penderitaan rakyat. Begitulah realitasnya!

D. Anarki

Dalam sebuah kamus, anarki adalah 1) tidak ada undang-undang, tata tertib dan pemerintahan; 2) kekacauan (dalam negara); 3) kesewenang-wenangan. Pada point 3, kesewenang-wenangan, siapa yang sesungguhnya telah sewenang-wenang? Kebijakan BBM termasuk kesewenang-wenangan pemerintah karena selama ini keuntungan finansial dari eksploitasi minyak bumi, ekspor-impor, hingga gratis menggunakan BBM hanya dinikmati oleh segelintir orang. Kelangkaan dan penimbunan BBM pun dilakukan secara terorganisir oleh sekelompok orang dan aparat. Ujung-ujungnya rakyat dikorbankan demi udelisme orang-orang itu.

Anarki dalam demonstrasi adalah salah satu cara untuk menggedor ketulian pemerintah atas kebijakan yang hanya menyengsarakan rakyat. Dan aksi tersebut merupakan ekses yang lazim terjadi. Bukan sesuatu yang baru. Tumbangnya rezim ORLA tahun 1966 dan ORBA tahun 1998 merupakan hasil hubungan intim antara demonstrasi dan anarki yang dilakukan oleh mahasiswa, yang didukung oleh rakyat.

Berdasarkan pengalaman sejarah masa lampau, mahasiswa menyadari bahwa diplomasi atau dialog hanya menjadi “bunga mawar” penguasa untuk tetap menusuk rakyat dengan duri-duri di batangnya. Dialog tidak pernah menjadi masukan penting untuk mengubah kebijakan yang terlanjur digelontorkan. Maka anarki dilakukan untuk menegaskan realitas bahwasannya negara ini bukanlah milik penguasa (presiden dan partai-partai pendukungnya) saja melainkan harus menghargai posisi rakyat sebagai elemen terpenting dalam realitas berbangsa-bernegara di Indonesia. Idealisme berbangsa-bernegara telah diselewengkan oleh udelisme sekelompok pengelola negara.

Mahasiswa juga melihat pergeseran dari idealisme menjadi udelisme tersebut dalam realitas berbangsa-bernegara yang dilakoni pula oleh partai-partai politik yang bercokol di Senayan. Pergeseran yang sudah keterlaluan sehingga harus diperingatkan lagi. Kalau suara mahasiswa (yang notabene lebih sering membaur dengan jeritan sengsara rakyat) tidak mendapat tempat yang layak dalam rasionalitas dan hati nurani para politikus partai, maka suara dentuman pagar roboh dan ledakan bom molotov kiranya cukup lumayan untuk menggedor jendela Senayan, juga jendela kaca salon langganan Andi merawat kumisnya..

Setuju atau tidak, sesungguhnya anarki adalah “bunga-bunga demokrasi” juga, seperti tahun 1966 dan Reformasi 1998. Dan 24 Juni 2008 hasilnya terbukti lagi, yakni dari Hak Interpelasi menjadi Hak Angket. Hak Angket pernah menjadi batu sandungan Presiden Gus Dur tahun 2002 lalu menaikkan Megawati sebagai Presiden. Mungkin kumis Andi menangkap kecenderungan akan terulangnya kejadian tahun 2002 tersebut sebagai realitas dinamika sosial yang signifikan, meski Andi berusaha cengengas-cengenges di layar televisi sambil menuding bahwa partai-partai yang setuju atas Hak Angket merupakan upaya kampanye partai menjelang PEMILU 2009.

Keberadaan bunga-bunga realita tersebut selaras dengan semaraknya bunga-bunga kepentingan, baik kepentingan eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Tetapi harus diingat, bukan bunga-bunga kepentingan lembaga-lembaga tersebut yang harus dinomorsatukan melainkan bunga-bunga kepentingan rakyatlah yang harus didahulukan karena sesungguhnya dalam demokrasi rakyat adalah mayoritas. Bahkan, apabila tidak ada perubahan bagi kepentingan rakyat, revolusi adalah niscaya dan semoga saja terjadi.

Seorang Andi Mallarangeng pun harus kembali menyadari hal itu, selain konsistesi sebuah idealisme bukan sebatas acara obrolan politik bersama Prasodjo di televisi yang ujung-ujungnya udelisme (karena dikontrak presiden) tetap menjadi prioritas dengan menafikkan kepentingan rakyat. Kalau Andi sudah memiliki ongkos untuk merawat kumisnya di salon demi tampil di televisi untuk menyampaikan bunga kepentingan Presiden SBY, rakyat sudah tidak punya biaya untuk mencukur atau merawat kumis karena biaya kebutuhan pokok sudah terlalu mencekik ditambah kenaikan harga BBM.

Maka dari itu, aksi anarkis yang menindaklanjuti demonstrasi seharusnya tetap menjadi catatan khusus bagi Andi tentang dunia bunga, bahwasannya bunga realita dan bunga-bunga demokrasi bukanlah sekadar mawar, melati, dan anggrek kalajengking saja, tetapi juga bunga-bunga jenis lainnya seperti bunga tai ayam, bunga bangkai, bunga lili, bunga sepatu, bunga kamboja, bunga kenanga, bunga bougenvile, bunga anyelir, bunga sedap malam, bunga teratai, dan lain sebagainya di bumi Indonesia ini.

***

Rawa Buaya, 25 Juni 2008

*) ditulis oleh kader GOLPUT yang tidak suka memelihara bunga wajah bernama kumis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar