Kamis, 19 Februari 2009

Memilih Tidak Memilih *


Dalam beberapa kasus, ketika masyarakat atau seseorang membiarkan dirinya diwakili, maka masyarakat atau seseorang itu sudah tidak bebas lagi atau secara ekstrim dikatakan masyarakat atau orang tersebut sudah tidak ada lagi.

(Jean Jacques Rousseau)



Menyambut PEMILU 2009, yakni PILEG dan PILPRES, pada akhir tahun 2008 Ketua MPR RI 2004-2009 Hidayat Nur Wahid dari Partai Keadilan Sejahtera tiba-tiba berfatwa, “GOLPUT ITU HARAM.” Tidak lupa dibandingkannya dengan Australia yang mewajibkan seluruh warga negaranya andil dalam PEMILU di sana.



Menggelikan. GOLPUT ITU HARAM. Betapa mudah membuat fatwa seolah dari wangsit atas Langit. Dan dalam soal wangsit-wangsitan, bisa jadi merupakan pesaing sengit bagi Lia Eden, Agus Solihin, dan rekan-rekan seperjuangannya. Ah, tapi untunglah, wangsit “golput itu haram” hanya berlaku bagi kalangan terbatas.




A. Dua Partai dalam Satu Rumah



Pada tahun 1980-an aku mulai mengenal partai-partai peserta PEMILU. PPP, GOLKAR, dan PDI. Ayahku, yang bekerja di swasta, bertahan dengan partai pilihannya, partai titisan Bung Karno. Ibuku, yang bekerja di salah satu BUMN di daerah kami ketika itu, bilang, “Pilih partai yang ngasih kita makan.”



Aku bertanya dalam hati, partai apa yang memberi kami makan. Setahuku, ibu dan ayah bekerja keras, bukan duduk bersila di depan kantor BUMN untuk mengemis makanan. Di rumah pun tidak pernah ada kunjungan dari orang-orang partai itu untuk memberi makanan. Kenapa ibu bisa bilang seperti itu? Lagian, usiaku sendiri belum cukup untuk mendapat hak pilih.



Begitulah, di rumah kami, ada dua partai (seperti Partai Republik dan Partai Demokrat di Amerika Serikat) yang sedang bertarung, baik secara ideologis maupun pragmatis, meski aku buta total soal politik dan intrik-intrik partai peserta PEMILU jaman ORBA.



Ketika aku berumur lebih 25 tahun, orangtuaku tidak pernah menyinggung sikap politikku dalam memilih. Sebab, dari setiap obrolan seputar kampanye, baik PILKADA maupun PILEG-PILPRES aku hanya bilang, “Aku Golput saja.”






B. Komentar Beberapa Simpatisan Partai di Tempat Berbeda



B.1. Seorang Istri Tokoh Partai A



Ibu kawanku adalah istri seorang tokoh sebuah partai besar di kampung halamanku, Bangka. Beliau setia pada partai naungan suaminya meski suaminya sudah meninggal dunia. Pada tahun 2000-an aku berkunjung ke rumah kawanku, dan berjumpa dengan ibunya. Pembicaraan ini-itu hingga masuk ranah politik. Bertanyalah ibu kawanku, “Kamu milih partai apa?”



“Partai GOLPUT, Bu.”



Maka, sebagai salah seorang penting di Partai A, beliau menceramahi aku, bahwa sebagai warga negara Indonesia yang baik, aku harus begini-begitu dalam pesta demokrasi alias “berpartai”.






B.2. Seorang Pensiunan Aparat Menjadi Fungsionaris Partai B



Dua tahun sejak aku diceramahi ibu kawanku, seorang pensiunan aparat dan kini fungsionaris bahkan ketua di dewan pimpinan cabang Partai B yang berasaskan agama A, menegur aku, “Anda tinggal di mana?”



Bah! Mentang-mentang tua, pakai sok pikun pula. Kujawablah, “Indonesia.” Sebenarnya sih aku mau bohong karena dia berlagak pikun begitu, aku tinggal di Swiss. Tapi aku tidak berani bohong pada orang tua bangka begitu, takut kena tulah durhaka (masih feodal-konservatif-tradisional juga nih!).



“Nah, sebagai warga Negara Indonesia yang baik, Anda wajib mengikuti peraturan pemerintah di sini,” begitu ceramahnya.



Aku bukan warga negara Indonesia yang baik? Oh! Aku yang bekerja secara formal dan tidak sudi melakukan tindak pidana seperti mencuri, menipu, membunuh, menggarong, menodong dan kriminalitas lainnya, dan tindak perdata seperti menilep tanah orang atas nama pembangunan dan lain-lain, kenapa status kebaikan berwarganegaraku digugat ya?



“Anda wajib menggunakan hak pilih Anda dalam PEMILU.”


“Pak, hidup itu pilihan. Mau menggunakan hak atau tidak, mau memilih atau tidak memilih, itu pilihan.”


“Berarti Anda GOLPUT.”


“Seratus untuk Bapak. Silakan dibagi-bagikan untuk fakir miskin.”



Kemudian si tua bangka itu bertanya, “Anda berasal dari mana?” Kujawab cepat, “Seberang!”



Lantas tua bangka itu menawarkan aku bergabung dengan partai yang dianutnya. “Anda butuh biaya mudik, partai kami akan membiayainya. Gratis. Dapat uang saku lagi. Kalau hari besar, Anda bisa minta beberapa rupiah dan pakaian baru untuk berhari raya,” bujuknya. Tak lupa pula dia mengisahkan masa lalunya bersama Partai A. Di partai wajib itu, katanya, dia tidak mendapat apa-apa. Hanya kewajiban memilih partai itu. Tidak ada kompensasi yang cukup menghibur. Tidak seperti Partai B, yang kini dianutnya, bahkan dia terpilih sebagai pimpinan DPC-nya.



“Syaratnya apa, Pak?”


“Anda menjadi anggota dan menerima kartu anggota Partai B.”


“Kalau aku tidak punya kartu anggota?”


“Ya tidak dapat. Khusus anggota.”


“Berarti kebaikan partai Bapak hanya berlandaskan keanggotaan yang ujung-ujungnya untuk meraih perolehan suara? Orang atau rakyat di luar anggota, tidak dipedulikan oleh partai Z?”


“Ya jelas.”


“Rakyat itu bukan warga negara Indonesia, ya, Pak? Yang tidak menjadi anggota partai Bapak berarti bukan warga negara yang baik, ya, Pak, sehingga tidak usah dipedulikan?”



Si tua bangka tidak mau menjawab. Dia kembali menawarkan aku bergabung, menjadi anggota, dan mendapatkan fasilitas sebagai anggota. Tapi aku jawab, “Pak, sebagai warga negara Indonesia, aku pilih bekerja untuk menghidupi diriku. Aku tidak mau membebani organisasi, yang mana aku tidak bekerja tapi minta ini-itu. Sudah bagus, kan Pak, aku tidak melakukan kriminal maupun bisnis narkoba?”



Begitulah. Pembicaraan itu berakhir dengan ucapan selamat jalan. Aku tidak tahu pemikiran apa yang ada di benaknya mengenai sikap politik yang aku ambil. Aku tidak peduli apa pun persepsinya tentang aku, apalagi soal baik-buruk karena dia bukan Nabi atau Tuhan. Yang jadi pemikiranku, apakah makhluk tua bangka yang sudah berpengalaman dalam politik dan partai politik semacam itu menilai seorang warga negara Indonesia yang baik dan wajib dipedulikan nasibnya apabila ia sudah menjadi anggota partai. Di luar Partai B, tidak perlu dipedulikan dan termasuk bukan warga negara Indonesia, dan warga negara yang buruk. Dasar Partai Disintegrated!






B.3. Seorang Pria yang Simpatisan Partai C



Sekitar Mei 2008 aku nimbrung minum kopi dengan kawan-kawan di sebuah kedai kopi pinggir jalan Daan Mogot, Jakarta Barat. Ada sedikit perdebatan politik di situ. Salah seorang laki-laki berkaos oblong hitam bertuliskan “Rakyat Jangan Mau Dibodohi”, begitu berapi-api bicara soal politik, kebijakan ini-itu, dan tokoh-tokoh berkarisma dari Partai C. Realitas masa lalu disandingkannya dengan realitas aktual meski kelihatan wawasan dan argumentasinya cukup memprihatinkan. Kami mengenal dia sebagai sesama warga kampung di sekitar kedai itu.



Waktu itu aku tanya, “Dari partai mana?” Dia jawab, “Gua simpatisan partai C. Gua juga pengagum S.” Seorang kawan menambahkan, “Dia fungsionaris partai C.”



Aku tertarik dengan “tokoh masa lalu” yang dikoarkannya, lantas aku tanya lagi, “Kamu punya buku-buku S.?” Dengan gugup dia jawab, “Waduh, gua kagak punya. Mahal sih.”



Mahal? Aku pernah beli, harganya di bawah Rp.20.000,- “Pinjamin Gua dong,” ujarnya dengan air muka yang berubah pucat. Demikian pula ketika kutanyakan sedikit tentang dasar-dasar ilmu politik, dia sama sekali kebingungan.



Aku bilang padanya, “Bung, aku bukan siapa-siapa, tidak punya partai, tidak peduli partai beserta tokoh-tokoh besarnya. Tapi buku-buku tentang S. dan politik, aku punya beberapa, termasuk buku bersejarah setebal lebih 5 sentimeter yang dicetak tahun 1955.”



Dari ucapanku itu otomatis pembicaraan politik berubah topik lantaran dia tiba-tiba pamit untuk melakukan sesuatu di rumah. Beberapa hari kemudian kami bertemu, dan dia sedang terburu-buru sambil membawa tas kulit hitam. “Sorry, gua mau ziarah ke makam S.”.





B.4. Seorang Sastrawan yang juga Fungsionaris Partai D untuk Wilayah Luar Negeri



Juli 2008. Bukit Sentul Bogor dibelai angin malam. Aku ngobrol dengan seorang kawan yang kukenal lewat dunia sastra, dan dia mengasuh sebuah milis. Beberapa tulisan serial “Republik Munafik”-ku terpajang di milisnya.



Tengah malam itu kami mengobrol lebih dari 1 jam, dari soal sastra hingga pada ranah politik. Dia berkomentar, “Kami selama ini mencermati tulisan GOLPUT-mu. Kau pintar tapi bodoh!” Oh, pintar tapi bodoh? “Ya, kau jago nulis, kritis, analitis, dan sinis. Arsitek, kartunis, sastrawan, sekaligus naïfboy!”



Aku tidak mengerti. “Kau tidak mengerti? Kau tahu, nggak, tulisan-tulisanmu tentang GOLPUT justru menjadi kajian vital bagi pihak asing dan dipergunakan mereka untuk melakukan politik devide et impera pasca perang dingin Barat.”



Sampai sebegitu hebohnya? “Ya. Diam-diam mereka memakai isi otakmu untuk mencari ceruk perpecahan untuk menyukseskan imperialisme gaya masa kini! Kau mengerti kebobrokan bangsa kita, dan kau sebarkan informasi serta opinimu itu ke internet dengan bendera GOLPUT-mu.”



Dia melanjutkan, “Kau harusnya paham, partai politik merupakan salah satu pilar kedaulatan bangsa. Salah satunya ya Indonesia. Mau atau tidak, kau harusnya masuk salah satu parpol. Kalau kau bicara politik, korelasinya adalah sebuah komunitas alias parpol.”



“Sorry, Bang, aku alergi parpol.”



“Ow, tidak bisa begitu. Negara Kesatuan Republik Indonesia berdiri karena memiliki parpol ketika itu. Nah sekarang kau harus pilih, parpol yang berlandaskan agamamu atau parpol nasionalis. Tidak mungkin, kan, kau masuk parpol yang tidak sejalan dengan misi agamamu?”



“Lho, ini mau membuat Negara Agama atau apa?”



“Maka dari itu, kau pilih yang nasionalis. Kau harus waspada, parpol yang berbeda dengan agamamu kini kian merapatkan barisan. Kalau mereka menang dan kemudian mendominasi secara mutlak, kau bisa dikeluarkan dari Indonesia.”



Gila! Aku baru menyadari betapa besar bom waktu disintegrasi bangsa melalui kompetisi parpol semacam itu. Hal ini bukan saja menjadi catatan penting dalam kepedulianku terhadap arti ketulusan berbangsa-bernegara, juga waspada penuh pada ledakan dahsyat parpol-parpol yang akan berkuasa. Sungguh miris apabila prediksi kawanku itu terbukti kelak.



Pada penghujung obrolan seluler kami, aku bertanya, “Abang sekarang masuk partai apa?” Dengan lantang dia berkata, “Gue ini sekarang anggota Partai C sekaligus fungsionaris untuk wilayah luar negeri. Kau harus hati-hati. Jangan sampai kelak kau diusir dari tanah airmu sendiri gara-gara agamamu dan GOLPUT-mu!”






B.5. Seorang Kawan Beretnis Tionghoa



Desember – Januari 2009 aku mudik di Bangka hingga menikmati tiga tahun baru, yakni Hijriah 1430, Masehi 2009, dan Imlek 2560. Tahun baru yang tidak lagi kunikmati selama 20 tahun adalah Imlek. Di Bangka, Tahun Baru Imlek sudah dirayakan sejak aku belum lahir. Pada tanggal pas tahun baru itu, kepala sekolah kami sudah memberikan hari libur bersama selama dua hari. Sungguh berbeda ketika aku berada di Yogyakarta selama tujuh belas tahun. Suasana Imlek sama sekali tidak pernah kurasakan di Kota Budaya itu.



Maka pada kesempatan Imlek 2560 (26 Januari 2009) aku berkunjung ke rumah kawanku yang merayakan Imlek. Dia seorang perempuan. Bekas kawan sekelas sejak SD hingga tamat SMP di Bangka. Dia cerdas. Bahasa Inggrisnya super aktif. Aku bertamu di rumahnya (sebuah ruko di kawasan pasar kota) sampai 3 jam.



Dalam pertemuan 3 jam tersebut, salah satu topik pembicaraan kami adalah politik, tepatnya PEMILU. Maklum, demam PEMILU sudah menjangkiti hingga pelosok daerah. Di sela obrolan dia bertanya, “Kamu suka partai mana?” Dan aku tidak perlu susah menjawabnya, “GOLPUT.”



“Kamu ini bagaimana sih? Aku, walaupun sering dibilang sebagai warga keturunan yang kurang peduli politik, mau ikut PEMILU. Lha kamu, pribumi…”



Tampaknya ada yang terlupa oleh kawanku yang justru berdomisili di Bangka.dalam pergaulan sosial-politik di daerah kami sendiri, bahwasannya sebagian orang Tionghoa sudah sangat peduli politik di daerah kami. Sejak munculnya Ahok (aku lupa nama resminya) si orang Tionghoa sebagai Bupati Belitung Timur beberapa tahun lampau, sebagian orang Tionghoa di Babel dewasa ini kian peduli politik. Berikutnya poster-poster kampanye yang terpampang di beberapa sudut kota menampilkan wajah-wajah warga keturunan sebagai caleg dari beberapa partai untuk PILEG 2009 ini.



Aku sendiri sudah biasa dengan hujatan orang-orang atas pilihanku sebagai seorang GOLPUT, lantas aku bilang, “Pilihanku bukanlah tanpa sebab-musabab. Terlalu panjang kalau aku harus menceritakan semua sampai pada satu pilihanku. Apalagi janji-janji tinggal janji, negeri makmur hanyalah isapan jempol rakyat pinggiran.” Singkatnya aku pun berapologi dan berargumentasi mengenai sikap politikku.



Puncak dari obrolan kami, dia menghargai pilihanku berdasarkan realitas dari beberapa carut-marut sosial-politik di Indonesia tercinta ini. Aku pun menghargai kepedulian dan pilihannya untuk ikut ber-PEMILU serta harapannya untuk tetap bisa menjalankan usaha dagangnya secara aman dan terkendali, meskipun selama pemerintahan ORBA dia dan kawan-kawan seetnisnya selalu dipermainkan oleh oknum-oknum birokrasi kewarganegaraan maupun pergaulan kalangan diskriminatif-disintegratif dalam status sosial.






C. Warga Negara Indonesia yang Baik



Semasa sekolah dari SD sampai SMA, nilai Pendidikan Moral Pancasila (PMP)-ku atau kemudian diganti dengan PPKn, tidak pernah merah di raport. Di SMA aku sudah ikut Penataran P4 sebagaimana program rezim ORBA. Nilai hasil ujianku untuk mata kuliah Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan pun tidak pernah E alias tidak lulus. Secara formal aku diakui. Bukankah aspek formalitas menjadi superpenting di Republik Munafik ini?



Dalam kehidupan sehari-hari aku tidak memiliki catatan merah (kriminal dan narkoba) dalam tata pergaulan di lingkungan aku tinggal, baik di Bangka, Yogyakarta maupun kini Jakarta. Waktu melanjutkan pendidikan di Yogyakarta, beberapa kali aku diminta jadi MC acara 17 Agustusan, dari malam tirakatan hingga esoknya pas pembagian hadiah lomba 17-an.



Di kepolisian setempat, di mana aku pernah tinggal, aku tidak pernah menjadi penjahat, baik mencuri jemuran sampai mencuri kas negara alias korupsi. Aku tidak tertarik pada kegiatan kriminal dan narkoba sejak aku sedang mengalami masa puber pertama di Bangka. Sekarang usiaku dua kali lipat masa puber itu, semakin mantap memegang prinsip hidup dalam tata pergaulan umum beserta hukum-hukum formal-informal yang mengaturnya.



Akan tetapi, bagaimana bisa para simpatisan partai berbeda itu bisa menggugat status kewarganegaraanku dalam konteks baik-buruk hanya gara-gara aku memilih GOLPUT?



Aku pun bisa menggugat status “kewarganegaraan yang baik” milik orang-orang karena status dirinya yang berpartai. Apakah orang-orang partai, baik partai A, B, C, D maupun lainnya itu bisa menjamin bahwa diri mereka adalah warga negara yang baik, yang tidak melakukan praktik-praktik kotor seperti suap, korupsi, rekayasa data, menyelewengkan uang rakyat, dan lain-lain bahkan walaupun masing-masing mengibarkan bendera agama hingga ke lapis langit ke-7? Bagaimana dengan oknum partai di DPR yang diciduk aparat karena kasus korupsi? Bagaimana oknum-oknum DPR merengek-rengek minta tambah ini-itu padahal jaminan materi termasuk asset pribadi serba mewah, sangat jauh dari income seorang pengemis selama 30 tahun? Belum lagi bisnis kebijakan, perselingkuhan (skandal seks), dan lain-lain.



Beginilah susahnya lingkup berpikir orang-orang partai, yang menilai “kebaikan” seorang warga negara dari partisipasi “memilih partai”, bukan dari perilaku-perilaku atau tabiat-tabiat misterius yang akhirnya terungkap “korup”, “mangkir”, “selingkuh”, dan segala kebobrokan moral lainnya. Dan akan lebih dipuji sebagai “orang baik” lagi seandainya seorang warga Negara mau memilih partainya, bukannya menentang atau menjadi pendukung partai kompetitor. Owalah!






D. Kompetisi Partai-Partai Berebut Kompensasi-Komisi



Mengapa orang-orang aktif dalam berpartai, aktif pula menyentimenkan dan mendeskreditkan partai lainnya atas nama sesama Warga Negara Indonesia yang Baik?



Tengoklah perdebatan antarpartai. Masing-masing menuding sesama anak bangsa tidak becus mengurus negeri, tidak kapabel memanage bangsa, dan lain-lain. Masing-masing partai merasa paling Indonesia. Mereka menjual nama rakyat, berlomba-lomba mengeras suara pemilih yang mendukung mereka untuk mencapai posisi tertentu hingga puncak.



Lantas, apa yang mereka lakukan ketika sudah mencapai posisi yang mereka inginkan? Sebagian dari mereka (yang pada dasarnya memang bermental oportunis-hedonis-materialis) memanfaatkan posisi untuk mengeruk uang ini-itu dalam acara sidang-sidang dengan cara datang-daftar-duduk-dengar-diam-dengkur-duit, atau datang-daftar-duit-dadaaa. Lalai menunaikan tugas, dan sidang-sidang penting-urgent malah diabaikan. Ulah segelintir oknum merusak korp perwakilan rakyat.



Begitulah mereka bersaing, bertuding, berbanting, dan akhirnya mungkin bersanding lantas minta kompensasi untuk menyodorkan rancangan dan calon, atau juga diantaranya minta komisi meski sekadar tanda tangan absensi. Ya, jangankan kepada kader GOLPUT seperti aku ini, dengan partai pesaing saja mereka bisa berseberangan dan berhasutan. Apakah GOLPUT sebenarnya diam-diam merupakan pesaing berat bagi partai-partai resmi di Indonesia?



Kalangan partai seringkali menyesali pilihan orang untuk “memilih tidak memilih” alias GOLPUT karena mereka mencurigai kertas-kertas suara yang kosong akan dimanfaatkan oleh partai-partai pesaing mereka. Bagiku, sikap semacam itu justru superkeliru dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prinsip kebangsaan yang sektarian itu menyedihkan!



Tampaknya politik “devide et impera” menjadi lestari dalam bentuk persaingan partai mengumpulkan massa semata demi kursi yang ujung-ujungnya sama sekali tidak menyentuh rasa peduli-simpati terhadap kesengsaraan rakyat miskin Indonesia. Orang-orang pentolan partai seringkali terlena pada menara gading perpolitikan nasional sehingga lambat-laun rasa kemanusiaan sebagai sesama warga negara Indonesia tumpul, dan akhirnya mereka teralienasi dengan program-program yang bercorak hedonisme dan materialisme. Memalukan sekali!



Contohnya busung lapar, gizi buruk, bunuh diri massal, lumpur LAPINDO yang mengusir penduduk setempat serta menenggelamkan jejak leluhur mereka, penggusuran PKL padahal PKL merupakan salah satu usaha rakyat untuk survival dalam keculasan isu ekonomi global, maraknya PHK akibat krisis finansial global gara-gara modal besar dari luar negeri yang salah kelola dan antisipasi, birokrasi berbelat-belit yang ujung-ujungnya duit, pungli di hadapan mata rakyat semisal setoran tidak tertulis atas perjalanan angkutan, korupsi tebang pilih, penyunatan masa hukuman bagi terpidana beruang, jual-beli kebijakan publik atasnama pemerintah dan wakil rakyat, politik dagang sapi lantaran partai ternyata mandul membentuk kader pemimpin bangsa, dan lain-lain.



Aku tidak perlu menuliskan semua detail karena berita-berita kebobrokan oknum-oknum partai beserta kadernya sudah cukup banyak, termasuk oknum partai yang sedang dipijat nikmat oleh seorang perempuan bukan muhrimnya di sebuah panti pijat plus namun orang partainya berusaha untuk menolak berita miring soal kebobrokan moral kadernya tersebut. Intinya, realitas yang tercipta sama sekali tidak juga menjadi bahan kajian yang benar-benar melibatkan kesatuan nalar dan nurani seoptimal mungkin. Kalau pun kemudian ada, kegiatan itu pun tidak lebih dari usaha menjaring simpati dan suara untuk kemenangan partai dan calon presiden mereka di PEMILU 2009 nanti, termasuk persoalan penurunan harga BBM yang seenaknya diklaim oleh sebuah partai sebagai prestasi mengagumkan.



Di balik semua di atas, ungkapan “TIDAK ADA KAWAN ATAU LAWAN ABADI, MELAINKAN KEPENTINGANLAH YANG ABADI” merupakan ungkapan usang yang selalu terbukti. Perseteruan pun bisa menjadi pertemanan ataupun sebaliknya. Kasus 27 Juli 1996 sama sekali tidak jelas lagi penyelesaiannya. Kesemuannya itu pada akhirnya bermuara pada satu : KEPENTINGAN. Aku tidak percaya pada idealisme karena udelisme-lah yang menjadi penting! Perseteruan, pertemanan, teman jadi seteru, atau seteru jadi teman, kesemuanya berada dalam satu koridor, UDELISME. Tidak menjadi penting jika ada lebih dari seratus jiwa menjadi korban politik!






E. Memilih Tidak Memilih



Salah satu keputusan berpolitik praktis dalam setiap PEMILU yaitu “memilih tidak memilih” alias GOLPUT seharusnya menjadi salah satu bahan introspeksi serius oleh para politkus dan pemikir dari semua partai. Mengapa sebagian rakyat memilih sebagai kader GOLPUT, selain lantaran tidak terdaftar atau tidak didaftarkan oleh RT setempat, atau juga tiba-tiba kecelakaan gawat hingga sakit berat?



Reformasi 1998 disusul bermunculannya partai baru memang merupakan bukti adanya apresiasi positif dari sebagian besar masyarakat terhadap situasi demokrasi Indonesia dewasa ini. Namun euforia politik itu akhirnya tidak efektif dan cenderung diskriminatif hingga berbalik destruktif, memarjinalkan sebagian rakyat dari tata pergaulan manusia Indonesia yang ber-Pancasila. Partai-partai besar ternyata hanya sibuk berebut kenikmatan dunia tanpa peduli kian sengsaranya rakyat menghadapi tekanan ekonomi sebagai akibat kebijakan-kebijakan yang sama sekali tidak berpihak kepada kepentingan rakyat.



Realitas carut-marut perpolitikan dan kebijakan yang “anti rakyat” ini semakin menambah jumlah simpatisan dan kader GOLPUT meski validitas datanya masih harus dikaji lebih cermat-cerdas. Paling tidak, di masyarakat telah berkembang “mosi tidak percaya” terhadap partai (lembaga legislatif) dan pemerintah (lembaga ekskutif) yang mengobral janji kosong lewat mulut para jurkam dan jubirnya. Atribut agama A-B-C tidak lebih dari gincu di bibir dower mereka.



Aku berani bilang begitu lantaran setiap hari aku bergaul dengan kaum marhaen, rakyat pinggiran, yang berstatus kuli kasar, pengangguran, dan karyawan bergaji minimalis. Nonsens semua janji-janji tentang perubahan atau perbaikan dalam hiruk-pikuk kampanye itu! Politik bukan panglima! Di sisi lain aku melihat adanya singa-singa disintegrat (berkostum partai) yang sedang mengintai persatuan dan kesatuan Indonesia.



Aku tidak akan pernah memilih partai Anda, yang melulu menjual nama “rakyat” ketika kampanye tetapi setelah masuk Senayan atau di DPRD lokal justru tindakan Anda beserta partai Anda hanya duduk-diam-dengkur-duit-dst tanpa peduli rakyat diusir dari buminya sendiri, rakyat mengais di tanah airnya, rakyat mengemis pada belaskasihan konglomerat, dan lain-lain.



Aku akan merasa turut bersalah jika memilih Anda dan partai Anda, yang menjalankan fungsi “wakitl rakyat” tetapi kemudian mengkhianati rakyat demi kepentingan kekayaan, hedonis ataupun kepuasan syahwat yang disodorkan oleh konglomerat (orang kaya) atau kelompok oportunis yang berkepentingan politik belaka.






F. GOLPUT, Demokrasi, Hak Azasi, dan Sebuah Harapan



Keputusan “memilih tidak memilih” alias GOLPUT dalam setiap PEMILU merupakan salah satu halk azasi manusia Indonesia apabila pilihan tersebut cukup logis, analitis dan kritis, sama saja ketika orang-orang memilih Partai A, B, C, D, E, dan lain-lainnya. Sebagian rakyat berhak tidak mau lagi salah memilih, di mana partai dan orang pilihan ternyata lebih menikmati fasilitas kursi daripada memperjuangkan nasib rakyat. Rakyat berhak tidak mau lagi mendukung partai dan orang-orang yang hanya memakmurkan diri sendiri dan tidak peduli pada derita rakyat, serta justru berbalik semakin menyengsarakan rakyat.



Ya, sama seperti orang-orang yang memilih berpartai. Orang-orang partai berhak membela, memamerkan, dan menggaungkan partainya masing-masing di hadapan kompetitor, meski tak jarang saling tuding, fitnah, menjatuhkan, dan cara-cara busuk lainnya, yang sebenarnya hal tersebut justru memperlihatkan ketidaksatupaduan berbangsa-bernegara. Ya, mereka berhak membela diri sembari merasa berhak pula menyerang kompetitor dengan hasutan dan fitnahan. Kalau tidak percaya, saksikan saja di media massa!



Aku tidak membutuhkan intrik-intrik politik licik semacam itu. Sudah saatnya para juru kampanye partai-partai tidak menjual obat panu kepada rakyat yang sakit mag akut, atau menjual pepesan kosong kepada rakyat yang kelaparan akibat menjulangnya harga sembako. Sebab negara Indonesia ini bukan hanya milik partai-partai beserta keluarga besar kadernya, melainkan seluruh rakyat Indonesia. Penderitaan kaum marhaen dan rakyat jelata bukanlah iklan jitu bagi posisi politik yang berujung pada hedonisme-materialisme kader partai (bersenang-senang di atas penderitaan rakyat). Dan, jangan cuma bisa melecehkan bahkan mengharamkan pilihan orang yang “memilih tidak memilih” alias GOLPUT tanpa melakukan introspeksi dan melakukan perubahan positif bagi beban hidup seluruh rakyat Indoensia terlebih dulu!



Disamping itu, apabila kita benar-benar memahami esensi demokrasi, pilihan politik seseorang untuk “memilih tidak memilih” haruslah tetap dihargai. Bukannya lantas khawatir jika kelak kalah dalam perolehan suara, panik karena takut kalah, bingung karena tidak sanggup menjadi tokoh diktator-absoluter atas sikap politik orang lain, lalu sepakat mutlak pada kredo “GOLPUT itu haram”.



Anda kecewa karena aku “tidak memilih” ataupun berarti “tidak mendukung” Anda maupun rekan politik Anda? Anda berprasangka pula bahwasannya “hak pilih”-ku dimanfaatkan oleh orang atau partai lain, yang merupakan rival politik Anda? O alangkah busuk nian isi hati Anda itu jika terus-menerus menghidupkan prasangka bangkai semacam itu ! Ya, jelas busuk ! Kalau tidak busuk, niscaya Anda selalu merdeka pada pilihan Anda sembari tetap memerdekakan pilihan hidup orang lain dalam berbangsa-bernegara.



Sebaliknya, Anda, yang berbangga diri pada posisi dan fungsi Anda berpartai, jangan kemudian berkelit, berdalih atau berapologi jika Anda dan partai Anda tidak mampu menjalankan program yang Anda beserta seluruh komponen partai Anda gembar-gemborkan ketika kampanye layaknya pedagang obat berkoar-koar tentang kemujaraban obat-obatnya.



Anda berhak memilih partai dan berpartai, aku pun berhak tidak berpartai. Anda jujur sebagai orang partai, aku pun jujur sebagai orang tanpa partai. Tetapi mengapa kejujuran yang berbeda pilihan ini lantas membuat Anda marah sembari mempertanyakan “kebaikan sebagai warga negara”? Apakah aku pun tidak boleh marah jika janji-janji Anda dan partai Anda sewaktu kampanye ternyata meleset jauh dari realitas?



Mungkin Anda orang jujur tetapi bagaimana dengan orang-orang dalam partai Anda? Bagaimana dengan sebuah ungkapan “Banyak orang pintar tetapi satu-dua saja yang jujur”? Artinya, kumpulan orang dalam satu partai pun belum tentu memiliki satu kepentingan bersama karena “siapakah manusia yang tahu isi hati setiap sesamanya” seperti kata J.J. Rousseau, “Semua orang dipimpin oleh motivasi-motivasi rahasia.” Konflik internal dalam satu partai, keluarnya seseorang dari partainya, dan perpecahan partai merupakan salah satu indikasi “konflik kepentingan” dan “krisis saling percaya”.



Kejujuran itu emas bagiku. Orang-orang yang suka pamer kemewahan-kekayaan, suka berpesta pora, bersenang-senang, plesiran memboroskan uang, dan begengsi tinggi, angkuh-pongah-arogan, tidak jarang adalah orang-orang “tidak jujur”. Bagaimana ulah oknum “wakil rakyat” yang hanya datang, mengisi absen lalu pulang membawa “amplop honor” sidang tanpa peduli pentingnya sidang? Jujur memang oknum itu, “sekadar ambil jatah” dan “selamat bersidang”, tetapi sia-sia pilihan rakyat padanya.



Sia-sia? Ya, rakyat pemilih sangat berharap pada realisasi janji-janji lewat program-program cerdas partai tetapi oknum-oknumnya malah menunaikan amanah rakyat seenak perutnya sendiri. Bersidang regular itu kewajiban, sedangkan menerima honor itu hak. Kalau rakyat diwajibkan memilih, wakil rakyat pun harus diwajibkan mengikuti sidang dan menyampaikan isi pikirannya, entah isinya cerdas atau malah dungu.



Alangkah baiknya kalau pada waktu diadakan sidang-sidang legislatif yang regular dan khusus, sediakan pula borgol untuk tiap-tiap peserta sidang, lantas setelah mengisi absent mereka digiring lalu kaki mereka diborgol di kursi masing-masing ketika sidang. Lho, itu kan seperti sapi? Terserah. Daripada hanya bisa mengambil honor seperti “tukang palak” menguti “jatah” di pasar-pasar. Tapi percuma juga mereka duduk kalau diantara mereka hanya mendengkur. Ya lumayanlah daripada datang-isi absensi-ambil honor-pulang. Paling tidak, kalau oknum itu memang otaknya bagus, dia masih bisa menyampaikan sedikit aspirasi atau amanah rakyat pemilihnya meskipun belum tentu juga itu semua pendapatnya benar-benar murni aspirasi rakyat.



Belum tentu aspirasi rakyat pemilihnya? Tidak perlu terlalu berharap bahwa oknum-oknum partai berpendapat sesuai amanat rakyat pemilihnya. Isi hati dan isi otak orang, siapa tahu? Oleh karenanya J.J. Rousseau pernah bilang, “Dalam beberapa kasus, ketika masyarakat atau seseorang membiarkan dirinya diwakili, maka masyarakat atau seseorang itu sudah tidak bebas lagi atau secara ekstrim dikatakan masyarakat atau orang tersebut sudah tidak ada lagi.” Sebab, kalau rakyat pemilihnya menginginkan amanah itu A, tidak bisa dijamin bahwa oknum tersebut akan menyampaikan A juga. Berarti rakyat pemilihnya sama saja tidak ada!



Pada akhirnya, siapa pun yang terpilih, baik di lembaga Legislatif maupun Eksekutif, terserahlah. Tapi semoga mereka benar-benar tulus berpihak dan berkeadilan kepada kehidupan SELURUH rakyat Indonesia untuk tentram, makmur dan sejahtera, bukan melulu tuntutan kemakmuran oknum beserta partainya tanpa memikirkan nasib seluruh tumpah darah Indonesia. Kalau masih memikirkan keuntungan / kemakmuran pribadi, mohon – sekali lagi – jangan menjual kesengsaraan rakyat dalam berkampanye lantas mengkhianatinya bahkan memberangus pundi-pundi perekonomian rakyat kecil (bedakan antara rakyat kecil dan rakyat besar alias konglomerat) ketika terpilih! Berilah keleluasaan bagi seluruh rakyat untuk menentukan pilihan-pilihannya sendiri, kecuali bila Anda dan partai Anda sangat angkuh / pongah / congkak / sombong / sok / tinggi hati / arogan menganggap diri Anda dan partai Anda sebagai kerumunan nabi ataupun kelompok orang yang paling dewasa dalam berbangsa-bernegara.



***


Rawabuaya dan Gang Jablay, Mei 2008 – Februari 2009



*) Dalam rangka menyongsong PEMILU 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar