Kamis, 19 Februari 2009

Kasus DKP = GILA !

Tahun 1992, pertama sekaligus terakhir kali saya ikut kampanye PEMILU. Konvoi dan coblos. Merah. Bukan kuning atau hijau. Pasca PEMILU, dari kegiatan gila baca (saya berlangganan majalah Humor, Tempo, dan Forum Keadilan) dan penerawangan berkali-kali sampai PERISTIWA 27 JULI 1996, saya memperoleh satu pilihan (hidup adalah pilihan) dalam rangka peduli kepada NKRI, yakni MEMILIH TIDAK MEMILIH alias netral alias Golongan Putih (GOLPUT). Sekali lagi, GOL-PUT, bukan GOLKAR.

Tahun 1999 adalah PEMILU era REFORMASI 1998. Dari konsolidasi, koalisi, konspirasi dan kon- lainnya, ketika Amien Rais memiliki kekuatan penuh didukung segala macam argumentrasi (argumen-trasi?) orang-orang yang bersatu dalam Poros Langit, terjegallah Megawati yang jelas-jelas meraup angka mutlak untuk menyingkirkan kandidat capress dari partai lainnya. Kian mantap pilihan saya untuk tidak mendukung partai mana pun, terkecuali jika ada anggota tim sukses capres yang berani mengontrak (kontrak politik) saya seumur hidup untuk mendukung partainya yaitu memberi uang sebesar Rp. 50 juta per bulan seumur hidup saya. Ini money politic?

Apa pun istilah kerennya, saya tidak usah berdusta sekaligus munafik untuk mengakui bahwa saya juga butuh uang untuk hidup juga hura-hura ke luar negeri, bukan melulu bikin alasan studi banding, atau seperti pentolan partai besar dan pemenang PEMILU yang bisa mengantongi banyak uang dari sana-sini hingga tidak habis dimakan di liang lahat. Sama-sama terjamin secara material, adil, kan?

Alangkah adilnya lagi jika banyak rakyat Indonesia mau mengajukan proposal kontrak politik dengan mencantumkan hal-hal finasial dan, pantaslah proposal tersebut disetujui oleh tim sukses, karena rakyat rela berjalan jauh, berbondong-bondong, berpanas-panas, berpawai-pawai demi sebuah kampanye partai, lantas meraih jaminan kemakmuran dalam arti sebenarnya, bukan janji-janji pepesan kosong para orator partai politik. Sudah pasti sesuai dengan sila kelima, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.”

Barangkali ada aktivis partai berpikir, “Kontrak politik? Memang siapa orang ini?” Saya memang bukan siapa-siapa di mata aktivis tersebut. Tapi sadarilah, aktivis partai tersebut juga bukan siapa-siapa bagi saya, biarpun orang-orang di seluruh dunia mengenalnya sebagai aktivis partai yang hebat dan segala macam prestasinya. Prinsip saya, selagi dia masih manusia biasa maka dia tidak memiliki kehebatan apa-apa. Sama-sama makan nasi, bukan besi baja atau minum lumpur LAPINDO. Kalaupun dia punya prestasi ini-itu dan disegani banyak kawan maupun lawan, tetaplah dia bukan siapa-siapa bagi saya! Saya bukan siapa-siapa bagi dia, begitu pula dia bukan siapa-siapa bagi saya. Adil, kan?

Mengapa sebuah kontrak politik sangat penting, selain tragedi reshuffle kabinet yang menimpa tetangga saya, Yusril Ihza Mahendra? Bukankah kontrak politik bisa bertendensi komersialisasi-kapitalisasi politik yang jelas-jelas tidak etis? Apa pun pendapat orang, saya terlanjur berprasangka bahwa politik di Indonesia mutakhir adalah komersialisasi partai atau kapitalisasi politik. Intinya: UANG. Uang adalah panglima. Dalam struktur organisasi sebuah negara republik munafik, tidak sedikit politikusnya adalah abdi uang, bukan abdi negara apalagi Abdi, mantan rekan saya di pers mahasiswa dulu.

Terkuaknya kasus DKP (Dana Kampanye Pemilu dari Departemen Kelautan dan Perikanan) pada kampanye PEMILU 2004 yang dibintangi oleh mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri dan mantan capres 2004 Profesor Doktor Amien Rais, tidak lain merupakan Dampak Komersialisasi Partai (Dampak Kapitalisasi Politik) Demi Kepentingan Personal. Disebut juga nama PKS (Partai Keadilan Sejahtera). Betapa busuk bin laknatlah partai-partai yang sarat tipu muslihat, menjual derita rakyat sambil menjanjikan keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran bagi rakyat! Dan memang, dustalah selama ini jikalau partai-partai – terlebih yang sudah gemuk bin gembul – berpihak kepada kepentingan publik.

Yang tak kalah menjijikkan, masih juga ada orang-orang terkait yang bersikukuh dengan pendiriannya sebagai pendusta (Dasar Keturunan Penyamun!). Mungkin begitulah dulu orangtuanya, kakek-neneknya, saudara-saudaranya, guru-gurunya, dan tokoh agamanya (sayang sekali tidak ada politikus di Indonesia yang berani mengaku : aku politikus atheis) memberi didikan : demi kenikmatan hidup yang hanya satu kali di dunia ini, berdustalah engkau selagi usia masih panjang dan bertaubatlah selagi ada secuil sisa usia, sebab Sang Maha Khalik adalah Maha Pengampun.

Anehnya, ada sebagian tokoh intelektual bilang, “Salurkan aspirasi Anda ke partai yang Anda percayai sudi menampung aspirasi Anda.” Aneh bagi saya. Apakah memang seluruh petinggi serta kader partai bersedia menampung aspirasi Anda untuk mengutamakan itikad bersih, jujur, adil, tidak KKN? Mungkin Anda merupakan warga negara yang patut disebut baik dan benar dalam mengamalkan Pancasila secara murni dan konsekuen. Tapi, bagaimana dengan mereka-mereka itu? Suara Anda akan berpengaruh dahsyat, mereformasi partai?

Bangunlah dari mimpi yang menyesatkan, seolah-olah Anda adalah seorang Nabi bahkan jelmaan Malaikat Jibril di partai itu atau di dunia ini. Sadarlah, Anda bukan Nabi apalagi Malaikat Jibril! Sekarang bukan jaman para Nabi, melainkan para babi yang mengutip-utip ucapan Nabi. Mereka-mereka pun bukan umat yang taat di dunia walakherat. Suara Anda hanya seperti jeritan si bisu dalam hingar-bingar house music di sebuah diskotik. Aspirasi Anda kalah mujarab dengan sebutir tablet aspirin yang dijual di toko obat!

Anehnya lagi, beberapa orang partai bersabda selayaknya baru ketiban wahyu Ilahi, “Apabila seseorang tidak ikut mencoblos dalam PEMILU alias GOLPUT, dia BUKAN WARGA NEGARA INDONESIA YANG BAIK DAN BENAR.” Waduh-waduh, ayat keramat dari kitab suci mana itu ya? Kenapa tidak ditambah dengan kalimat “Apabila Anda mencoblos suatu partai maka surga adalah ganjaran patut untuk Anda sejak saat mencoblos”?

Bangunlah dari mimpi, kata Republik Mimpi. Jangankan kebahagiaan surga kelak sekaligus abstrak itu, lha wong bagi-bagi sekian persen kekayaan si pentolan partai saja tidak pernah ada, terlebih keadaan di dunia ini tidak lebih enak dibanding neraka jahanam! Kenyataannya, orang Indonesia yang memilih hidup di Indonesia sebagai warga negara yang sungguh-sungguh baik dan benar (sesuai keyakinan agama masing-masing) itu cenderung hidupnya melarat atau agak sederhana. Tidak melakukan pungli, baik terang-terangan (langsung) maupun terselubung (alasan prosedur birokrasi yang tidak jelas aturannya!). Tidak menuntut bonus ini-itu. Tidak menipu. Dan lain-lainlah.

Atau, mari kita berhitung bersama, ada berapa banyak warga negara Indonesia yang berpartai politik itu yang sungguh-sungguh hidup secara baik dan benar itu sebagaimana seharusnya warga negara Indonesia. Kalau sebagian saja dari mereka masih menjunjung tinggi prinsip hidup yang tidak baik apalagi benar dalam berpolitik praktis atas nama warga negara Indonesia, janganlah menakut-nakuti orang lain tentang hidup sebagaimana layaknya, apalagi dikaitkan dengan berpartai. Lihat para korban lumpur Lapindo, korban-korban kerusuhan Mei 1998, dan lain-lain! Apakah korban-korban itu pernah memilih hidup secara demikian miris? Siapa yang telah menghancurkan hak pilih hidup korban-korban itu? Apakah para pelaku adalah dari golongan saya, GOLPUT? Ambil contoh, korban-korban lumpur Lapindo. Pada PEMILU 2004 lalu, mungkin seluruh atau sebagian besar dari mereka adalah pencoblos bagi sebuah partai, bukan seperti saya yang GOLPUT ini. Tapi apa yang mereka peroleh? Lumpur panas! Siapakah orang-orang kuat di LAPINDO, yang sama sekali sudah mati rasa perikemanusiaannya itu? Orang GOLPUT-kah?

Hei, bung. Hidup adalah pilihan. Mencoblos atau tidak, itu salah satu pilihan. Lho, katanya semua orang bebas memilih? Memilih yang sudah ada? Mau milih antara yang sudah ada, yang belum ada, yang akan ada, bahkan yang tidak ada pun, kan, terserah. Jika yang sudah ada untuk dipilih itu ternyata tidak dipercayai satu pun oleh seseorang, apakah salah kalau orang tersebut tidak memilih?

Sebaliknya, para pembiak partai sewajibnya berpikir, kenapa ada orang yang tidak bisa mempercayai satu partai pun, atau tidak mau memilih satu partai pun. Saya ibaratkan, di Tanah Indonesia ada sebuah food court yang tersebar di seluruh pelosok negeri. Aneka jenis makanan ditawarkan. Bahkan ada kafe, kedai, resto berembel-embel internasional. Pokoknya ok’s banget. Namun saya tidak tertarik makan di salah satu kafe di sana. Saya setia makan di warteg di dekat rumah saya. Salahkah pilihan saya?

Ibaratnya lagi, Anda diperhadapkan pada makanan : nasi goreng, pizza, hamburger, nasi jagung, sagu (pepeda), bakso nuklir (ada di Tangerang) atau soto lapindo (mungkin masih sedang akan diusahakan), tapi Anda ingin makan nasi putih dengan lalap buncis serta sambal petis. Anda bersalah karena mempertahankan keinginan atau selera makan Anda itu? Anda akan masuk neraka karena tidak mau memilih apa yang sudah dan sedang akan disediakan itu?

Apakah berdosa berhadiah neraka jika seseorang tidak mencoblos dalam suatu pagelaran PEMILU? Tuhan saja memberi pilihan : mau taat atau bejat; pilih Partai Surga ataukah Partai Neraka. Dan untuk pilihan apa pun itu, selalu ada ganjarannya. Apa dan kapan, terserah Sing Nggawe Urip. Misalkan sekarang Anda tidak bersembahyang, mungkin karena khilaf akibat gemas-gregetan-gerah membaca tulisan saya ini. Lantas apakah seketika itu juga hak hidup Anda di dunia ini dirampok Tuhan dan Anda langsung menjalani kewajiban tinggal di neraka?

Bagaimana dengan manusia, orang Indonesia, yang sedang berada pada masa kampanye menjelang PEMILU? Ya itu tadi. Belum waktunya acara coblos-mencoblos, sudah keburu dicap BUKAN WARGA NEGARA YANG BAIK DAN BENAR bila tidak memilih. Fiuh! Di Indonesia, orang yang baik-benar bisa diciduk-dipenjara dengan alasan dibuat-buat atau kemudian bebas dengan alasan salah orang (ada yang malah kena peluru nyasar lalu tewas padahal moncong senjata diarahkan langsung ke tubuh korban!), sedangkan yang licik-salah bisa ongkang-ongkang atau statusnya narapidana tapi bisa bolak-balik penjara-dugem asalkan berani membayar banyak. Bandingkan antara koruptor dan maling ayam. Bandingkan antara si pelaku-peserta kasus DKP dan maling HP.

Demikian Kenyataan Politik di Indonesia. Sungguh keterlaluan para pengusaha partai dalam bisnis politik di Indonesia. Jual-beli kandidat alias politik dagang sapi, menghambur-hamburkan uang negara-rakyat untuk sebuah pesta pora yang sama sekali tidak menyentuh hajat hidup masyarakat Indonesia selama beberapa tahun ke depan. Orang-orang partai duduk manis pringas-pringis di MPR, DPR dan pemerintahan (birokrat) ternyata hanya ingin berkubang dalam lumpur uang setelah nama rakyat berikut kesengsaraannya dijual dan laris manis ketika karnaval kampanye! Kian miris kalau dana-dana itu bersumber dari utang luar negeri yang masuk buku APBN!

Dan orang-orang kecil yang berkonvoi-konvoi (setelah dibuai kata “pesta demokrasi“), berpanas-panas, bahkan hingga bentrok dengan kelompok pendukung partai lainnya, pada akhirnya mendapatkan apa? Kemakmuran? Atau, lumayan? Orang-orang yang duduk enak dalam jajaran (pengusaha) elit politik bisa leluasa menikmati kenikmatan hidup, namun rakyat tetap pada kodratnya : korban. Makan nasi aking, tiwul, berdesakan di kawasan rentan kebakaran, kelaparan, kehilangan tempat tinggal dan sawah akibat kebijakan pembangunan yang selalu mengorbankan rakyat, dan lain-lain. Yang tetap bisa menikmati hidup dengan segala fasilitas serba menggiurkan?

Demikian pula ketika yel-yel partai rakyat dikumandangkan ke seantero pelosok, semua hanyalah euforia yang menyesatkan kenyataan. Semacam candu. Janji-janji adalah ganja atau morfin. Bunga surga, kata orang. Ketika janji disuntikkan, halusinasi, fatamorgana, mimpi, khayalan, atau sejenisnya segera menyergap akal sehat. Partai gurem yang tampil dengan segenggam puataw janji pun tak juga sadar diri. Maklum, pengusaha partai gurem juga melek duit. Bisa melihat keuntungan material masa depan. Sebab konspirasi politik Indonesia hanya selalu berlabuh di pantai uang dengan fasilitas pendukung berupa rumah kelas atas, gadis-gadis, barang mewah, hiburan, dan sekitarnya. Juga konspirasi politik bukan sekadar panggung topeng monyet. Kamuflase hukum dan kekerasan adalah kaki tangan mereka. Kalau masih ada partai kelas gurem yang tetap idealis, perjuangannya selalu menuai angin bahkan mati!

Sedikit usulan. Apabila sebuah partai gurem tidak memiliki dana murni untuk sebuah kegiatan promosi partai, tidak usahlah pamer besar-besaran atas nama kampanye. Apalagi jika partai gurem tersebut memang bervisi luhur demi kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Kenapa baru jadi gurem saja sudah berani jual diri seperti istilah Ciblek (Cilik Betah Melek)? Lucunya lagi, saking kurang pede (percaya diri)-nya, beberapa partai kutu kupret berkoalisi dengan partai-partai gajah bengkak. Supaya bisa ikut lantang dalam sebuah paduan suara? Ikut paduan suara berarti kompromi terhadap keputusan partai gemuk nan busuk.

Berkoalisinya si kutu kupret dengan gajah bengkak justru memantulkan jiwa benalu dalam diri kutu kupret. Dasar benalu, habitatnya hanya mendompleng. Sudah begitu, masih juga bangga bikin pesta. Gembel tapi nggaya. Tidak punya prinsip, sikap, integritas, karakter, dan rasa malu kepada diri sendiri. Terlibat kasus DKP, malah sembunyi. Sudah makan nangka, masih saja bilang makan angin. Kalau memang tidak mampu berbuat apa-apa, tidak usah membangun partai kutu kupret. Jujur saja bilang, “Gue ikut kapal pesiar lu aja deh, biar gue juga bisa nggaya dalam berpesta, berpawai dan bertamasya.” Pernah melihat sepucuk perahu kayu milik nelayan sedang berlayar dan menjala ikan dari dek atas sebuah kapal induk, nggak? Memang sih, di mana-mana benalu tidak pernah bisa punya rasa malu.

Saya, meski dari GOLPUT begini, tidak lantas bangga bersorak-sorai keliling kampung hingga kota atas nama kampanye. Tidak nekat bikin arak-arakan, dan tidak pula nekat membuka rekening di media massa. Jujur bahwa saya sama sekali tidak punya dana apa-apa untuk berkampanye. Jangankan bikin selembar spanduk pendek untuk kampanye, beli makan sehari-hari saja terkadang saya masih utang di warteg! Biarpun begitu, saya aman dari kasus DKP. Kalaupun kelak saya dipanggil dan ditanya soal ada-tidaknya keterlibatan saya dalam kasus tersebut, saya pasti akan jujur bahwa saya sama sekali tidak pernah tahu apalagi menerima Dana Kepada Partai itu! (Saya justru mau minta 0,005 % saja deh untuk bayar utang saya di warteg). Tapi ini bukan epigon atas pengakuan Amien Rais lho ya.

Kejujuran Amien Rais mengenai DKP tersebut disambut sanjungan dari banyak orang yang masih mencintai kejujuran demi tegaknya bendera Indonesia di tanah sendiri. Apakah saya turut terharu biru? Tunggu dulu.

Saya punya catatan pribadi tentang seorang guru besar UGM itu. Tahun 1998 beliau berdiri di tengah gemuruh euforia Reformasi yang menumbangkan Bapak Pembangunan Soeharto dari kursi kepresidenan. Lantas orang-orang menjulukinya: Bapak Reformasi Indonesia. Selanjutnya beliau berkampanye sebagai capres dalam PEMILU 1999 dari Partai Amanat Nasional (PAN), namun hasilnya meleset, menjadi ketua MPR RI periode 1999-2004.

Awalnya berkampanye sebagai capres, kok malah meleset ke ketua MPR? Sebagai seorang politikus sekaligus cendikiawan, beliau tentu paham sekali mengenai potensi kedudukan antara MPR dan Presiden; Lembaga Tinggi Negara dan Lembaga Tertinggi Negara; siapa Pemberi Mandat dan siapa Pelaksana Mandat. Tapi mengapa beliau justru ngotot membidik kursi presiden, seolah-olah kekuasaan presiden adalah tertinggi dan mutlak, di atas MPR? Bukankah dengan semangat menyala-nyala sebagai Bapak Reformasi beliau seharusnya ngotot menjadi ketua MPR yang bisa menegur presiden jika kebijakan pemerintah tidak berpihak kepada rakyat Indonesia?

Demikian Kenyataan Politik di Indonesia, bahwa dalam masa jabatan 5 tahun kekuasaan presiden lebih signifikan dibanding ketua MPR! Belum lagi persoalan sumber pendapatan di luar gaji pokok presiden. Benar atau salah dugaan saya ini, terserah pemikiran orang. Yang jelas, sasaran tembak beliau meleset, dan terduduk di kursi ketua MPR. Sah? Sah!

Sah pula ketika riuh rendah para wakil rakyat menghitung perolehan suara atas tiga kandidat : Megawati Soekarnoputri, Abdurahman Wahid, dan Hamzah Haz. Tapi ketika kenyataan membuktikan Megawati secara sah terpilih sebagai presiden RI berdasarkan pemilihan yang jujur dan adil di hadapan beliau, saksi-saksi langsung maupun para pemirsa televisi se-Indonesia dan dunia, keabsahan Megawati diangulir oleh beliau beserta Poros Langit-nya. Maka diangkatlah Abdurahman Wahid alias Gus Dur sebagai Presiden dan Megawati Soekarnoputri sebagai Wakil Presiden. Sah? Sah menurut beliau dan kawan-kawannya. Bagi saya, TIDAK SAH, walaupun saya dari GOLPUT.

Ketidaksahan tersebut berlanjut pada perseteruan antara beliau dan Gus Dur. Beliau yang mengesahkan lalu mengangkat Gus Dur, kenapa kemudian berseteru di depan publik? Salah siapa? Gus Dur yang selalu bergurau, ataukah Amien Rais yang selalu berambisi? Bagi saya, salah beliau, kenapa berkonspirasi memungkiri serta mengingkari hasil PEMILU yang jelas-jelas secara sah memenangkan Megawati sebagai presiden terpilih, malah memilih Gus Dur. Sudah jelas tidak sah, malah nekat melakukan manuver ini-itu. Buktinya: beliau mem-PHK Gus Dur, dan menaikkan posisi (mengembalikan hak sah) Megawati sebagai presiden. Sah? Sah menurut beliau dan kawan-kawannya. Menurut saya, hari ini ngotot bilang tempe, besoknya ngaku kedele. Mencla-mencle Pak Rais ini! Beli tempe di Pondok Gede. Cape deh!

Rupanya kekalahan di PEMILU 1999 tidak diinsyafi oleh beliau sebagai kenyataan kehendak (takdir) Ilahi bahwa sampai Hari Raya Kecoak pun beliau tidaklah pantas menjadi presiden RI. Beliau masih penasaran. Pada kampanye PEMILU 2004 beliau nekat mencalonkan diri kembali sebagai presiden RI untuk periode 2004-2009. Masih dengan partai-nya, PAN. Ngeyel tenan, bocah Slemania iki!

Untuk mendukung kekuatan politiknya, beliau merangkul Siswono. Siapa Siswono itu? Tentu Siswono bukan orang sembarangan (tidak seperti saya, orang sembarangan) yang dirangkul oleh beliau. Pada musim kampanye inilah beliau ikut menikmati Duah Khuldi Persetan sampai menjadi berita menghebohkan saat ini. Dasar sudah nasib, lagi-lagi beliau gagal menjadi presiden. Gagal maning, gagal maning (ucapan si Kentang di sinetron Tuyul dan Mbak Yul). Entah dengan mengantongi perasaan apa, kemudian beliau kembali ke kampusnya, UGM.

Nah, bagaimana dengan DKP alias Dendang Kantong Partai yang tiba-tiba dinyanyikan beliau sebagai backing vocal? Sebagian kalangan menyebut beliau: jujur dan polos. Pada akhir tulisan Dana Kampanye di halaman 2 Koran Tempo edisi 20 Mei 2007, Putu Setia bilang, “Saya bangga Pak Amien kembali ke habitatnya, dunia yang jauh dari kemunafikan.” Benarkah begitu sejatinya?

Saya terkesan pada tulisan Putu Setia dari awal hingga “pujian” itu. Berikut saya cuplikkan:

1. Apa yang akan terjadi seandainya dalam pemilu presiden 2004 yang lalu pasangan Amien Rais dan Siswono yang menang? (Begitu kalimat pembukanya pada paragraf pertama).

2. Kalau Amien yang memenangi pemilu presiden, saat ini pasti dia akan jatuh dari kursi kepresidenan. Penyebabnya, ia menerima dana kampanye Rp 200 juta dari mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri. Partainya juga menerima dana yang sama. Ini menyalahi ketentuan,...(paragraf ketiga).

3. Kalau Amien jadi presiden, akankah ia mengaku menerima uang Rp 200 juta dari Rokhmin Dahuri? (paragraf keempat).

Lebih terkesan lagi pada kalimat terakhir tadi. Pak Amien kembali ke habitatnya, dunia yang jauh dari kemunafikan. Ya, sungguh-sungguh menambah keterkesanan saya. Kenapa beliau baru mau mengaku justru ketika Rokhmin Dahuri diperiksa? Kalau tidak ada pengusutan kasus DKP, apakah beliau akan diam-diam saja dan sungguh-sungguh jujur, padahal undang-undang menyebutkan dana kampanye yang diterima dari seseorang atau lembaga tidak boleh lebih dari Rp 100 juta dan itu pun mesti dilaporkan kegunaannya? Angka yang diperoleh beliau adalah Rp. 200 juta! Lha wong 100 saja tidak boleh, ini malah dua kali lipat. Lucunya, alasan beliau, ternyata dana itu bukan uang halal. Oh!

Pak Amien kembali ke habitatnya, dunia yang jauh dari kemunafikan? Mungkin betul begitu. Apakah itu berarti juga, sebelum kasus DKP itu terkuak atau selama 2,5 tahun ini, beliau ke luar dari habitatnya alias munafik? Mungkin Putu Setia justru tengah membuat suatu efeumisme untuk tidak langsung menyebutkan bahwa Amien Rais baru sekarang, Mei 2007 ini jujur dan tidak munafik. Lha bagaimana Amien Rais pada 2,5 tahun sebelumnya bahkan mungkin lebih dari 2,5 tahun?

Kalau itikad beliau sejatinya polos dan jujur dalam berpolitik praktis, niscaya tawaran DKP itu ditolak beliau mentah-mentah! Saya menduga, melalui pengakuan tersebut Amien Rais justru sedang melakukan suatu manuver politik di balik kesan polosnya. Apakah melalui “pengakuan dosa” itu beliau mau menjatuhkan SBY-JK yang telah mengatasnamakan Indonesia untuk menyetujui Resolusi DK PBB atas proyek nuklir Iran? Atau, beliau berancang-ancang untuk kembali mencalonkan diri sebagai presiden pada PEMILU 2009 nanti?

Di samping Amien Rais dan PAN-nya, masih ada capres-capres dan tim sukses dari partai lainnya yang juga menikmati DKP. Tapi, sebagaimana kejujuran dan kemunafikan dalam pilihan kata Putu Setia, orang-orang itu tetap bersikukuh tidak mau mengaku sejujurnya alias munafik. Di antaranya malah melakukan serangan balik melalui akrobat dialektika, “Ada upaya untuk menjatuhkan presiden SBY.” Waowaowaowaowaowaow!! Bisa jadi mereka memang berjiwa munafik, dan betah tinggal sekaligus berkembang biak di habitat itu. Mungkin saja dunia kemunafikan dan kebohongan merupakan habitat asli mereka.

Beginilah integritas badut-badut partai di Indonesia pasca Reformasi 1998 atau kerusuhan Mei 1998 yang menenggak darah bahkan nyawa rakyat. Suatu ironi atas bangsa yang berketuhanan-berperikemanusiaan-bersatu-berkrakyatan-berkeadilan yang begitu fasih menghujat negara-negara Barat, Amerika Serikat dan sekutu jauh-dekatnya sebagai sekutu setan, tetapi dikelola sepenuhnya oleh bani munafikun yang tak ayal memetamorfosa bentuk negara menjadi Republik Munafik. Suatu ironi yang sungguh-sungguh gila. Ya, satu kata saja: GILA! Atau tambah dua kata lagi, ORANG-ORANG GILA!

Saya bersyukur bahwa pilihan saya tidaklah keliru (meleset) : tidak mendukung, tidak memilih orang maupun partai mana pun sebelum kasus DKP, dan itu berarti pula bahwa SAYA WARAS KETIKA MEMILIH GOLPUT. Apakah saya GILA juga MUNAFIK kalau menghendaki sebuah kontrak politik jika ada tawaran bergabung dengan tim sukses dari sebuah partai politik untuk kampanye PEMILU 2009 hingga pemilu-pemilu seterusnya? Kalau partainya kalah dalam perolehan suara, jelas bukan salah saya. Melainkan memang kehendak Tuhan jualah. Semoga bukan Tim Kesehatan Rumah Sakit Jiwa yang mendatangi saya, menawarkan kontrak politik sembari mengajukan iming-iming DKP, Demi Kesembuhan Pasien.

--- o0o ---

20 Mei 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar