Kamis, 19 Februari 2009

Indonesia : Negeri Ironi

Empat putri mantan Menteri DKP (1999-2004) Rokhmin Dahuri akan pindah status kewarganegaraan menjadi warga negara Kanada. Tindakan ini dilakukan karena kekecewaan mereka atas hukum di Indonesia menyusul diadilinya ayah mereka dalam kasus DKP. Menurut mereka, ayah mereka diadili tanpa bukti.

Dan pasca DKP, Amien dan SBY berdamai, dan bersepakat bahwa kasus DKP tidak akan dipolitisasi melainkan dijustisfikasi (ranah hukum) saja. Tapi pernyataan SBY yang reaktif dalam jumpa persa di istana dan disaksikan oleh buanyak pasang mata bahwa tuduhan DKP atas dirinya merupakan fitnah yang naudubillahi itu terlanjur melukai PAN (Bagi PAN, Amien Rais adalah imam).

Juga SBY mengaku (membantah) tidak menerima satu dolar pun dana dari luar negeri ketika kampanye PEMILU 2004 seperti yang dikatakan Amien Rais. Di harian Media Indonesia Rokhmin Dahuri mangatakan, Presiden sudah tepat (kalau membantah) dan wajar karena beliau memang tidak menerima dana itu secara langsung ke tangannya sendiri. Mantan calon capres dari GOLKAR Jenderal Purnawirawan Wiranto pun membantah dan kasus tersebut harus diusut tuntas, meski mantan cawapresnya Sholahudin Wahid mengaku menerima dana kampanye.

Jika demikian sederhana soal menerima langsung atau tidak tahu-menahu, saya pun boleh dong membantah, tidak pernah terlibat hutang luar negeri Indonesia sebagaimana yang sering digembar-gemborkan segelintir kalangan mengenai hutang luar negeri Indonesia. Saya tidak menerima hutang itu secara langsung. Saya tidak tahu-menahu soal itu. Orang-orang pemerintah RI yang menerima atau tahu rincian hutang itu sehingga yang patut disebut berhutang adalah orang-orang itu. Ada-tidaknya sekian persen yang kemudian ditilep oleh mereka, juga bukan urusan saya. Memakai ucapan orang bahwasannya Indonesia punya banyak hutang luar negeri (tentang hutang luar negeri ini saya bahas dalam tulisan lain) sama saja dengan memfitnah saya! Maka, kalau urusan bayar hutang luar negeri, tagih langsung ke orang-orang yang langsung terlibat saat itu, jangan bawa-bawa nama rakyat apalagi saya. Kalau orang-orang itu tidak mau bertanggung jawab, tembak saja kepalanya. Lebih baik mereka mampus sekalian daripada menularkan sikap pengecut-tidak bertanggung jawab!

Di samping itu, bantahan orang-orang itu mengingatkan saya pada obrolan kawan-kawan, “Kalau maling ngaku, penjara penuh!“ Benar juga ya. Kalau penjara penuh, bagaimana nanti situasi di penjara. Bisa bunuh-bunuhan berebut jatah perut. Tapi juga bisa lucu karena bakal ada napi berdasi. Yang saya tahu, kaum berdasi adalah anak-nak sekolah yang seragamnya berdasi, dan para sales yang bekerja keras, berjalan kaki, menawarkan barang jualan ini-itu. Nah, kalau napi berdasi?

Ada pepatah, “Diam itu emas.“ Artinya, kalau mendapat emas, diam-diam saja. Tidak usah bilang ke siapa-siapa supaya tidak diminta, bahkan malah diperkarakan. Apakah emas halal atau haram, emas beli sendiri atau hasil mencuri, pokoknya diam saja. Kalau ketahuan dan diobok-obok, barulah ribut. Siapa yang tahu bahwa itu emas curian atau emas hibahan? Buktinya apa? Saksinya siapa? Makanya, “Diam itu emas!“

Lha kalau diperkarakan seperti kasus DKP? Sudahlah, Pak Dahuri pasang badan saja. Keluarga Pak Dahuri terjamin kok, baik secara finansial maupun sekuritas. Tidak usah bawa-bawa nama orang-orang yang sedang berkuasa maupun yang memiliki posisi strategis dalam bargainning position politik di Indonesia. Mereka yang punya negara ini, bukan rakyat, bukan kebenaran-keadilan yang jelas-jelas abstrak itu. Tahu sama tahu sajalah. Tidak usah ditambah tempe ataupun susu kedele. Atau memang Pak Dahuri mau melihat sanak-keluarga Pak Dahuri kena imbasnya? Naudubillahi!

Begitulah kemundian, empat putri Dahuri bimbang dengan status kewarganegaraannya saat ini. Menjadi warga negara Indonesia yang baik tidak berarti bernasib baik. Hukum pun tidak berpihak kepada orang baik, melainkan kepada orang licik, yang menggunakan otaknya untuk hal-hal yang tidak baik (Ah, alangkah adilnya jika otak semacam itu dihidupi tumor ganas!). Saya pun ingin sekali berpindah status kewarganegaraan. Lho, kenapa?

Apakah dengan menjadi warga negara lain hidup akan lebih baik? Bukan soal lebih baik, lebih beruntung atau lebih buruk-buntung. Namun saya merasa lebih manusiawi jika disakiti negara lain dibanding oleh pengelola negeri sendiri. Dianiaya orang lain akan terasa berbeda sakitnya dibanding disiksa oleh saudara sendiri. Dimusuhi berbeda dnegan dikhianati. Musuh atau lawan yang berbahaya bukanlah orang di luar sana, melainkan orang di rumah sendiri. Ya, di negeri sendiri tidak sedikit para pengkhianat!

Ada pepatah usang, “Meski hujan emas di negeri orang, lebih baik hujan batu di negeri sendiri.“ Pepatah ini kelihatannya begitu luhur, betapa cinta pada negeri sendiri. Apa pun yang terjadi di Indonesia, negeri ini tetaplah negeriku. Wow! Kisah penjajahan bangsa-bangsa asing, para pahlawan yang gagah berani, dan Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 hanya tinggal dalam buku sejarah. Doktrinisasi kejahatan imperialisme asing telah mencaplok otak anak-anak. Akan tetapi, bagaimana dengan penjajahan sebagian pengelola bangsa atas bangsanya sendiri setelah kemerdekaan itu?

Hujan batu hanya terjadi pada musim kerusuhan. Sementara pada cuaca sosial-politik yang berubah-ubah, di negeri sendiri bisa terjadi hujan peluru dan belati, selain hujan janji yang sejak dua setengah tahun ini rutin terjadi dengan curahan yang sangat tinggi hingga menyebabkan banjir lumpur dan air mata. Tidak sedikit anak negeri dijajah oleh bangsanya sendiri. Anak negeri ditodong untuk membayar utang-piutang yang sebagian ditelan kaum birokrat dan wakil rakyat. Anak negeri terusir dari tanahnya akibat proyek perselingkuhan negara-swasta.

Ada suatu kejadian ironis soal mencari nafkah di negeri sendiri. Di suatu daerah, jajaran elit daerah begitu munafik menafikkan kemaksiatan (baca: pelacuran). Kompleks pelacuran ditutup paksa. Akibatnya, orang-orang daerah yang biasa berjualan di lokasi tersebut kehilangan pelanggan. Di sisi lain, pejabat daerah tetangga justru leluasa menikmati kehangatan tubuh perempuan muda lokal maupun interlokal ketika dinas ke luar daerah, misalnya ke ibukota. Di depan mata saya, seorang pejabat daerah begitu enaknya menguntit seorang perempuan muda pemandu lagu sebuah karaoke ibukota ketika perempuan itu masuk ke toilet. Apa yang dilakukan oleh pejabat daerah tersebut? Saya tidak tahu, sebab pintu toilet segera ditutup. Dan kejadian itu saya lihat langsung sebanyak dua kali. Tak ketinggalan beberapa wakil dari DPRD setempat, menikmati kehangatan tubuh perempuan-perempuan di sebuah karaoke ibukota. Seorang di antara wakil rakyat itu mabuk berat dan muntah-muntah. Itulah makna pepatah “Jangan makan dan berak di rumah sendiri”. Kemunafikan harus dijunjung tinggi demi harga diri (citra, imej) di mata orang daerah.

Sebaliknya, para elit nasional kita makan dan berak di rumah sendiri karena memang mereka merasa kaum bangsawan yang bisa seenaknya berlaku di rumah sendiri. Di depan publik mereka tampak berwibawa. Beberapa wakil rakyat pun ternyata menerima kucuran dana DKP, entah dana-dana korup lainnya. Tapi sesungguhnya saya hanya melihat kain kumal pada baju safari mereka. Entah apa yang kau lihat, kawan. Kalau ada yang tidak setuju, bunuh saja. Pakai alasan makar, subversif dan mengganggu stabilitas umum (baca : elit dan kroninya). Beres!

Hukum tetap bukan panglima karena para raja politik dan para raksasa bisnis di Indonesia tetap tidak akan pernah mau dihukum, apalagi dipenjara (kecuali penjaranya sekadar papan nama). Hukum hanya berlaku bagi rakyat yang memang tidak memiliki kekuatan apa-apa ketika berhadapan dengan koalisi uang-hukum-jabatan-politik. Sebuah koalisi yang lestari dan sungguh-sungguh naudubillahi!

Sebutan lain untuk Republik Munafik adalah Negeri Ironi. Ironi atas jargon negera hukum, “Indonesia ialah negara berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintah itu dengan tidak ada kecualinya”. Ironi atas perilaku para pengelola negeri dan pemilik banyak uang. Sebab, istilah mafia peradilan di Indonesia, saya yakin, bukan sekadar isapan jempol anak balita tetangga saya. Saya yakin, kasus DKP tidak lebih dari akrobat politik, kekuasaan, dan kepentingan. Hukum hanya atraksi badut dan pesulap di antara para singa dan macam beraksi. Tidak beda jauh dengan Tragedi 27 Juli, Semanggi, Trisakti, Munir, dan lain-lain.

Masih ingat Tragedi 27 Juli 1996 ketika kantor PDI Megawati di Jl. Diponegoro Jakarta diserbu sekelompok orang, yang ujung-ujung menyeret Partai Rakyat Demokratik (PRD) menjadi kambing hitam? Apa hasilnya? Hasilnya, tak adalah bergabungnya mantan presiden PRD ke PDIP. Tragedi 27 Juli yang sempat menghebohkan dunia politik nasional itu kini tinggal bagian dari sejarah mereka.

Yang juga tak serius diperkarakan dalam ranah hukum lainnya adalah Tragedi Semangi, Trisakti, pembunuhan atas Munir, dan entah apa lagi nanti. Korban berjatuhan merupakan cerminan betapa murah nyawa di Negeri Ironi ini dibanding kepentingan kekuasaan-kekayaan. Tumbal kemunafikan para dajjal. Gambar dan artifak burung Garuda ber-Pancasila sekadar dekorasi perkantoran, dan ilustrasi dokumen negara dan buku-buku sekolah. Kemunafikan kian memperjelas bentuk Negeri Ironi yang dipimpin para dajjal. Sungguh-sungguh naudubillahi !

Sampai liang kubur memapah raga beku saya, saya tidak akan pernah percaya bahwa hukum di Indonesia bisa menyentuh barisan orang kebal (baca: berposisi kuat dalam sistem kekuasaan) yang juga bergaul akrab dengan kaum kapitalis. Hukum di Indonesia hanya berlaku pada orang-orang yang tidak memiliki kekuasaan dan kekayaan berarti. Contoh lainnya adalah kasus kematian artis Alda Risma dan Tragedi Pasuruan baru-baru ini.

Terkadang saya sangat menyesal, kenapa dilahirkan dan dibesarkan di Negeri Ironi ini. Mungkin inilah Firdaus purba, dimana kaum ular beludak bebas berkeliaran membagikan buah khuldi dan kaum itu tetap bebas-merdeka berkoar-koar bahwa ular beludak adalah pelaku perubahan dan pembangunan yang akan melindungi dan memakmurkan rakyat. Licik seperti ular, bulus seperti bunglon. Ah, entah omong kosong apa lagi yang selalu didesiskan oleh kaum ular beludak yang memuja kemunafikan itu.

Bagi saya, hujan emas di negeri orang tetap lebih menyenangkan daripada hujan batu apalagi hujan peluru di negeri sendiri, semisal kasus Pasuruan baru-baru ini. Saya tidak perlu munafik dengan alasan nasionalisme yang kini sekadar gombal belaka. Saya pengen makmur dan sejahtera, bukan sekadar makmur-sejahtera dalam kerangka berpikir-berkhayal. Hujan emas di negeri orang, jika memang lebih mampu memakmur-sejahterakan saya, kenapa saya tolak? Mau hujan emas, berlian, batu atau peluru, ya terserah. Orang mau pilih mandi hujan emas atau hujan mutiara, juga terserah. Dan memang jelas terserah pilihan orang, daripada terpaksa menerima hujan peluru!

Masalahnya bukan emas dan hujannya, melainkan sikap penguasa yang sama sekali tidak menyentuh rasa keadilan bagi banyak orang (rakyat). Sebab, jangankan hujan emas di negeri sendiri, baru ada isu tambang emas, sebagian penguasa sudah membuat aturan yang ujung-ujungnya hanya menyengsarakan rakyat dan menyejahterakan kalangan birokrat sendiri! Tambang emas tidak pernah benar-benar menyejahterakan rakyat, misalnya Freeport dengan Papua. Tambang timah rakyat, yang semula memang mampu menyejahterakan rakyat Babel, kini dilarang oleh negara, yang orang-orangnya tidak pernah menjadi rakyat Babel. Tambang minyak apalagi di Sidoarjo memakmurkan siapa? Apalagi kalau benar-benar terjadi hujan emas!

Dan saya tidak akan malu mengakui bahwa negeri saya adalah negeri brengsek, negeri para pecundang berbesanan dengan para penyamun. Saya tidak bangga menjadi warga negara Indonesia, Negeri Zamrud Khatulistiwa yang dikelola oleh kaum ular beludak beserta babu-babu bunglonnya. Prestasi gemilang apa pun yang pernah diraih oleh negeri ini, tidak membuat saya lupa pada kenyataan hidup di sini. Prestasi-prestasi itu ibarat kosmetika di wajah genderuwo dan kuntilanak. Saya hanya bangga pada prinsip hidup saya sendiri. Ahai!

Sekian tahun saya hidup di negeri ini dan para pemimpinnya berganti-ganti, bukan berarti mereka memimpin hidup saya. Baik secara politis maupun yuridis mereka memimpin Indonesia, tapi secara de facto mereka tidak memimpin saya. Di dunia internasional, orang-orang silakan saja bilang bahwa mereka memimpin bangsa Indonesia. Secara pribadi saya katakan bahwa saya tidak merasa dipimpin oleh mereka. Mereka memimpin diri mereka, dan saya memimpin diri saya sendiri. Mereka memimpin dengan korup, tidak lantas saya ikut-ikutan korup seperti mereka. Prinsip hidup saya bukan prinsip hidup mereka. Prinsip saya tetap mengutamakan kejujuran; prinsip mereka tetap menjunjung tinggi kemunafikan. Jelas berbeda, kan?

Nasib saya tidak ditentukan oleh penguasa negeri ironi ini. Penguasa negeri tiba-tiba mati karena penyakit jantung atau tidak sengaja menenggak serbuk mesiu, bukan berarti saya pun ikut mati dengan cara bunuh diri demi pengabdian seumur hidup. Prinsip hidup saya bukan karena kefasihan para orator mengobral pepesan kosong. Saya lahir bukan atas himbauan presiden beserta para pembantunya ketika itu kepada orangtua saya. Saya besar bukan karena dipelihara oleh mereka. Saya tidak pernah dijenguk ketika sakit. Saya tidak pernah diberi makan ketika lapar; diberi baju ketika bugil, diberi rumah ketika indekos. Tidak ada satu pun bantuan pemerintah berbentuk uang jaminan hidup kepada saya. Pemerintah tidak pernah memanggil nama saya untuk bekerja di instansinya. Saya harus bekerja sendiri untuk menghidupi diri saya sendiri. Sama sekali tidak ada belas kasihan dan kesempatan yang diberikan langsung oleh pemerintah. Oleh karenanya, siapa pun yang telah, sedang dan akan memerintah Indonesia, terserah saja.

Saya hanya merasa tinggal di suatu wilayah yang dinamakan Indonesia oleh orang-orang terdekat saya. Sekalipun nama Indonesia tidak ada atau diganti Indocodot, misalnya, saya tidak peduli. Mau pakai nama Indonesia, Indocodot; mau dipresideni oleh Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY atau kelak oleh Ngadiyo orang Wonogiri pun, terserah. Toh hidup saya bukan hasil dari mengemis atau berkoalisi dengan para presiden beserta tim suksesnya itu. Saya tidak menjual nama Indonesia beserta musibah-musibahnya untuk mengemis iba bangsa asing. Bahkan jika saya mati pun, Indonesia tidak lantas bubar, atau diganti dengan nama Indocodot. Bukan begitu?

Maka keputusan empat putri Dahuri untuk berpindah warga negara merupakan sikap yang wajar. Barangkali lebih enak dijajah bangsa asing daripada dijadikan bulan-bulanan oleh bangsa sendiri. Barangkali lebih terasa pahit-getir hidup di negeri orang, daripada menikmati pahit-getir hidup di negeri sendiri. Kalau di negeri orang, seperti yang dialami sebagian eksil misalnya, kita dikejar-kejar, dimaki-maki, dipukuli, didzalimi, ditipu, diperlakukan tidak adil dan sejenisnya, jelas lumrah-wajar. Dijajah bangsa asing hingga kerja paksa berdarah-darah pada jaman pra proklamasi 1945 merupakan situasi yang wajar. Lha kalau di negeri sendiri dan dilakukan oleh sesama sebangsa-setanah air?

*******

Gang Jablay, 29 Mei 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar