Kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM memang bukan sekadar kenaikan angka rupiah ataupun dollar per barel dalam perdagangan minyak dunia. Lalu solusi yang diberikan pemerintah berupa BLT (Bantuan Langsung Tunai) dan BKM (Bantuan Khusus Mahasiswa) atas dampak-dampak kenaikan harga tersebut dipandang mahasiswa sebagai solusi yang sesaat dan tidak cerdas karena dampak-dampak kenaikan harga BBM lebih besar dan berasa dalam kehidupan rakyat yang kian terjepit persoalan ekonomi. Misalnya saja bagi mahasiswa, dampak yang dialaminya bukan hanya kenaikan biaya kuliah (SPP dan SKS), melainkan juga ongkos transportasi, peralatan kuliah, pengerjaan tugas-tugas, konsumsi, dan lain-lain.
Apa yang dialami oleh rakyat-mahasiswa, dan apa yang diperjuangkan oleh mahasiswa dengan segala resiko seperti perjalanan lintas laut sampai dipukuli aparat, ternyata tidak bisa lagi dideteksi oleh kumis Andi Mallarangeng seperti yang pernah dilakukannya ketika masih berduet dengan Prasodjo di televisi pada tahun 2000-an. Kumis Andi sudah “dibeli” (dikontrak) oleh penguasa (Presiden SBY) sehingga sensitivitas dan kapabilitasnya sudah tumpul terhadap realitas dinamika sosial-politik mahasiswa-rakyat akibat kebijakan pemerintah yang seringkali miris dan tidak populis. Duet Andi-SBY sekarang, berbeda 180 derajat dengan duet Andi-Prasodjo dulu, apalagi duet abadi mahasiswa-rakyat dalam realitas sosial-politik di
A. Bunga-bunga di Sela-sela Kumis Andi
Kalau Andi mengistilahkan “demonstrasi adalah bunga-bunga demokrasi”, memang tepat. Tapi kalau tidak setuju dengan aksi anarkis yang kemudian menyertai demonstrasi, jelas sudah keliru atau tidak selaras dengan istilahnya sendiri. Ataukah kepentingan penguasa yang sudah “membeli” kumis Andi itu justru membelenggu sensitivitas-sensoritas kumis Andi?
“Bunga-bunga” di sela-sela kumis Andi adalah sesuatu yang indah menawan hati dan semerbak mewangi. Padahal tidak semua bunga di
Selain itu, ada juga aspek-aspek lain yang tidak menjadi bagian dalam pertimbangan istilah Andi, yakni aspek wadah, lokasi, fungsi, pelakuan, dan mitos. Belum pernah terjadi setangkai bunga tai ayam dipelihara dalam pot yang bagus-mahal-mewah, dan ditempatkan dalam ruang, apalagi di ruang tamu. Belum lagi kaitan antara bunga tai ayam, fungsi, dan mitosnya.
B. Bunga Kepentingan dan Bunga Realita
Dalam ranah wajah manusia, kumis dapat diibaratkan sebagai bunga wajah yang terletak di atas bibir. Bunga wajah lainnya misalnya alis, bulu mata, bulu hidung, jambang, dan jenggot. Andi termasuk pemelihara bunga di atas bibir itu, juga Jusuf Kala, meski tidak serimbun bunga wajah Andi. Sementara SBY sama sekali tidak mau memelihara bunga wajah jenis itu. namun SBY “membeli” seorang Andi yang jelas-jelas memperlihatkan rimbunan bunga wajah.
Pembelian bunga wajah tersebut tidak terlepas dari kepentingan, yakni kepentingan Presiden SBY. Bunga wajah (kumis) Andi sudah disaksikan oleh jutaan pasang mata ketika Andi berduet dengan Prasodjo dalam bincang-bincang politik tahun 2000-an. SBY memanfaatkan publisitas kumis Andi dengan cara “mengontrak”-nya sebagai juru bicara kepresidenan untuk satu periode kekuasaan SBY, bersanding dengan segelintir kumis Jusuf Kalla sebagai wakil presiden. Sejak saat itulah idealisme kumis Andi berpindah ke “udelisme” kepentingan penguasa alias semena-semena dalam memerintah.
Pergeseran dari idealisme menjadi udelisme sudah sering terjadi di Republik Munafik ini. Realita memperlihatkan bahwa tidak seluruh eksponen 66 atau para aktivis mahasiswa 1966 yang menjungkalkan rezim ORLA benar-benar menjalankan idealisme hingga saat ini (2008). Kalau seorang Arief Budiman tetap konsisten dan konsekuen menjalankan idealismenya tanpa mengalami cedera kredibilitas, tidak demikian dengan seorang Akbar Tanjung. Entah bagaimana pula dengan mantan aktivis mahasiswa 66 lainnya, juga mantan aktivis mahasiswa 1998.
C. Bunga-bunga Demokrasi dan Realita Dinamika Sosial
Barangkali bunga-bunga yang tumbuh di sela-sela kumis Andi Mallarangeng terdiri dari tiga jenis bunga saja: mawar merah, melati putih, dan anggrek kalajengking. Apakah sebenarnya sejak jaman dulu memang begitu adanya, ataukah sekarang tinggal segitu ketika lahan kumisnya dikontrak pemerintah selama
Demikian pula dengan “bunga-bunga demokrasi” dalam istilah Andi untuk sebuah demonstrasi. Dari apa yang pernah disaksikan oleh Andi tentang dunia demonstrasi, rupa-rupanya rerimbunan kumisnya hanya mampu menangkap kesan bahwa demonstrasi melulu dilakukan oleh sekelompok orang yang berduyun-duyun menuju suatu tempat atau sudah berada di suatu tempat, mereka membawa spanduk, megafon, dan berteriak-teriak, lalu bubar jalan. Lantas dengan penuh percaya diri dan senyum kebanggaan, Andi menggunakan istilah “bunga-bunga” untuk demonstrasi yang rapi-tertib, menolak “bunga-bunga” yang bernama anarki.
Harap dimaklumi, sekali lagi, barangkali sejak dulu bunga-bunga di sela kumis Andi hanya berkisar pada mawar, melati, dan anggrek kalajengking. Atau barangkali sekarang jenisnya tinggal segitu setelah lahan kumisnya dikontrak pemerintah selama satu periode (5 tahun). Entahlah apakah kelak (setelah tidak dikontrak lagi) berdampak atau tidak terhadap khasanah wacana sosial-politik
Kalau Andi mengistilahkan demonstrasi sebagai “bunga-bunga demokrasi”, sungguh lucu lagi kalau demonstrasi dalam realitas dinamika sosial-politik disatuartikan dengan “unjuk rasa; pertunjukan cara-cara penggunaan suatu alat; pamer”, atau katakanlah “demonstrasi itu seperti halnya demonstrasi memasak ibu-ibu PKK”. Padahal demonstrasi yang kontekstual dengan kenaikan harga BBM adalah “tindakan bersama untuk menyatakan protes”.
Demonstrasi dalam hal ini adalah “tindakan bersama untuk menyatakan protes”. Tidak perlu pula diidentikkan dengan dialog apalagi diplomasi, yang biasanya dilakukan secara formal-tertib. Demonstrasi juga bukan debat atau diskusi. Apakah sekarang (sejak kumisnya dikontrak pemerintah) Andi malah lupa pada arti demonstrasi, debat, diskusi, diplomasi, dialog ataupun berunding?
Sama halnya dengan bunga-bunga yang bentuk, jenis, warna, wangi, fungsi, ataupun mitosnya yang beraneka dan bukan hanya mawar, melati dan anggrek kalajengking, Andi tidak pantas menafikkan realitas dinamika sosial bahwa anarki memungkasi aksi demonstrasi mahasiswa. Justru Andi sewajibnya menganalisa kembali, latar belakang anarki senantiasa terjadi, dan mengapa mahasiswa terpaksa melakukan anarki setelah demonstrasi.
Pengaruh kolonial Belanda masa lalu ternyata bercokol di sela kumis Andi. Oh ya? Belanda selalu memanfaatkan diplomasi (berunding) untuk tetap menancapkan kuku imperialisme di
Mahasiswa tidak mau percaya begitu saja pada apologi dan diplomasi pemerintah karena mahasiswa bukan kaum idiot yang dikarantina dalam sebuah taman bunga milik Andi Mallarangeng. Mahasiswa seringkali melihat dan mendengar penderitaan rakyat, baik secara langsung di lapangan maupun melalui media
D. Anarki
Dalam sebuah kamus, anarki adalah 1) tidak ada undang-undang, tata tertib dan pemerintahan; 2) kekacauan (dalam negara); 3) kesewenang-wenangan. Pada point 3, kesewenang-wenangan, siapa yang sesungguhnya telah sewenang-wenang? Kebijakan BBM termasuk kesewenang-wenangan pemerintah karena selama ini keuntungan finansial dari eksploitasi minyak bumi, ekspor-impor, hingga gratis menggunakan BBM hanya dinikmati oleh segelintir orang. Kelangkaan dan penimbunan BBM pun dilakukan secara terorganisir oleh sekelompok orang dan aparat. Ujung-ujungnya rakyat dikorbankan demi udelisme orang-orang itu.
Anarki dalam demonstrasi adalah salah satu cara untuk menggedor ketulian pemerintah atas kebijakan yang hanya menyengsarakan rakyat. Dan aksi tersebut merupakan ekses yang lazim terjadi. Bukan sesuatu yang baru. Tumbangnya rezim ORLA tahun 1966 dan ORBA tahun 1998 merupakan hasil hubungan intim antara demonstrasi dan anarki yang dilakukan oleh mahasiswa, yang didukung oleh rakyat.
Berdasarkan pengalaman sejarah masa lampau, mahasiswa menyadari bahwa diplomasi atau dialog hanya menjadi “bunga mawar” penguasa untuk tetap menusuk rakyat dengan duri-duri di batangnya. Dialog tidak pernah menjadi masukan penting untuk mengubah kebijakan yang terlanjur digelontorkan. Maka anarki dilakukan untuk menegaskan realitas bahwasannya negara ini bukanlah milik penguasa (presiden dan partai-partai pendukungnya) saja melainkan harus menghargai posisi rakyat sebagai elemen terpenting dalam realitas berbangsa-bernegara di
Mahasiswa juga melihat pergeseran dari idealisme menjadi udelisme tersebut dalam realitas berbangsa-bernegara yang dilakoni pula oleh partai-partai politik yang bercokol di Senayan. Pergeseran yang sudah keterlaluan sehingga harus diperingatkan lagi. Kalau suara mahasiswa (yang notabene lebih sering membaur dengan jeritan sengsara rakyat) tidak mendapat tempat yang layak dalam rasionalitas dan hati nurani para politikus partai, maka suara dentuman pagar roboh dan ledakan bom molotov kiranya cukup lumayan untuk menggedor jendela Senayan, juga jendela kaca salon langganan Andi merawat kumisnya..
Setuju atau tidak, sesungguhnya anarki adalah “bunga-bunga demokrasi” juga, seperti tahun 1966 dan Reformasi 1998. Dan 24 Juni 2008 hasilnya terbukti lagi, yakni dari Hak Interpelasi menjadi Hak Angket. Hak Angket pernah menjadi batu sandungan Presiden Gus Dur tahun 2002 lalu menaikkan Megawati sebagai Presiden. Mungkin kumis Andi menangkap kecenderungan akan terulangnya kejadian tahun 2002 tersebut sebagai realitas dinamika sosial yang signifikan, meski Andi berusaha cengengas-cengenges di layar televisi sambil menuding bahwa partai-partai yang setuju atas Hak Angket merupakan upaya kampanye partai menjelang PEMILU 2009.
Keberadaan bunga-bunga realita tersebut selaras dengan semaraknya bunga-bunga kepentingan, baik kepentingan eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Tetapi harus diingat, bukan bunga-bunga kepentingan lembaga-lembaga tersebut yang harus dinomorsatukan melainkan bunga-bunga kepentingan rakyatlah yang harus didahulukan karena sesungguhnya dalam demokrasi rakyat adalah mayoritas. Bahkan, apabila tidak ada perubahan bagi kepentingan rakyat, revolusi adalah niscaya dan semoga saja terjadi.
Seorang Andi Mallarangeng pun harus kembali menyadari hal itu, selain konsistesi sebuah idealisme bukan sebatas acara obrolan politik bersama Prasodjo di televisi yang ujung-ujungnya udelisme (karena dikontrak presiden) tetap menjadi prioritas dengan menafikkan kepentingan rakyat. Kalau Andi sudah memiliki ongkos untuk merawat kumisnya di salon demi tampil di televisi untuk menyampaikan bunga kepentingan Presiden SBY, rakyat sudah tidak punya biaya untuk mencukur atau merawat kumis karena biaya kebutuhan pokok sudah terlalu mencekik ditambah kenaikan harga BBM.
Maka dari itu, aksi anarkis yang menindaklanjuti demonstrasi seharusnya tetap menjadi catatan khusus bagi Andi tentang dunia bunga, bahwasannya bunga realita dan bunga-bunga demokrasi bukanlah sekadar mawar, melati, dan anggrek kalajengking saja, tetapi juga bunga-bunga jenis lainnya seperti bunga tai ayam, bunga bangkai, bunga lili, bunga sepatu, bunga kamboja, bunga kenanga, bunga bougenvile, bunga anyelir, bunga sedap malam, bunga teratai, dan lain sebagainya di bumi Indonesia ini.
***
Rawa Buaya, 25 Juni 2008
*) ditulis oleh kader GOLPUT yang tidak suka memelihara bunga wajah bernama kumis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar