Kamis, 19 Februari 2009

Komoditas dalam PILKADA *

Boleh saja partai ribuan jumlahnya

Tapi yang menang, yang banyak uang

Gontok-gontokan kini nggak musim

Adu doku itu yang ditunggu

(Politik Uang -- Iwan Fals)

*

Belum lama ini aku berkelana ke sebuah daerah tingkat II, nun jauh dari hiruk-pikuk komersialitas ibukota. Kebetulan ada hajatan besar di sana, di samping masa kampanye PILKADA. Hajatan tahunan selama sepekan. Ulang tahun daerah tersebut.

Dalam hajatan itu dipajanglah stan-stan dinas pemda. Dan persatuan wartawan lokal pun tak mau ketinggalan. Pengelanaanku singgah di stand wartawan, yang berdinding tripleks dengan tempelan koran dari seluruh koran lokal. Salah satu bidangnya dipakai untuk memajang wajah-wajah peserta PILKADA yang diusung oleh beberapa koalisi partai.

Maka para kandidat PILKADA tadi pun mampir ke stand itu dalam kesempatan berbeda. Mungkin kesempatan untuk bersilaturami dengan media. Tak lupa uang sekian ratus ribu rupiah keluar dari kantong mereka untuk biaya duduk dan konsumsi. Tentu saja pentolan-pentolan wartawan di situ senang sekali, dan dengan bangga bercerita soal rupiah-rupiah yang terkumpul.

Pada kesempatan lain stand tersebut dikunjungi oleh seorang ketua KPUD. Kutaksir usianya belum 40 tahun. Mungkin 30-an tahun. Berkacamata. Pentolan-pentolan wartawan sangat antusias ngobrol dengannya, menyangkut situasi kampanye PILKADA, bukan berdiskusi mengenai masa depan pembangunan dan kemakmuran daerah, atau kritik-saran terhadap profesionalitas insan pers daerah.

“Kalau si A nyiapkan dana 5 M untuk dukungan partai-partai dan lain-lain, bereslah,” kata sang ketua KPUD dengan tenang dan dingin.

“Tapi istri gubernur X sudah nyiapkan dana 3 M untuk salah satu calon agar menang PILKADA,” celetuk seorang wartawan.


A. Milyaran Rupiah dalam PILKADA

Kalimat “5 M” mengingatkanku pada peristiwa terbunuhnya seorang wartawan daerah dalam berita seputar “PILKADA” tahun 1996 di sebuah daerah gara-gara uang satu milyar untuk sebuah SK Kepala Daerah dari pemerintah pusat. Pentolan-pentolan wartawan di stand tadi jelas tidak tersentuh oleh berita usang itu karena jarak teritorial dan domisili yang nun di seberang.

Kali ini “5 M” dengan lugasnya keluar dari mulut sang ketua KPUD, dan “3 M” dari bocoran seorang wartawan. Aku lantas bertanya pada kembang api yang dipakai dalam acara penutupan hajatan tahunan daerah itu.

1. Berapakah gaji seorang kepala daerah.

2. Untuk masa 5 tahun kerja, apakah bisa terkumpul uang sebanyak 5 M untuk mengembalikan modal, belum termasuk dana kampanye, juga memberi uang untuk stand wartawan daerah tadi

3. Dengan cara apa pemenang PILKADA nantinya mengembalikan uang 5 M yang terpakai untuk membeli kursi Kepala Daerah

4. 5 M untuk biaya suatu koalisi partai dan bantuan KPUD di daerah itu, lalu berapa M untuk kursi kepala daerah sebuah kota besar bahkan beli kursi kepresidenan.


B. Pil Koplo, Pil Ektasi, dan PILKADAL

Kursi kepala daerah yang dihargai lebih satu milyar rupiah plus nyawa seorang wartawan daerah pada tahun 1996 jelas berada dalam rezim Orde Baru. Pada era tersebut aroma “money politics” sudah semerbak ke daerah-daerah hingga desa-desa dalam PILKADES-nya. Tak ketinggalan pula benda-benda psikotropika alias narkoba, misalnya pil koplo dan pil ektasi.

Dua tahun kemudian, tepatnya mei 1998, Orde Baru tumbang melalui sebuah gerakan reformasi dan sumbangan nyawa beberapa mahasiswa, memunculkan istilah Orde Reformasi. Masa bulan madu reformasi merupakan masa koplo dan esktasi sebagian orang Indonesia. Maksudku, ketika reformasi terlaksana, sebagian orang Indonesia terlena dalam sebuah klimaks perjuangan hidup.

Kondisi koplo dan ekstasi massal itu dimanfaatkan oleh para oportunis politik beserta partai opotunisnya dengan menampilkan atraksi panggung super memikat sebaik-baiknya. Pesta demokrasi, bagi-bagi kaos gratis, sumbangan ini-itu, pentas hiburan rakyat, konvoi dibiayai, dan lain-lain. Rakyat benar-benar terlena ibarat psikotropis tengah berpesta pil koplo dan pil ekstasi.

Dan ketika PILKADA menjual slogan “Dari Rakyat, Oleh Rakyat, dan Untuk Rakyat” dan janji “Demi Kemakmuran Rakyat”, rakyat kian mabuk kepayang sehingga lupa bahwa para oportunis politik adalah himpunan abunawas palsu yang sedang mengatur strategi untuk mencari keuntungan material mereka sendiri, dan rakyat membeli jualan para abunawas palsu. Kalau rakyat merasa tertipu dan hendak memrotes, para abunawas gadungan akan bilang, “Barang yang sudah dibeli, tidak boleh dikembalikan lagi. Tunggu jualan kami lima tahun lagi!” Umpama kawanan zebra yang sedang turun minum di sebuah danau, buaya-buaya sudah siap melahap dari bawah air. Maka terjadilah, rakyat disantap para oportunis politik! Buaya kok dikadalin, kata kawanku.


C. Reformasi : Eksploitasi Ekstra terhadap Rakyat

Sebagian politikus bilang, “Reformasi 1998 hanya pada bidang politik.” Masalahnya, di Indonesia masih jelas terdoktrin dalam pergaulan publik, “Politik itu panglima”. Maka, panglima inilah yang andil besar dalam mengatur strategi “perang” bersama bidang lainnya, misalnya ekonomi, hukum, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, dan lain-lain.

Yang muncul lagi dalam benakku, “Bangsa ini sedang berperang melawan apa dan siapa?” Waktu Reformasi 1998, para politikus tadi bilang, “Berperang melawan KKN (Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme), dan orang-orang yang terlibat secara aktif-pasif.” Berikutnya para politikus tadi membangun partai-partai dengan segala macam ruang beserta perabotannya, penghuni dan jaringan informasi-komunikasinya.

Kenyataannya, permainan uang dalam perjudian politik tidak akan berakhir! Posisi politik tingkat daerah tidak akan pernah bersih dari KKN bahkan kian menjijikkan karena selama 10 tahun reformasi ini perjudian politik membutuhkan modal berkali-kali lipat dibanding jaman ORBA! Akibatnya, bukan hanya alam menjadi semacam sapi perah, melainkan pula rakyat melalui kebijakan-kebijakan daerah bersama pungutan-pungutan dan bisnis peraturan daerah untuk mengembalikan modal kursi sekaligus uang pesangon untuk cucu sampai buyut kelak.

Keberadaan partai politik pun tidak lebih dari sebuah bank melalui mekanisme koalisi dalam rangka PILKADA, yang juga dibantu oleh sebuah lembaga khusus bernama Komite Pengelola Uang Daerah alias KPUD. Para pentolan KPUD di daerah itu, hanyalah manusia biasa, yang bisa saja khilaf melihat kilau rupiah berjumlah milyaran. Begitu kira-kira apologi mereka.

Yang tak kalah lihainya memanfaatkan kesempatan adalah sebagian insan pers daerah tadi. Kalau pers industrial benar-benar “money oriented”, tentu wajar jika para pelakunya juga begitu. Oleh karenanya, sekelompok oknum wartawan yang membangun stand dan menerima uang dari acara seremonial dan kampanye-kampanye para kandidat tadi pun pas-sesuai. “Lho, kami tidak ngemis. Kami tidak nodong. Mereka memberi, kenapa kami musti menolak. Kau pun ikut menikmatinya juga, kan? Snack, makan, kopi, dan lain-lain itu, dari mana biayanya?” dalih seorang diantaranya, yang selama ini lebih sering berperan sebagai “jurnalis kupu-kupu”.

Lantas, siapa yang sesungguhnya akan menjadi korban dalam peperangan tidak jelas itu? Sesungguhnya bukan siapa-siapa yang menjadi musuh sekaligus korban, selain rakyat! Mencerdaskan dan menyejahterakan rakyat adalah sebuah upaya tipudaya untuk meraup keuntungan material pribadi orang-orang politik itu. Yang terang-terangan mereka lakukan adalah mengeksploitasi property rakyat. Ketika rakyat sudah sekarat dan kehabisan biaya untuk mencerdaskan diri demi memakmurkan hidup, orang-orang itu kian bersenang-senang dan menambah ilmu untuk menyiasati prospek ekonomi mereka.

***

Rawabuaya, 2008

*) ditulis oleh kader GOLPUT dalam rangka menyusun “Laporan Kepenulisan” yang sempat dikasak-kusuk oleh beberapa pentolan wartawan daerah yang kutemui pada masa “mbambung”-ku di sana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar