Kamis, 19 Februari 2009

Imperialisme Atas Negeri Sendiri

“Siapa pun yang menghadang langkah kami untuk membajak, saya tembak di tempat !” ancam seorang komandan marinir yang dikutip dalam kesaksian Mukhtar (34 thn) sehari sebelum Alas Tlogo Pasuruan dilanda hujan peluru mariner pada 30 Mei 2007. Maka 35 tembakan dilepaskan. Mereka menuai empat nyawa rakyat, dan melukai tujuh orang (dari rakyat) lainnya. Dan di televisi dalam sebuah siaran pers, seorang komandan bilang, pasukannya terancam. Tembakan peringatan telah dilakukan sebelumnya.

Benarkah rakyat mengancam, kawan? Dengan senjata apa? Sedangkan tentara, yang memegang senjata canggih, kok tiba-tiba merasa terancam? Koran Tempo menulis, “Lembaga Bantuan Hukum Surabaya membenarkan adanya tanda-tanda perencanaan atas insiden penembakan di Alas Progo, Pasuruan, Jawa Timur.”

Kawan, apakah rakyat yang merencanakan akan menembak, apalagi menembaki tentara? Menembak kepalamu itu! Lha wong rakyat tidak punya bedil, kok merencanakan penembakan. Lantas, siapa yang merencanakan penembakan jika bukan dari para pemegang bedil?

Mereka adalah marinir, prajurit angkatan laut. Tapi rakyat bukan bajak laut. Bukan perompak. Bukan marinir asing. Bukan pula kawanan hiu pemangsa. Betul begitu, kawan? Anehnya, ketika marinir naik ke darat, rakyat dianggap sebagai bajak darat. Apa karena marinir terlalu lama di laut, mabuk laut, sehingga kaget melihat daratan? Oh ya! Makanya rakyat ditembaki seperti memerangi bajak laut.

Apa yang kau bayangkan tentang Indonesia, tentang tentara, tentang pengayom rakyat dan pembela negara?

Indonesia, si Zamrud Khatulistiwa. Negeri Nusantara, kata Koes Plus. Letakkan kayu dan batu, jadilah tanaman. Betapa subur. Seluruh mineral (bahan tambang) dunia ada di sini. Kaya. Bahkan satu tingkat di bawah surga. Hingga jadi fokus nafsu kaum imperialisme. Kau juga paham, kan? Tapi imperialisme mutakhir itu adalah sebagian orang Indonesia sendiri terhadap Indonesia sendiri!

Dan tentara, prajurit, serdadu, pasukan bersenjata. Entah apa lagi sebutan yang kau bisa tambahkan. Mereka diindoktrinisasi sebagai pembela tanah air, siap berperang untuk menyelamat negeri dari cengkeraman imperialisme asing. Pokoknya, heroik banget gitu lho. Seolah tidak ada yang lebih peduli menjaga negeri ini kecuali tentara. Bukan saya, juga kau. Aih!

Saya hanya melihat brigade psikopat berseragam yang sedang berkuasa. Petentang-petenteng membawa senjata seolah memamerkan kekuasaan tanpa batas dan menakut-nakuti rakyat. Mungkin tentara, kalau mengambil istilah National Geographic, bagian dari gladiator makro, yang tercipta sebagai pemangsa (built for the kill). Bedil adalah senjata andalan seolah mereka budak senjata.

Sementara lainnya adalah budak penguasa dan pengusaha. Contoh nyata, Tragedi Trisakti dan Semanggi yang menewaskan beberapa mahasiswa, tapi kalangan penguasa bilang, tidak ada kasus pelanggaran HAM. Hak asasi masih bukan harga mati bagi setiap insan. Hak hidup bukan milik seluruh rakyat Indonesia. Lantas, begitulah yang terjadi ketika para psikopat dipersenjatai. Sebab inilah Indonesia, Republik Munafik dan Negeri Ironi.

Peluru nyasar? Alasan klasik. Membela diri, juga klasik. Fakta memperlihatkan lubang-lubang hasil tembakan peluru, bukan hasil kerja kumbang pelubang kayu. Gus Dur bilang, “Jangan membohongi rakyat.” Dalih peluru nyasar memang senantiasa diumbar oleh korps bersenjata. Padahal arah moncong senjata tidak vertikal, ke angkasa atau ke perut bumi. Moncong mesiu itu selalu mengarah horizontal, ke tubuh manusia. Moncong aparat bisa bohong, tapi moncong senjata tidak mungkin berkilah. Peluru yang bersarang di tubuh korban adalah bukti kejujuran senjata sekaligus kebohongan pemegang senjata.

Apa kau masih akan terus percaya bahwa orang-orang bersenjata itu betul-betul melindungi rakyatnya?

Terserah apa yang kau percaya terhadap penguasa beserta aparatnya, kawan. Saya tak akan pernah memaksamu untuk mempercayai atau meragukan mereka. Dan memang saya tak punya daya apa-apa untuk mempengaruhimu, kawan. Kita manusia merdeka, kata orang. Bebas memilih, kata orang. Bebas mempercayai atau meragukan, kata orang. Yang terjadi adalah kenyataan. Seperti Tragedi Semanggi, Trisakti. Mungkin Tanjung Priok masa lalu. Lihat, musuh negara adalah rakyatnya sendiri! Ironis?

Apa boleh buat. Lebih 30 tahun saya tinggal di Negeri Ironi ini. Di sini rakyat selalu jadi tumbal kekuasaan, kepentingan orang-orang berkuasa, juga tumbal kesewenang-wenangan. Tentara yang dulu berkoalisi dengan rakyat untuk melawan imperialisme asing, kini tak lebih dari alat imperialisme kapitalis-sarkastis dan berbalik, memusuhi rakyat sebab rakyat tidak pernah bisa membuat mereka hidup mewah dan nikmat.

Orang bilang, Indonesia itu satu tingkat di bawah surga. Intinya : menyenangkan. Tapi kalau tidak punya kekayaan dan jaminan nikmat, apalah arti menyenangkan itu, kan? Nah. Sebagian besar orang Indonesia pengen selalu bisa menikmati kenikmatan hidup, termasuk tentara. Kebetulan punya bedil. Bedil bisa bikin menggigil lalu harta pun terpanggil. Harta adalah jalan raya menuju kenikmatan hidup. Dengan hidup nikmat, terasa seperti di surga. Mungkin begitu. Bukankah hidup di dunia ini cuma satu kali, kawan? Kenapa kita menikmati semua yang ada selagi hidup di dunia? Siapkan bekal untuk hidup di alam baka nanti? Ah, mana tahu alam baka itu seperti apa. Memangnya kau pernah ke alam baka? Cuma dari cerita orang? Ah, kau masih juga percaya cerita orang. Alami sendiri dulu, baru kau pantas bercerita. Iya, kan? Faktanya, tidak semua mantan tentara bisa leluasa menikmati hidup hanya dari uang pensiun.

Mungkin kau berpikir bahwa saya anti tentara. Well, kau boleh berprasangka sesuka hatimu terhadap saya apalagi saya terang-terangan mengatakan bahwa saya seorang GOLPUT. Saya jujur bahwa posisi saya tetap kritis pada penguasa beserta antek dan kroninya. Tidak seperti ketua umum PAN yang mencla-mencle soal dukungan terhadap pemerintah SBY-JK, dan kini memilih bebas dan kritis pasca DKP itu. Juga menarik kembali dukungan terhadap Sarwono menuju PILKADA DKI, dan mengalihkan dukungan kepada Fauzy Bowo, wakil guberrnur DKI. Orang-orang itu mengklaim membawa amanat nasional, padahal cuma amanat sebagian orang Indonesia. Saya jujur mengatakan bahwa saya membawa amanat saya sendiri, tidak perlu ditambah dengan amanat keluarga, kawan, kolega, atau mitra usaha saya.

Apakah saya anti tentara? Mungkin kau tidak tahu, ayah saya adalah mantan tentara pelajar di Madiun. Beliau lahir pada tahun 1929 di Madiun, Jawa Timur. Belanda masih mencengkeram. Umur belasan tahun beliau jadi tentara pelajar, tapi tidak pernah menembaki pelajar atau rakyat sendiri. Waktu itu masih jaman penjajahan Jepang. Berjuang dari Madiun, Magetan, Malang, dan Surabaya sambil tetap menjadi pelajar sekolah teknik.

Beliau berkisah tentang bandara Maospati alias Iswahyudi. Ketika pesawat tempur Belanda berpatroli, tidak ada pesawat Indonesia nampak. Tapi ketika pesawat Belanda pergi, pesawat tempur Indonesia muncul dari bawah tanah. Pertempuran di kebun tebu, persawahan, dan lain-lain. Hidup hanya bertarung dengan nasib. Dan lepas dari mulut macan, masuk ke mulut buaya. Jepang dengan Dai Nippon-nya. Saudara tua yang sejatinya adalah buaya, ketika itu. Ayah masih sempat berlatih perang dan bahasa Jepang.

Jepang hengkang, Belanda datang lagi dengan membonceng pasukan NICA alias sekutu untuk kembali menguasai Indonesia. Agresi Belanda I dan II. Ayah masih tentara pelajar. Belajar dan berperang. Hasil belajar di sekolah pun kebakaran alias banyak merahnya! Kau bisa bayangkan, seberapa nikmatnya duduk menimba ilmu di antara deru peluru dan desing kematian. Sayangnya, surat-surat bukti ketentaraan beliau telah hangus, terbakar dalam suatu insiden di sebuah kebun tebu. Tahun 1953, atas tawaran pemerintah RI ketika itu, beliau memilih tugas di Sungailiat, Bangka Belitung sebagai guru di sekolah teknik. Akhir tahun 1980-an beliau pensiun dari guru SMP Maria Goretti dan STM Sungailiat. Kini beliau hanya menyisakan kisah tanpa pernah menikmati tunjangan pensiun dalam barisan Legiun Veteran.

Imperialisme asing, yakni Belanda dan Jepang, merupakan kisah nyata yang dialami ayah saya. Ibunda saya yang lahir tahun 1939 di Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah juga mengalami masa imperialisme asing menduduki negeri. Kala itu, masa remaja, ibunda turut bekerja di dapur umum. Memberi makanan bagi pasukan pro kemerdekaan RI. Beliau berdua berkisah tentang masa-masa mencekam itu ketika saya masih kanak-kanak. Jadi, orangtua saya dulu juga bersinggungan langsung dengan dunia tentara alias prajurit.

Kawan, tak habis-habisnya saya bersyukur kepada Pemberi Hidup, bahwa ayah yang kini berusia 77 tahun masih sehat dan bisa menikmati keriuhan unggas peliharaan di rumah sambil membuat perabotan. Masih bisa menikmati hasil pengabdian beliau sebagai guru (Guru Sekolah Teknologi Sungailiat, Sekolah Menengah Pertama Maria Goretti Sungailiat, dan Sekolah Teknik Menengah Sungailiat, Bangka Induk), yang salah satunya adalah mantan muridnya yang kini menjadi Gubernur Bangka Belitung Periode 2007-2012 Eko Mulyana Ali, yang juga dari Angkatan Laut. Belum lagi mantan murid-muridnya lainnya, termasuk sebagian anak-anak warga Tionghoa yang kini berbisnis di Ibukota.

Sedangkan ibunda, sejak merantau ke pulau Bangka tahun 1960 hingga saat ini, masih berjuang demi kemanusiaan. Pertama-tama sebagai tenaga paramedis di sebuah rumah sakit swasta di Toboali (Bangka Selatan), Sungailiat (Bangka Induk), dan menjadi bidan di sebuah klinik bersalin di Sungailiat. Juga masih melayani tetangga sekitar rumah kami yang sedang mengalami sakit ringan. Kesehatan adalah penting bagi kelanggengan hidup. Bukan begitu, kawan?

Dan kini giliran saya berjuang setelah sekian puluh tahun gelora proklamasi dikumandangkan oleh Bung Karno-Bung Hatta. Tidak memakai kata tentara apalagi berembel-embel pelajar ataupun nasional. Saya tidak perlu mendekati Eko Mulyana Ali, baik ketika selama dua periode menjadi Bupati Bangka Induk maupun kini sebagai Gubernur Bangka Belitung, untuk menjadikan saya sebagai pegawai negeri sipil di Bangka Induk maupun Bangka Belitung.

Saya pejuang kesunyian dalam keramaian omong kosong orang-orang tentang nasionalisme dan patriotisme yang ujung-ujungnya justru merongrong kemerdekaan rakyat melakoni hidup. Saya tidak berjuang apa-apa untuk kehidupan rakyat Indonesia. Saya pun tidak akan berjuang alias menuntut jaminan pesangon apa-apa dari pemerintah RI untuk memperhatikan masa pensiun ayah saya. Kami sudah terbiasa berjuang untuk hidup, bukan untuk mengemis belas kasihan penguasa negeri ironi ini atas nama veteran. Sebab, sekali lagi, saya seorang pejuang sunyi.

Seorang pejuang sunyi tidak pernah menuntut gaji, tunjangan, asuransi, pesangon, gaji pensiun, atau fasilitas gratis ini-itu. Pejuang sunyi tidak peduli seberapa besar jasa atau gegap gempita gelar para penguasa beserta aparat bersenjatanya. Seorang pejuang sunyi hanya memahami bahwa sesungguhnya hidup ini nonsens, walaupun kemeriahan dan pesta selebrisi ini-itu selalu berseliweran bersama desing-desing mesiu di liang telinganya. Tidak ada perjuangan yang dikehendakinya menjadi sebuah upacara kenegaraan untuk mengenang jasa-jasanya. Jasa-jasanya adalah nonsens karena seorang pejuang sunyi tidak pernah mengharapkan imbalan berupa jasa yang kelak hanya menjadikannya takabur. Dan seorang pejuang sunyi tidak menuntut adanya pembelaan atau bala bantuan dalam perjuangannya. Kau mau pro atau kontra pada perjuangan saya, suka-suka kau saja. Ayah saya sendiri belum tentu mendukung perjuangan saya yang selalu sunyi sekaligus nonsens begini. Bahkan, nama saya amat sangat jauh sekali di bawah keharuman nama ayah saya di Bumi Serumpun Sebalai!

Memang kisah perjuangan ayah kini sebatas kisah heroik fiktif yang sampai kini sering saya mintai beliau ceritakan. Saya tidak bosan mendengar kisah itu diulang-ulang karena memang sangat terasa atmosfir nasionalisme orang-orang masa itu. Beliau pun begitu berang jika bendera merah-putih tidak dikibarkan pada masa dirgahayu negeri. Apalagi jika bendera buluk masih saja dikibarkan semalam suntuk. Sebab beliau ingat sekali peristiwa Merah Putih di Hotel Yamato, Surabaya. Sementara saya bingung soal bendera dan tentara, terlebih ketika reformasi Mei 1998 hingga tragedi Alas Tlogo 30 Mei 2007. Merah Putih dikibarkan, peperangan terhadap rakyat dikobarkan. Inilah kenyataan di Negeri Ironi : aparat memerangi rakyat sendiri; hukum memenjarakan rakyat yang tidak punya banyak uang, dan di penjara para aparat menjadi tukang palak sekaligus berbisnis narkoba.

Kawan, setiap melihat kesewenang-wenangan aparat sampai sikap overacting para pamong praja, saya selalu berkhayal, andai rakyat boleh memiliki senjata seperti yang dimiliki tentara. Ya, andai rakyat juga punya senjata canggih seperti yang dimiliki tentara. Sekalian saja perang dengan sesama, seperti polisi versus polisi, polisi versus tentara. Sekalian saja hancur bersama. Agar tak ada yang merasa jadi korban atau jagoan, pecundang atau pemenang. Agar keadilan memang nyata di depan mata. Agar kita bisa melupakan imperialisme asing, dan jasa-jasa para pahlawan. Sebab penjajah paling keji justru dari bangsa sendiri.

Ironis memang. Bukankah marinir itu seharusnya kian bersatu dengan rakyat, mengingat bahaya kapal perang asing yang diam-diam bisa menyusup dan mengancam teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia, terlebih pasca perjanjian Ekstratradisi RI-Singapura baru-baru ini? Apakah marinir RI takut berkontak senjata dengan marinir asing, lantas memilih memberondong rakyat yang tak bersenjata seperti marinir asing? Kok sampai begitu ya? Apakah kau pikir tanpa keberadaan rakyat, Bung Karno-Bung Hatta bisa teriak lantang bilang Proklamasi 1945 atas nama Rakjat Indonesia? Bung Karno kan pernah bilang, “JAS MERAH, JAngan Sekali-sekali MElupakan SejaRAH“. Apakah sajian laut telah merusak ingatan para marinir itu? Kalau begitu, mending sebelum ke darat, senjata para marinir itu dilucuti dulu ketika kapal hendak merapat ke darat agar tidak seenak hatinya mengumbar peluru untuk bersosialisasi dengan orang darat.

Sebagian orang beragama mengatakan, Tuhan tidak tidur, setan suka lembur, dan insan sering takabur. Bila pengadilan manusia dikelola oleh manusia-manusia pemuja kemunafikan, Pengadilan Langit tidaklah demikian, menurut sebagian kalangan beragama tersebut. Setan adalah saksi-saksi yang tidak akan berdusta karena para pembinasa dan pendusta adalah sekutu setianya. Yang menabur peluru akan menuai neraka. Dan tidak ada peluru nyasar di neraka. Api yang menyala memang sejak semula telah direncanakan untuk melahap para pendusta dan pembinasa sesama. Tidak ada yang akan terhindari. Maka, silakan teruskan menembaki rakyat sendiri jika memang kelak ingin sepuasnya menikmati kemeriahan nyala api yang tak pernah reda itu.

Saya berjanji, tidak akan mendoakan keselamatan akhirat untuk kematian para pembinasa sekaligus pendusta itu meski prosesi pemakamannya diiringi upacara kenegaraan semeriah apa pun! Kalian yang menentukan pilihan hidup sebagai pemusuh rakyat, pemusnah massa. Saya tidak pernah mendukung kalian menjadi pasukan pembinasa rakyat. Gelar kalian yang jenderal, kolonel, purnawirawan, sersan, letnan, prajurit atau apa pun, tidak akan membuat lutut saya bertekuk dan tangan saya menadah grasi dari Pengadilan Langit.

Doa saya yang paling tulus hanya tersimpan dalam sanubari, bukan untuk saya jajakan di sini, kawan. Sebab bagi saya, gelar keprajuritan adalah nonsens meski mereka bersusah-payah meraihnya. Hidup adalah proses menjadi manusia, bukan segudang gelar non-manusiawi, binatang pemangsa apalagi pemangsa sesama alias homo homini lupus. Kalau kalian memang memilih hidup menjadi pembinasa, ya terserah kalian. Suka-suka kalian. Mau jadi manusia ataukah binatang pemangsa sesama, ya terserah kalian. Saya jelas-jelas tidak sudi berkawan dengan pemangsa sesama. Darah itu merah, Jenderal!

Terakhir, apakah kau masih ingat fabel kancil dan buaya, kancil dan harimau? Dulu, kancil merupakan prototipe rakyat, dan buaya atau harimau adalah kolonial alias penjajah asing. Kancil selalu menang dengan kecerdikannya. Itu dulu. Itu fabel. Hanya ada dalam buku dongeng anak-anak. Kenyataannya, kancil selalu jadi mangsa. Rakyat selalu jadi korban. Hukum hanya melindungi penguasa dan pemilik banyak uang. Peluru berpihak kepada kezaliman dan kebatilan kendati tidak seenaknya melesat dan disebut nyasar bila pelatuknya tidak disentuh si pemegang senjata yang ternyata pasukan psikopat. Oleh sebab ini Negeri Ironi, apa pun yang terjadi adalah tetap ironi. Imperialisme ternyata dilakukan oleh anak negeri sendiri. Ironi yang miris dan tragis tapi malah menjadi upacara kenegaraan yang manis dan magis bagi penguasa dan korps psikopat bersenjata.

*******

Gang Jablay, awal Juni 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar