Kamis, 19 Februari 2009

Orang Miskin Dilarang Hidup di Indonesia




portugis belanda inggris sudah pergi

bung karno hatta sudah mati


kini kita dijajah bangsa sendiri


-------------------



Kemiskinan harus dilawan, itu benar dan betul. Tapi bagaimana melawannya, jelas tidak bisa dijawab hanya dengan kata “benar” atau “betul”, bukan?



Pakar harta, pengusaha kelas paus, lembaga kehartaan, lembaga sosial, departemen kekayaan, dan lain-lain pun bisa mahir berbusa-busa bila bicara soal definisi miskin, dan strategi jitu menaklukkan kemiskinan. Data-data valid, akurasi jumlah, teori-teori ampuh, bukti-bukti sahih di luar negeri bahkan ayat-ayat sakti Kitab Suci pun dipakai sebagai elemen materi pembicaraan, baik dalam skala warung kopi maupun ballroom hotel bintang sejuta di Ibukota Negara bahkan di Ibukota Luar Negara.



Selama ini angka kemiskinan – yang dikeluarkan oleh lembaga manapun – merupakan angka yang sama sekali jauh dari realitas. Entah secara kriteria, validitas, akurasi jumlah, maupun rekayasa yang keterlaluan. Dan kemiskinan di Indonesia seringkali hanya menjadi semacam obyek mati-kurang gizi yang seenak udel bisa dicabik-cabik di mimbar-mimbar atau seminar-seminar, lantas ditendang langsung ke tong sampah. SBY, JK, Mari Pangestu, Sri Mulyani, dan Aburizal Bakrie, pun tidak akan pernah mampu menanggulangi kronisitas kemiskinan di Negeri Zamrud Kathulistiwa ini. Mengapa?



Orang-orang yang sama sekali tidak berasal atau tinggal bertahun-tahun dalam kemiskinan, tentu tidak akan pernah menyelami arti kemiskinan atau kemelaratan. SBY, JK, Mari Pangestu, Sri Mulyani dan Aburizal Bakrie tidak berasal dari keluarga supermelarat. Proses pencapaian ekonomi dan sosial mereka tidaklah dimulai dari kemelaratan ekonomi-sosial dalam arti yang sesungguhnya. Akibatnya apa? Sabar dulu.



Perbedaan yang jelas antara kemiskinan dan orang miskin, antara definisi kemiskinan dan kriteria orang miskin, Anda pasti memahaminya. Buku-buku, kisah kesuksesan orang-orang, kotbah-kotbah agama, dan tips-tips kaya-raya di media massa tidak akan pernah menjadikan mayoritas rakyat miskin Indonesia bisa lepas dari jerat kemiskinan. Kebijakan-kebijakan pemerintah di akhir masa jabatannya justru kian menjerat bahkan mencekik orang miskin.



Ya, kenyataan yang sungguh-sungguh terjadi di Republik Munafik ini. Bukan kemiskinan yang sedang dilawan pemerintah, melainkan orang-orang miskin-lah yang dilawan atau target utamanya. Orang miskin telah diposisikan sebagai target utama dalam operasi sapu jagad nusantara yang dilakukan oleh pemerintah RI atas rakyatnya sendiri, seolah-olah orang miskin dilarang tinggal-hidup di Indonesia. Oh iya begitu?



A. Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan Bahan Bakar Minyak (BBM)



Apa yang sesungguhnya berada di balik BLT 2008 yang digelontorkan pemerintah SBY-JK dalam rangka menyongsong kenaikan harga BBM? Apa motivasi pemerintah sesungguhnya?



Orang-orang bijak menganjurkan, jangan kamu beri seekor ikan tetapi berilah sebuah kail. Namun SBY-JK malah memberi seekor ikan yang bernama BLT – bukan kepanjangan dari BeLuT. Atau dengan kata lain, kebijakan BLT bukan merupakan hasil akhir dan alternatif satu-satunya yang telah melalui proses berpikir bijaksana.



Kebijaksanaan SBY dan JK sebagai manusia, yang kata orang bahwa manusia itu makhluk paling mulia di bumi karena bernalar dan bernurani, sepatutnya ditinjau kembali. BBM bukan sekadar cairan berenergi yang menjadi kebutuhan mekanis benda-benda mati. Dan BLT bukan obat mujarab untuk mengantisipasi persoalan krusial yang disebabkan oleh cuaca anomali BBM. SBY yang bergelar doktor bidang pertanian pun gagal menerapkan ilmunya dalam persoalan pangan Indonesia, apalagi JK yang jelas-jelas seorang pengusaha yang mempunyai satu-satunya orientasi hidup yaitu keuntungan material atas keringat-darah orang-orang!



Begitulah kemudian BLT seharga Rp.100.000,- per kepala keluarga miskin digelontorkan bersamaan dengan dinaikkannya harga BBM, meski jumlah keluarga miskin yang layak menerima BLT tahun 2005 lalu belum lagi diperbaiki dan dihitung secara akurat oleh BAPPENAS. Sementara para pembantu SBY-JK tidak lebih dari jongos-jongos merongos tanpa pendidikan apa-apa alias orang-orang superguoblok alias boneka-boneka peradaban, yang memang hanya boleh/bisa membebeki perintah sang majikan.



Yang tak kalah malangnya, sebagian kepala desa tidak becus mendata warganya yang masuk kategori miskin. Atau BLT menjadi proyek bagi kepala desa tertentu, yang kemudian menganggap BLT yang mengucur itu menjadi semacam “rejeki nomplok” bagi kepala desa tersebut. Tidak beda dengan raskin dan jatah bahan pokok lainnya yang semula diperuntukkan bagi rakyat miskin.



B. SUAP (Suatu Upaya Akhir Pemerintah)



Suap adalah memasukkan sesuatu, semisal makanan, ke dalam mulut orang lain, terutama orang tersebut dalam kondisi tidak berdaya atau tidak bisa makan secara normal. Misalnya bayi, anak-anak, orang sakit, dan lain-lain. Suap dilakukan dalam konteks kondisi yang memang wajar dan sepantasnya.



Suap juga merupakan warisan budaya nenek moyang Indonesia. Di Jawa, balita yang susah makan, akan disuap (dicekoki) oleh ramuan khusus untuk memicu nafsu makan, semisal air dari papaya. Di beberapa seremonial pernikahan, adegan suap-menyuap termasuk inti acara. Tidak bisa tidak. Mempelai pria menyuap mempelai wanita, lalu sebaliknya. Atau kedua mempelai menyuap dalam waktu bersamaan. Ada filosofis sakral dalam adegan tersebut sehingga termasuk bagian inti dari seremonial pernikahan di beberapa wilayah di Indonesia.



Akan tetapi, ada satu suap yang yang paling tidak senonoh, yaitu memaksa masuk sesuatu hanya demi suatu kepentingan. Sebelum disuap, orang bisa cerewet, bawel, dan ngomel-ngomel. Tapi ketika mulutnya disuap, otomatis orang itu harus membagi konsentrasinya antara merasa dan mengunyah. Paling tidak, sesuatu yang telah disuapkan itu cukup ampuh untuk mengalihkan sistematika logika yang sebelumnya dipakai untuk hal yang lain.



Suap tersebut merupakan kebiasaan lumrah bahkan seolah sah dalam tata karma pergaulan sosial-ekonomi hirarkis, entah itu mengurus KTP, surat kesehatan, surat ijin ini-itu dan lain-lain. Ketidaksenonohan ini sengaja dilumrahkan untuk mempercepat suatu proses birokrasi sesuai dengan kepentingan penyuap dengan dalih “terima kasih atas kerjasamanya”, “uang rokok” (padahal jumlahnya bisa untuk beli saham pabrik rokok!), “sekadar bukti kecil kemitraan” dan sejenisnya, di samping juga telah menjadi kepentingan tertentu bagi pihak yang disuap atau yang biasa mereka sebut “sampingan”, “seseran”, “sambilan” dan sejenisnya.



Dalam lingkungan kecil, seorang RT menerima “suap” dari seseorang untuk memperlancar proses pembuatan kartu C-1 dan tanda penduduk dengan bayaran yang jauh melebihi biaya administrasi sebenarnya dan kelebihan itu masuk kantong pribadi si pak RT. Di sini sudah bisa berarti si pak RT korup alias korupsi. Begitu pula dalam lingkungan bisnis, seperti surat ijin tempat usaha, keamanan, dan seterusnya, praktik suap-menyuap begitu menggurita. Jadi, kalau ada tokoh yang berani berkoar bahwa korupsi bukan budaya Indonesia, berarti selama ini dia hidup di kutub utara tanpa jaringan transportasi, telekomunikasi dan informasi, dan tidak satu pun orang pernah mengunjunginya!



BLT pertama kali diberlakukan pada tahun 2005, dan itu pun masih menyisakan kesalahan dalam akurasi jumlah yang secara tidak profesional dilakukan oleh BAPPENAS. Kemudian dilanjutkan dengan BLT tahun 2008, yang merupakan upaya menyuap rakyat miskin agar setuju atas tindakan pemerintah menaikkan Bahan Bakar Minyak (BBM). Tindakan ini memperlihatkan secara gamblang betapa bobroknya mentalitas penyelenggara pemerintahan RI, dan sama sekali tidak menggunakan integritas nurani-nalar yang utuh-memadai. Praktik suap – money politic – dihalalkan dan diajarkan oleh pemerintah.



Lantas, mengapa pemerintah menyuap rakyat melalui kebijakan BLT? Sejarah berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia bahkan Founder Father-nya menuliskan teks proklamasi kemerdekaan “atas nama rakyat Indonesia”. Artinya, setinggi apa pun jabatan seseorang dalam Negara RI, rakyat-lah yang memiliki kekuatan paling dahsyat. Perjuangan melawan imperialisme asing tidak akan sukses tanpa campur tangan rakyat. Berapa pun jumlah tentara, kalau tanpa rakyat niscaya sia-sia perjuangan itu. Bahkan Panglima Besar Jenderal Sudirman tidak akan menjadi patung di Jakarta hingga sekarang.



Dalam perjalanan politik Indonesia, reformasi 1998 merupakan momen kesadaran bangsa atas arti penting rakyat. Bahwa sekuat apa pun tangan besi pemerintah menghantam para aktivis anti neokolonialisme, rakyat yang bersatu adalah lawan potensial bagi pemerintah. The Smilling General yang bertangan baja mutu tinggi pun harus lengser keprabon. Beberapa kilas sejarah bangsa Indonesia lainnya juga memperlihatkan posisi rakyat sebagai sekumpulan Daud di hadapan gerombolan Goliath. Di sisi lain, kalangan DPR kembali menjadi rekan bisnis kebijakan pemerintah, rakyat tetap menjadi organisasi perlawanan paling gigih bagi pemerintah sebab rakyat bisa melihat sendiri bahwa kalangan DPR telah menampakkan wujud aslinya sebagai Dewan Penipu Rakyat, dan menjadi bagian dari konspirasi nasional demi kemakmuran mereka sendiri.



Oleh karenanya, SBY-JK harus mempertimbangkan keberadaan rakyat dalam menentukan kebijakan yang akan-pasti mempengaruhi kehidupan rakyat. Persoalan BBM disadari secara sesaat oleh SBY-JK sebagai persoalan sangat sensitif. Namun, karena kesadaran tersebut bersifat sesaat, lagi-lagi Doktor bidang Pertanian dan Pengusaha besar itu keliru mengimplementasikannya. Dicetusnyalah BLT yang jauh sekali dari proses analitis yang rasional-profesional.



Ya, sangat tidak rasional. Belum adanya akurasi jumlah orang miskin sejak diberlakukannya pertama tahun 2005 lalu, sudah dilakukan lagi perhitungan BLT dengan nilai Rp.100.000,- dan selesai di situ berarti tanpa memperhitungkan imbas kenaikan BBM terhadap produk barang dan jasa yang jelas-jelas membuat nilai Rp.100.000,- tersebut bagai semilir angin sesaat di gurun sahara. Ini jelas pula sama sekali tidak memiliki nalar dan nurani yang terintegrasi dengan benar-baik. Sampai begitu parahkah SBY dan JK?



Selama masa pemerintahan SBY-JK, kenaikan BBM terjadi sebanyak 3 kali. Sejarah kenaikan harga BBM selalu sejajar dengan kenaikan harga bahan pokok dan barang-barang lainnya. Dan selama masa pemerintahannya, berita tentang gizi buruk, nasi aking, orangtua mengajak keluarga bunuh diri akibat tekanan ekonomi yang sangat berat telah menjadi konsumsi informasi wajib bagi publik.



Lingkup bernalar SBY-JK tentang BBM ternyata belumlah luas. Maksudnya, imbas dari kenaikan harga BBM bukan sekadar naiknya ongkos naik angkutan kota jurusan Kampung Melayu – Blok M, tiket bis lintas propinsi jurusan Jakarta – Jogjakarta, angkutan laut Sabang – Merauke, atau pesawat terbang jurusan Jakarta – Jayapura. Melainkan pula pada produk-produk barang dan jasa lainnya. Belum lagi rakyat terbebas dari antri minyak tanah, BBM lainnya sudah pula kian susah dan mahal.



Dalam keseharian SBY-JK pun tidak akan pernah mereka membeli bensin di SPBU setiap hari, atau bersusah-payah antri minyak tanah. Juga membeli bahan-bahan pokok lainnya. Akibatnya, jadilah harga BBM dinaikkan oleh mereka, dan penyuapan berupa BLT dilakukan! Sebelumnya melalui program pendidikan dan kesehatan gratis yang ternyata hingga sekarang “jauh kampanye dari kenyataan”. Kesejahteraan yang telah dinikmati oleh SBY-JK turut mematikan nalar dan nurani mereka terhadap kesengsaraan rakyat.



Sementara itu swasembada beras belum juga berhasil diterapkan oleh si Doktor bidang Pertanian. Sungguh sia-sia gelar akademis yang demikian mentereng tetapi tidak juga diterapkan sebagai bukti nyata seorang doktor. Belum adanya swasembada beras secara signifikan malahan rakyat terpaksa mengonsumsi nasi aking seharusnya menjadi perhatian pihak Institut Pertanian Bogor untuk meninjau kembali (menggagalkan!) gelar doktor yang disandang oleh SBY karena jelas merusak kredibilitas gelar akademis dan institusi pendidikan tinggi. Tapi kelihatannya IPB tidak merasa malu atas paradoksal gelar SBY dan realitas di Republik Munafik ini.



Dan satunya lagi, si Pengusaha berkumis malu-malu yang berkoar-koar soal kebijakan gas mengganti minyak tanah yang belum genap satu tahun diterapkan itu, pun tetap berkobar-kobar ketika berbicara di televisi meski tabung-tabung gas 3 kilogram tengah terengah-engah menuju pelosok tanah air. Semangat yang sama sekali tidak memiliki kepedulian terhadap sense of crisis di Republik Munafik ini.



Sekarang perut sebagian besar rakyat harus berkerut-kerut karena harga-harga bahan pokok berlomba-lomba menyaingi harga BBM. Berita seputar gizi buruk, nasi aking, orangtua mengajak keluarga bunuh diri akibat tekanan ekonomi yang sangat berat akan tetap menjadi konsumsi informasi wajib bagi publik. Dari keseluruhan realisasi kebijakan pemerintah adalah : melawan orang miskin, berkawan dengan orang kaya. Maka, orang miskin dilarang hidup di Indonesia. Sungguh mengenaskan memiliki dan mempercayai pemimpin yang selalu hanya memberi mimpi tentang kemakmuran dan kesejahteraan!



Sesungguhnya, Bung Tomo, Bung Karno, dan Bung Hatta telah mati. Imperialisme itu bukan lagi dilakukan oleh negara lain, melainkan oleh pemerintah Republik Munafik sendiri terhadap rakyatnya. Penjajah paling keji di muka bumi bukanlah Inggris, Prancis, Spanyol, Portugis, Belanda, Jepang, Amerika Serikat atau mungkin Jerman, melainkan oleh sekelompok bumiputera sendiri!



Sesungguhnya pula harta tidak memiliki saudara. Kakak bisa membunuh adik, bapak membunuh ibu, orangtua membunuh anak, anak membunuh orangtua, dan seterusnya. Kelimpahan harta yang diraup orang-orang besar tidak lantas membuat mereka merasa memiliki saudara bernama rakyat. Di sinilah penindasan dan penghisapan atas saudara sendiri terjadi dengan gamblang !



C. Apakah Semua Kesalahan SBY-JK saja?



Kebijakan pemerintah harus lebih dulu diperhadapkan dengan para wakil rakyat alias DPR. Sayang sekali, lembaga legislatif satu ini gagal berperan semestinya dalam memperjuangkan rakyat sehingga kenaikan harga BBM pun tidak mampu dihadang. Mengapa DPR gagal? Dan bagaimana peran MPR sebagai lembaga tertinggi negara?



DPR dan MPR hanya simbol belaka. Berita seputar gizi buruk, nasi aking, orangtua mengajak keluarga bunuh diri akibat tekanan ekonomi yang sangat berat tidak pernah bisa menyentuh nalar dan nurani DPR-MPR yang telah terbentengi oleh tembok materialisme. Bukan dampak kenaikan harga BBM yang mereka diagnosa-analisa secara lebih seksama dan menyeluruh bagi kehidupan ratusan juta warga negara RI, melainkan menuntut kenaikan gaji dan tunjangan mereka sendiri.



Memang beginilah nasib Republik Munafik pasca reformasi saat ini. Rezim ORBA ternyata bukan satu-satunya rezim bobrok di Indonesia karena selama rezim ORBA memerintah Indonesia masih bisa berswasembada beras dan tidak terjadi rutinitas antrian minyak tanah. Runtuhnya ORBA dulu ternyata memunculkan rezim yang tak kalah rakus dan bengisnya. 100 tahun Kebangkitan Nasional menjelma Kebangkrutan Nasional. Kebangkrutan mentalitas penyelenggara negara hingga seluruh pelosok ruang di Republik Munafik ini



Dan bagaimana dengan rakyat yang telah memilih mereka melalui pesta demokrasi dengan konvoi kendaraan berbahan bakar gratis dan nasi bungkus? Itulah kini yang menjadi tuaian sebagian rakyat yang menjadi simpatisan partai dan capres dengan kampanye berbahan bakar gratis itu. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah setelah disetujui oleh DPR justru menunjukkan bukti : Orang Miskin Dilarang Tinggal-Hidup di Indonesia !



Di dunia televisi, berita-berita kemiskinan pun harus berkelahi dengan sinetron-sinetron remaja bertabur mobil mewah. Kalangan sineas Indonesia turut menyukseskan program “Orang Miskin Dilarang Hidup di Indonesia”. Sense of crisis-humanism penyelenggara hiburan sudah mati! Alasan bahwa kemewahan menjadi syarat kunci untuk membuka lebar peluang tayang produksi bisnis hiburan layar kaca merupakan salah satu sikap pro terhadap program pemerintah tersebut.



Kiranya sebagian lirik lagu Badut yang dinyanyikan oleh Iwan Fals-Swami pada awal tahun 1990-an masih relevan dengan kondisi kebangkrutan mentalitas insan sineas di Republik Munafik ini. Para peragawati peragawan senyam-senyum seperti badut. penyanyi dan pemusik, bintang film nampang seperti badut.



D. Apakah Reformasi 1998 Akan Menjadi Revolusi 2008 ?



Reformasi sudah sepuluh tahun tetapi kondisi rakyat kian melarat. Sebagian kalangan menyebutkan visi-misi reformasi 1998 gagal. Mengapa? Akibat terinfeksi kebangkrutan mentalitas pengelola negara. Amien Rais yang pernah digelari Bapak Reformasi, ternyata tidak lepas dari masalah kebangkrutan mentalitas itu. Contoh paling nyata yaitu Kasus Dana Kampanye PEMILU 2004 dari Departemen Kelautan dan Perikanan yang pernah mencuat tahun 2007 lalu dan melibatkan nama Profesor Doktor Amien Rais.



Reformasi memang masih belum membuat rakyat merdeka dari penjajahan pemerintahannya sendiri. Jalan yang mungkin ditempuh selanjutnya oleh rakyat adalah REVOLUSI.



Ya, REVOLUSI ! Sebab reformasi masih saja menjadikan rakyat sebagai musuh, tumbal, dan obyek bagi penyelenggara negara di Republik Munafik ini. Kata “rakyat” hanya menjadi semacam sakarin (pemanis buatan) dalam kampanye PEMILU Legislatif dan Eksekutif. Para bajingan kebijakan tidak pernah mengerti apa fungsi nalar dan nurani, dan bagaimana sepatutnya memadukannya dengan posisi strategis dalam menggelontorkan kebijakan di tengah kehidupan rakyat. Dan jika kondisi tersebut dibudidayakan, rakyat tidak akan pernah menjadi mitra pemerintah dalam menyukseskan visi-misi para pendiri bangsa yaitu menuju masyarakat yang adil, tentram, makmur, dan sejahtera.



Oleh karenanya, jika REVOLUSI terpaksa ditindaklanjuti sebagai pilihan terakhir dan tidak bisa ditangguhkan lagi, biarlah itu terjadi di Republik Munafik ini. Biarlah peristiwa Mei 1998 terulang bahkan lebih parah dan menyeluruh di seluruh pelosok Republik Munafik ini dalam nama REVOLUSI. Biarlah orang-orang yang gila jabatan politik maupun jabatan strategis publik tidak seenaknya menjual nama “Rakyat” hanya demi kepentingan material mereka sendiri. Biarlah pentolan dan pentilan partai-partai politik sadar bahwa fungsi partai bukanlah Pusat Transaksi Bisnis Jabatan. Jika tidak demikian, jangan heran : ORANG MISKIN DILARANG TINGGAL-HIDUP DI INDONESIA !



*******


Rawabuaya, Mei 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar